Hei...Mari Cicipi Nikmatnya Tahu Rasa Keberagaman Ini
Nusantara memiliki beragam kuliner tahu melegenda. Varian olahannya menghiasi meja makan di gubuk sederhana hingga rumah makan ternama. Akulturasi kuliner ini terus bertahan dan setia menghidupi manusia lintas generasi.
Nama besar tahu juga hadir di Jawa Barat. Di daerah dengan penduduk terbanyak di Indonesia, makanan bergizi tinggi ini punya tempat istimewa. Sentra industrinya bermunculan, dari labirin gang di Cibuntu, Kota Bandung, hingga memenuhi tatar Sumedang. Produk olahannya yang khas selalu memanjakan lidah para pencintanya. Dari Kupat Tahu Gempol di pusat Kota Bandung hingga tahu gejrot di Cirebon.
Aroma kedelai menguar dari gang-gang sempit di RW 007 Kelurahan Babakan, Kota Bandung, Selasa (9/2/2020). Kesibukan pekerja puluhan industri rumahan pembuatan tahu menandakan nadi perekonomian di kawasan itu tetap berdenyut kencang. Tahu dari RW 007 ini populer dengan sebutan tahu Cibuntu. Cibuntu mengacu pada kawasan di sekitar Kelurahan Babakan.
Salah satu industri rumahan itu milik Iman Rahmat Infantoko (28), yang berdiri tujuh tahun lalu. Ia generasi keempat di keluarganya yang menekuni pekerjaan itu. ”Buyut saya sudah menjadi pembuat tahu sejak 1950-an. Tetapi, tidak tahu persis siapa yang pertama kali memulai,” ujarnya.
Lihat juga : Tahu Cibuntu, Tenar karena Kualitas
Misteri itu masih terus dicari titik terangnya. Namun, yang pasti, kini ada sekitar 100 industri rumahan pembuatan tahu di RW 007 Kelurahan Babakan. Ada 700 orang yang bergantung hidup, mulai dari pekerja di tempat produksi hingga jasa pengantar ke pasar dan pedagang.
Iman juga paham benar kunci kegurihan tahu Cibuntu. Salah satu yang utama adalah penggunaan air artesis. Air dipompa dari tanah dengan kedalaman lebih dari 100 meter. Kejernihan air selalu dijaga turun-temurun. Ini sangat penting untuk mempertahankan kualitas tahu.
”Tahu Cibuntu tepat digunakan untuk beragam makanan. Rasanya gurih tanpa pengawet. Warnanya kuning hasil rendaman air kunyit,” katanya.
Tahu Cibuntu tepat digunakan untuk beragam makanan. Rasanya gurih tanpa pengawet. Warnanya kuning hasil rendaman air kunyit.
Usaha pembuatan tahu juga digeluti Nana (67), warga Babakan lainnya, sejak 40 tahun lalu. Berawal dari kuli angkut dari tempat produksi tahu ke pasar-pasar, ia memproduksi tahu pada 1980. Pengalaman tujuh tahun sebagai kuli membuat dia perlahan menyerap ilmu membuat tahu. Mulai dari memilih kedelai terbaik, cara merendam, menggiling, hingga proses memasaknya untuk menghasilkan bubur kedelai berkualitas.
”Sekarang, saya dibantu lebih kurang 30 pekerja. Kami bersama-sama menjamin kualitas tahu Cibuntu tetap terjaga,” ujarnya.
Jerih payah perajin menjaga kualitas membuahkan hasil. Banyak kuliner ikonik di Kota Bandung, misalnya, masih setia pada tahu Cibuntu.
Salah satunya Kupat Tahu Gempol. Berada di Jalan Gempol Kulon, Kota Bandung, tempat ini berdiri sejak 55 tahun lalu. Meski terselip di tengah permukiman padat penduduk di sisi barat Gedung Sate, jangan harap bisa menikmatinya saat matahari ada di atas kepala. Saat itu, Kupat Tahu Gempol sudah pasti ludes terjual.
Setiap hari, banyak orang antre demi menikmati potongan tahu, lontong, dan tauge yang disiram bumbu kacang racikan Mariyah (77). Pada hari biasa, pembelinya tidak kurang dari 700 orang. Jumlahnya melonjak dua kali lipat saat akhir pekan. Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan minat pembeli dari dalam dan luar negeri untuk datang ke sana.
