Sektor Akomodasi dan Pertambangan Paling Terdampak di Sumsel
Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan terkontraksi hingga 0,11 persen pada 2020. Kegiatan ekonomi di sektor akomodasi dan makan-minum, transportasi dan pergudangan, serta penggalian dan pertambangan belum pulih.
Oleh
RHAMA PURNAJATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan terkontraksi hingga 0,11 persen pada 2020. Penyebabnya adalah masih belum pulihnya kegiatan ekonomi di sejumlah sektor utamanya sektor akomodasi dan makan-minum, transportasi dan pergudangan, serta penggalian dan pertambangan. Pemulihan ekonomi ke depan akan sangat bergantung pada hasil vaksinasi yang saat ini sedang berjalan dan optimalisasi anggaran pemerintah.
Kepala Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan Endang Tri Wahyuningsih, Jumat (5/2/2021), di Palembang, menyampaikan, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 di Sumatera Selatan terkontraksi 0,11 persen, jauh menurun dibanding tahun 2019 yang sebesar 5,69 persen. Ini merupakan akumulasi dari pergerakan ekonomi Sumsel yang terus mengalami kontraksi dalam tiga triwulan berturut-turut. Dimulai dari triwulan II (-1,58 persen), triwulan III (-1,43 persen) dan triwulan IV (-1,21 persen). ”Ketika itu Sumsel sudah dilanda pandemi pada akhir Maret 2020,” ucap Endang.
Jika dilihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) di aspek lapangan usaha, lanjut Endang, sektor yang paling dalam mengalami terkontraksi adalah lapangan usaha di bidang penyediaan akomodasi dan makan minum, yakni sebesar 7,21 persen dengan penurunan nilai atas dasar harga berlaku dari Rp 8,94 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 8,59 triliun di tahun 2020.
Selanjutnya, sektor transportasi dan pergudangan yang terkontraksi 5,91 persen dengan nilai PDRB atas dasar harga berlaku dari Rp 11,24 triliun tahun 2019 menjadi Rp 10,72 triliun tahun 2020. Sementara sektor penggalian dan pertambangan juga terkontraksi 4,04 persen dengan nilai atas dasar berlaku Rp 92,23 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 84,76 triliun tahun 2020.
Adapun kontribusi PDRB Sumsel dilihat dari sektor pengeluaran, komponen pengeluaran yang paling terdampak pandemi tahun 2020 adalah konsumsi pemerintah yang terkontraksi 12,86 persen dengan nilai atas dasar berlaku dari Rp 36,69 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 32,47 triliun di tahun 2020. Kontraksi ini disebabkan kurang optimalnya penyerapan anggaran terutama di tingkat pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa.
Selain itu adalah ekspor luar negeri yang terkontraksi hingga 6,41 persen dengan nilai Rp 63,32 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 58, 22 triliun di tahun 2020. Selanjutnya adalah pengeluaran konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (PK-LNPRT) yang terkontraksi 5,96 persen dari Rp 5,01 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 4,71 triliun di tahun 2020.
Endang berpendapat, belum pulihnya kondisi ekonomi di berbagai sektor ini terjadi akibat pembatasan mobilisasi masyarakat. ”Saat ini banyak warga yang mengurangi aktivitas di luar rumah. Akibatnya, banyak sektor yang menjadi lesu,” ucapnya.
Namun, kondisi ini membaik pada akhir tahun karena pengaruh liburan akhir tahun dan libur sekolah.
Adapun kegiatan ekspor di Sumsel juga menurun signifikan lantaran masih banyak negara yang menjadi pasar ekspor Sumsel melakukan pembatasan impor akibat pandemi. ”Masih banyak negara tujuan ekspor Sumsel yang melakukan karantina sehingga banyak komoditas ekspor yang tertahan,” ucap Endang.
Jika vaksinasi ini berhasil tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan. (Herman Deru)
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian menuturkan, perkembangan ekspor komoditas unggulan Sumsel, seperti karet, kelapa sawit, kopi, dan kelapa, sangat bergantung pada permintaan pasar. ”Saat permintaan meningkat, pengiriman ekspor akan meningkat,” ucapnya.
Nyatanya, walau sudah ada beberapa negara yang sudah menyerap kembali ekspor komoditas Sumsel, hal itu belum optimal. ”Mereka masih wait and see terhadap keberhasilan vaksinasi,” ucap Rudi.
Rudi mencontohkan komoditas karet Sumsel saat ini yang belum bisa diekspor secara optimal lantaran pembatasan impor yang diterapkan sejumlah negara pasar. Sektor otomotif di sejumlah negara sedang tidak berkembang. Hal itu menjadi pertimbangan pengimpor karet karena permintaan ban berkurang.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam (PTBA) Apollonius Andwie menuturkan sudah mulai pulihnya roda ekonomi global terutama pasar di Cina menjadi kabar baik pada komoditas batubara. Permintaan tahun ini diperkirakan akan mengalami pemulihan dilihat dari daya serap batubara yang semakin meningkat dari akhir tahun 2020 baik permintaan domestik maupun ekspor.
”Kami memproyeksikan peningkatan ini akan terus terjadi seiring dengan pemulihan kondisi pascapandemi,” ujarnya.
PTBA juga tidak menutup peluang untuk memperluas pangsa pasar ekspor, terutama di saat harga sedang berada di posisi yang menguntungkan. ”PTBA tetap menjajaki peluang-peluang pasar baru untuk tujuan ekspor,” ucapnya. Namun demikian, lanjut Apollo, pihaknya tetap fokus pada pasar domestik terutama permintaan dari PLN Group yang menjadi prioritas PTBA saat ini.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap agar vaksinasi bisa berjalan lancar. ”Jika vaksinasi ini berhasil, tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan,” ucapnya.
Dirinya akan mengambil kebijakan lanjutan saat satu juta warga Sumsel sudah divaksin. Ke depan Pemrov Sumsel pun tetap akan fokus pada pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.