Mariyah mengatakan, tahu Cibuntu jadi salah satu kunci kelezatan masakannya. Tahunya lembut, gurih, dan tanpa pengawet bahan sintetis. Keunggulan itu sukses berpadu dengan kacang tanah dari Tuban serta bawang goreng yang wangi dan renyah dari Sumenep. Hasilnya adalah kuliner khas dari tanah Priangan. Ciamik.
Baca juga : Mariyah, Penjaga Cita Rasa Kupat Tahu Gempol yang Legendaris
Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran (Unpad), Fadly Rahman, mengatakan, tahu punya jejak panjang di Nusantara. Salah satu bukti tertulis tahu masuk ke Indonesia tercatat dalam Prasasti Watukura di Jawa Timur. Prasasti ini ditulis tahun 900-an atau abad ke-10.
Setelah itu, tahu menyebar ke seluruh Nusantara. Di Batavia dan sebagian Sunda, tahu diperkirakan populer pada abad ke-15 dan ke-17.
”Dalam Prasasti Watukura tertulis tauhu. Sebutan ini lalu diserap orang-orang di Nusantara menjadi tahu. Persebarannya menunjukkan kuatnya diaspora masyarakat Tionghoa,” ujarnya.
Dalam terjemahan bebas, tauhu diartikan sebagai kedelai yang difermentasi. Literatur lain menyebutnya sebagai kedelai yang dihancurkan menjadi seperti bubur.
Akan tetapi, Fadly mengatakan, lebih dari sekadar rasa, tahu juga jadi bukti percampuran budaya mengagumkan sejak lama. Berasal dari luar negeri, tahu berhasil dimodifikasi masyarakat di banyak daerah sehingga tercipta banyak variasi hidangan berbahan makanan tinggi gizi itu. Kupat Tahu Gempol jadi bukti.
”Ragam kuliner tahu ini tidak bisa dipisahkan dari kreativitas masyarakat. Hal ini sedari dulu masuk ke dalam perkembangan tahu di Nusantara, mulai dari nilai rasa, estetika, hingga sensasi rasa yang lebih nikmat,” paparnya.
Dalam Prasasti Watukura tertulis tauhu. Sebutan ini lalu diserap orang-orang di Nusantara menjadi tahu. Persebarannya menunjukkan kuatnya diaspora masyarakat Tionghoa.
Petuah jadi nyata
Kreativitas itu juga hadir di Sumedang. Dengan kerenyahan, tekstur khas, dan melibatkan ribuan orang Sumedang, tahu menjadi produk khas yang mendunia. Asal berukuran 3 cm x 3 cm atau 2,5 cm x 3 cm, berwarna coklat muda, kulit berintik, renyah, dan gurih, biasanya dinamai tahu Sumedang. Dibuat di Sumedang atau bukan, semuanya lantas kerap tidak penting lagi. Tidak langsung ada, tapi ada jejak panjang di belakangnya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad Nina Herlina Lubis mengatakan, pascapenghapusan larangan tinggal, sekitar tahun 1856, banyak orang Tionghoa mulai masuk Priangan Timur, termasuk Sumedang. Berdasarkan sensus tahun 1930, jumlah orang Tionghoa di Sumedang sebanyak 905 jiwa. Bandingkan dengan orang Eropa yang berjumlah 258 jiwa.
Celah bisnis lantas dikembangkan salah seorang perantau Tionghoa, Ong Kino, yang tiba di Sumedang awal abad ke-20. Awalnya, istri Ong Kino membuat tahu guna menuntaskan rindu akan kampung halaman dan kegemaran makan suaminya. Di luar dugaan, enaknya tahu mulai dikenal masyarakat Sumedang. Ong Kino lantas menjualnya di depan rumah. Warga Tionghoa lain juga ikut menjual tahu menggunakan merek Palasari dan Ojolali.
Lihat juga : Palasari, Tahu Sumedang Legendaris
Pilihan Ong Kino tidak keliru. Seperti Cibuntu, kualitas air di Sumedang juga ideal. Berada di kaki Gunung Tampomas, Sumedang tidak pernah kekurangan air tanah. Air terus mengalir. Cur cor, kalau kata orang Sunda.
Kualitas air Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah penghasil tahu di China selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu kenyal tanpa pengawet.
Tidak hanya alam, peran penguasa saat itu ikut mendongkrak nama tahu Sumedang. Kisah paling cemerlang datang dari Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeriatmadja yang menjabat pada periode 1883-1919. Aria Soeriatmadja dikenal sebagai pemimpin yang dicintai rakyat karena ilmu agamanya kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul.
Saciduh metu, saucap nyata (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi kenyataan), begitu kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya di Situraja, Sumedang, Aria Soeriatmadja kebetulan mencicipi tahu buatan Ong Kino yang dijual di depan rumahnya di pinggir Jalan Tegal Kalong, Sumedang (kini menjadi Jalan 11 April), sekitar tahun 1917. ”Petuah” pun meluncur dari mulutnya.
”Ngeunah ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu (Makanan ini enak. Kalau dijual pasti laku),” kata Aria Soeriatmadja.
Kualitas air Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah penghasil tahu di China selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu kenyal tanpa pengawet.
Hingga lebih dari 100 tahun kemudian, doa Bupati ke-20 Sumedang itu terbukti langgeng. Diiringi etos kerja tekun dan telaten masyarakat Tionghoa, usaha tahu pun berkembang. Tenaga pribumi diajak ikut serta sehingga ilmu tahu tersebar luas. Perbedaan etnis tidak jadi soal.
Kini, keahlian membuat tahu menjadi bekal hidup banyak warga Sumedang. Sedikitnya 232 unit usaha tahu mempekerjakan sekitar 1.500 orang. Itu belum termasuk sekitar 2.000 penjaja tahu di pinggir jalan. Tak kurang dari 1,2 juta tahu laku terjual setiap bulan dengan harga Rp 400-Rp 500 per buah.
Pengelola Tahu Bungkeng, Suryadi, masih mempertahankan etos itu. Dalam perbincangan dengan Kompas beberapa waktu lalu, ia mencontohkan cara membuat tahu jadi padat berisi. Awal menggoreng adalah proses penting. Minyak harus benar-benar panas sebelum tahu dimasukkan.
Cara khusus lain juga dilakukan untuk menghasilkan tahu berkulit berintik. Ia mengatakan, tahu harus dimasukkan dalam keadaan basah. Dulu, untuk menambah kenikmatan, tahu digoreng menggunakan minyak kacang tanah. Namun, sekarang minyak kacang tanah berkualitas sulit didapatkan.
”Nyaris tidak ada rahasia. Selebihnya hanya kedelai yang digiling. Hasil gilingan dikukus menjadi tahu dan dimasukkan ke air garam. Setelah itu tinggal digoreng,” katanya.
Baca juga : Seabad Tahu Bungkeng, Inspirasi Menghadapi Zaman
Jalan keluar
Akan tetapi, perjalanan sentra-sentra tahu itu tidak mulus begitu saja. Tantangan terbesar perajin tahu adalah labilnya harga kedelai. Kedelai yang sangat bergantung pada impor jadi penyebabnya. Awal tahun 2021, harga kedelai naik, dari Rp 6.000 per kilogram menjadi di atas Rp 9.000 per kg.
Akibatnya, banyak pemilik industri tahu rumahan, termasuk di Cibuntu, yang mempekerjakan lebih dari 700 pekerja harus memeras otak untuk mengatasinya. Salah satunya dengan mengurangi bobot kedelai di setiap jirangan (cetakan) tahu.
Puncaknya, pada 1-3 Januari 2021, para produsen tahu dan tempe di sejumlah daerah di Indonesia mogok produksi. Harga kedelai naik dari Rp 7.200 per kg menjadi Rp 9.500 per kg dalam sebulan terakhir.
Lonjakan harga terjadi, antara lain, karena pasokan dari Amerika Serikat sebagai eksportir terbesar menipis. Sementara China, importir utama kedelai, meningkatkan permintaannya (Kompas, 5/1/2021). Di lain sisi, pemenuhan kedelai dalam negeri sangat rendah.
Baca juga : Bersama Kedelai, Harapan Warga Cibulan Kini Terbang Tinggi
Menurut Hevi Fauzan (40), anggota Komunitas Aleut, komunitas yang mengapresiasi wisata-sejarah Bandung dan Priangan, tantangan yang dihadapi perajin tahu sejak dulu hingga sekarang relatif tidak berubah. Namun, di tengah ragam masalah itu, kreativitas tetap tidak boleh dilupakan.
”Budaya ini lahir dari kebiasaan, mereka selalu berpikir bagaimana tahu bisa bertahan secara terus-menerus. Tahu menjadi gaya hidup dan mereka hidup dari tahu,” ucapnya.
Supaya budaya itu tidak mati, Hevi mendorong pemerintah daerah menjadikan sentra tahu sebagai kawasan wisata. Ia optimistis pembentukan desa wisata di daerah ini bisa berjalan terus karena budaya itu lahir dari keseharian, bukan seperti pembentukan desa wisata lain yang terkesan dipaksakan.
Budaya ini lahir dari kebiasaan, mereka selalu berpikir bagaimana tahu bisa bertahan secara terus-menerus. Tahu menjadi gaya hidup dan mereka hidup dari tahu.
Pada 2017, Komunitas Aleut pernah mengadakan telusur kuliner di sentra industri tahu di Cibuntu. Tujuannya untuk mengetahui lebih detail pembuatan tahu di sana. Mereka berkunjung ke dapur pengolahan tahu dan melihat proses pembuatan dari awal hingga akhir.
”Tidak hanya membeli oleh-oleh, pembeli sekaligus wisata kuliner untuk mengenal lebih dekat sejarah tahu Cibuntu. Pengalaman yang didapat tentu lebih membekas dan berkesan,” ujar Hevi.
Ke depan, ia berharap pemerintah daerah juga aktif membangun museum tahu di sekitar sentra pembuatannya. Kuliner khas ini menjadi bagian dari budaya yang hidup dan tetap bertahan di tengah masyarakat dengan beragam etnis. Proses pembuatan tahu dari tradisional hingga modern juga menarik untuk diketahui oleh masyarakat.
Pedas atau sedang?
Di Cirebon, Jawa Barat, siapa saja boleh belajar. Tidak ada rahasia saat tahu gejrot dibuat di sana. Bagi sebagian pengunjung luar Cirebon, kelihaian peraciknya bisa jadi sajian yang tak kalah sedapnya.
Rabu (10/2/2021) siang, tangan Harto (52) berbalut plastik mengulek cabai dan bawang putih yang dicampur dengan potongan tahu serta kuah. Ia tidak hanya meracik tahu gejrot, tetapi juga memperpanjang napas persaudaraan keturunan Tionghoa dan warga Cirebon.
Warung tempat Harto meracik tahu gejrot sangat sederhana. Letaknya di pertigaan Pasar Kanoman, Kota Cirebon. Warung beratap tenda berukuran 1,5 meter x 1,5 meter itu berada tepat di depan kios orang Tionghoa.
”Sudah 15 tahun warung di sini. Enggak ada yang marah. Malah, kalau saya enggak ada, orang-orang pada nyariin. Katanya, mana Pak Kumis,” ucap Harto yang kumisnya tertutup masker. Harto beragama Islam dan bukan keturunan Tionghoa.
Di warung sederhana dengan tiga bangku kayu itu, Harto menyambut setiap pembeli. Dari yang berpeci, berhijab, berkalung salib, hingga keturunan Tionghoa. Mereka biasa mengobrol hangat. Lazimnya, Harto cuma bertanya, ”Pedas atau sedang?”
Pedas merujuk pada tahu gejrot dengan tujuh cabai, sedangkan level sedang hanya tiga cabai. Cabai dan bawang merah diulek di atas piring berbahan gerabah berwarna coklat khas Ciledug, daerah asal tahu gejrot. Ini berbeda dengan gerabah khas Sitiwinangun, Cirebon, yang berwarna merah.
Baca juga : Kesetiaan ”Pat Im” Menjaga Irama Keberagaman
Setelah bumbu diulek, Harto lantas memasukkan 10 tahu yang dipotong dua. Selanjutnya, kuah berbahan gula aren, garam, dan rempah-rempah melumuri tahu. Dia memakai jeriken kecil untuk menuang kuah. Tahu gejrot disantap menggunakan tusuk gigi, bukan sendok atau garpu.
Dulu, kuah disimpan di dalam botol bekas kecap dengan penutup kayu yang dilubangi kecil-kecil. Kuah dicampurkan ke tahu dengan cara mengentak botol. Terdengarlah bunyi jrot-jrot-jrot yang memberikan nama tahu gejrot.
”Kalau sekarang pakai botol seperti itu bisa lama ngelayani pembeli,” ucapnya. Sebelum pandemi Covid-19, Harto bersama Wardi, pemilik warung, menyuguhkan tahu gejrot untuk konsumen. Mereka bisa menjual hingga 1.800 tahu per hari pada akhir pekan.
Pembelinya kebanyakan wisatawan di Kanoman. Tidak hanya bersantap di tempat, mereka juga bisa menjadikan tahu gejrot seharga Rp 10.000 per porsi ini sebagai oleh-oleh. Tahu ini bisa bertahan dua hari dengan catatan pembeli mengulek sendiri bumbunya. Tahu bahkan awet lebih lama jika disimpan dalam kulkas.
Baca juga : Cici Situmorang Menguatkan Toleransi untuk Semua
Akan tetapi, saat pandemi 2020, penjualan anjlok hingga hanya 480 tahu per hari. Itu sebabnya, hanya Harto yang menjaga warung. Selain pembeli berkurang, harga kedelai juga naik tahun lalu. Ia berharap pandemi segera terkendali agar pariwisata hidup kembali.
”Saya memang fokus ingin membuat tahu gejrot ini jadi wisata kuliner. Makanya, saya enggak mau jualan di mal atau supermarket. Padahal, banyak yang manggil. Lebih enak di Kanoman saja, tempat wisata,” ujar Wardi (38). Baginya, tahu gejrot punya cerita yang bisa menarik wisatawan, bukan sekadar makanan.
Wardi, misalnya, merupakan generasi ketiga penerus tahu gejrot. Ia memperkirakan, neneknya mulai berdagang tahu sejak 1965-an setelah belajar dari keluarga Tionghoa di Desa Jatiseeng, Ciledug, sekitar 35 kilometer dari pusat Kota Cirebon. Pada 1990-an, terdapat sembilan pabrik tahu di sana. Kini hanya tersisa dua pabrik.
Metode penjualannya juga berubah, dari sebelumnya dipikul dengan jalan kaki menjadi menetap di sebuah tempat. Kini, penjualan tahu gejrot pun melalui pemesanan lebih dulu. Tidak hanya dari Bandung, pembeli juga datang secara daring dari Jakarta dan bahkan Batam.
Paling menarik, menurut Wardi, tahu gejrot berasal dari tradisi China, tetapi yang meneruskan warga setempat. Bahkan, tahu gejrot kerap jadi sajian saat perayaan Imlek. Biasanya, Kelenteng Winaon (Cirebon) dan kelenteng di Tegal yang memesan. ”Kemarin, ada orang Tionghoa pesan 23 kantong (1.150 tahu),” katanya.
Dalam kehidupannya, bapak tiga anak ini juga lekat dengan orang Tionghoa. ”Anak saya satu-satunya yang bukan keturunan Tionghoa di tempat lesnya. Dia senang. Malah biasa mewakili temannya untuk lomba sempoa,” katanya bahagia.
Anak saya satu-satunya yang bukan keturunan Tionghoa di tempat lesnya. Dia senang. Malah biasa mewakili temannya untuk lomba sempoa.
Pengamat sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja, mengatakan, orang Tionghoa mengenalkan tahu akhir abad ke-19 di Cirebon seiring berdirinya pabrik gula di sejumlah daerah, termasuk Karangsuwung dan Sindanglaut. Lokasinya dekat dengan Ciledug.
Pabrik tahu lalu berdiri di daerah tersebut. Warga setempat menjadi pekerjanya. Belakangan, lahir kreasi tahu, seperti intip tahu dan tahu gejrot. ”Warga lalu menjual tahu gejrot dengan berkeliling menghampiri pekerja di pabrik gula, stasiun, dan pelabuhan,” katanya.
Tidak hanya tahu gejrot, nasi jamblang, kuliner ikonik Cirebon lainnya, juga erat kaitannya dengan orang Tionghoa. ”Ini membuktikan, Cirebon menerima semua budaya. Jadi, enggak ada warna asli Cirebon. Agak sulit mendefinisikan orang Cirebon asli itu yang mana? Semuanya orang Cirebon,” ungkapnya.
Tidak berlebihan rasanya mengklaim tahu dengan segala produk turunannya sebagai rasa persaudaraan, seperti hubungan orang Tionghoa dan warga setempat. Perbedaan agama, ras, dan budaya tidak masalah, asal masih selaras. Hei…warga Nusantara, ayo kita nikmati sedapnya keberagaman ini.
Baca juga : Memadamkan Api Diskriminasi