Cici Situmorang (32) melawan diskriminasi dengan setia berbagi akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Lewat Inspiration House, Cici memperlihatkan indahnya keberagaman di Indonesia.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Cici Situmorang (32) pernah jadi korban kejamnya diskriminasi SARA. Satu per satu rekannya pergi. Sepi. Namun, dia enggan menyerah. Perlahan dikikisnya ragam tuduhan miring. Cici melawan diskriminasi dengan setia berbagi akses pendidikan dan indahnya keberagaman bagi anak-anak terpinggirkan.
Langit mendung Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (28/1/2021) siang, seakan menggambarkan ingatan kelam Cici. Reminisensi itu pernah membuatnya terpuruk sekaligus semangat yang menguatkannya melawan diskriminasi.
Cici yang kala itu masih mahasiswa tidak pernah membayangkan kasus Basuki Tjahaja Purnama, yang tersangkut kasus penodaan agama pada 2016 di Jakarta, merembet ke dirinya. Dia dianggap menyebarkan agama tertentu di sebuah kampus di Cirebon.
”Katanya, karena saya memimpin doa sebelum kegiatan bakti sosial. Padahal, saya ngajak doa bareng-bareng sesuai keyakinannya masing-masing,” tuturnya. Cici termasuk pelopor organisasi intrakampus yang fokus pada kegiatan sosial di Cirebon.
Seperti cendawan di musim hujan, sangkaan itu merebak cepat. ”Saya tiba-tiba enggak punya teman. Saya kayak daging busuk kalau masuk kampus. Bahkan, nilai saya juga sampai terpengaruh. Selama setahun, habis kuliah saya langsung pulang, nangis,” kenangnya.
Dampaknya sampai ke luar kampus. Inspiration House, komunitas yang ia dirikan akhir tahun 2014, nyaris bubar. Padahal, organisasi itu bergerak di sektor pendidikan bagi anak kurang mampu. Dari 30 anggota, tersisa empat orang saja. Peserta didik yang sempat mencapai 300 orang, menyusut hingga 100 anak.
Di tengah keterpurukan itu, ia teringat pesan ibunya bahwa Tuhan akan memberi yang lebih baik. Benar saja, Tuhan tidak membiarkannya sendiri. Pada 2018, Cici lolos seleksi dalam Sekolah Pemikiran Maarif yang digelar Maarif Institute.
Program sekolah itu diikuti para sarjana hingga magister. Tujuannya, merawat gagasan Ahmad Syafii Maarif, tokoh bangsa yang dikenal lekat dengan kemanusiaan, keindonesiaan, dan keislaman. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD turut mengajar dalam sekolah tersebut.
”Yang paling keren, acara terakhir di sekolah, saya diminta memimpin doa. Padahal, saya satu-satunya orang Kristen,” katanya. Temannya yang hilang satu per satu kini tumbuh seribu.
Ia bahkan tergabung dalam Peace Train Indonesia. Kegiatan ini mengajak pemuda-pemudi berbagai latar belakang agama dan etnis untuk merasakan toleransi dengan melakukan perjalanan. Cici juga masuk dalam jaringan Gusdurian.
Toleransi mengalir di darah Cici sejak kecil. Paman dari ibunya beragama Islam. Ibunya seorang Kristen yang pernah sekolah di SD Muhammadiyah di Aceh. Saat Natal, keluarganya yang Islam turut berkunjung. Begitu pula ketika Lebaran.
Yang paling keren, acara terakhir di sekolah, saya diminta memimpin doa. Padahal, saya satu-satunya orang Kristen.
Anak terpinggirkan
Inspiration House juga kian solid. Meskipun hanya 11 orang, hampir seluruhnya perempuan, mereka tetap aktif mengajar bahasa Inggris dan matematika secara sukarela untuk anak yang secara ekonomi kurang mampu di daerah Larangan dan Gang Pandawa.
Pembelajaran dilakukan sekali sepekan. Metodenya mulai dari bercerita dengan puppet (boneka tangan) hingga memanggil dokter, polisi, dan profesi lainnya untuk berbagi kisah demi memacu mimpi anak-anak tersebut.
Mereka juga membangun program harmony kids trip yang mengenalkan toleransi dengan berkunjung ke berbagai tempat ibadah di Cirebon setiap tiga bulan. ”Orangtua mereka juga ikut dan kagum dengan keindahan gereja serta masjid. Saya selalu berpesan, ’kalau pulang, anak-anak jangan lupa ngaji’,” katanya diiringi senyum.
Beberapa kali masuk masjid, membuatnya dituding sesat oleh sejumlah orang, terutama yang satu iman dengannya. Beberapa di antaranya menanyakan ulang soal agamanya. Namun, dia jalan terus. Segala aktivitasnya mendudukkan toleransi beragama tidak membuat imannya berubah.
Program lainnya adalah cilik-cilik juru bicara Pancasila. Pengajar Inspiration House memilih lima anak untuk menjelaskan Pancasila dengan bahasanya sendiri. Misalnya, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. ”Kalau punya teman beda agama, boleh dihina? Enggak,” ujar Cici menirukan ucapan anak-anak.
Baginya, anak yang terpinggirkan, seperti anak jalanan, membutuhkan perhatian. Selama ini mereka terdiskriminasi untuk akses pendidikan.
”Mereka juga butuh pemahaman keberagaman agar tidak jadi korban diskriminasi seperti saya. Apalagi, hidup mereka sudah susah,” kata dosen Tutor Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila Universitas Catur Insan Cendekia Cirebon ini.
Setelah berjalan sekitar enam tahun, Inspiration House semakin menguatkannya. Saat pandemi, komunitasnya menjadi jembatan memberikan bantuan kebutuhan pokok dari Gusdurian dan sejumlah donatur kepada keluarga anak didiknya. Untuk keberlangsungan organisasi, Cici acap kali menggunakan gajinya sebagai dosen dan guru privat bahasa Inggris.
Uniknya, seorang peserta les privat selama enam tahun terakhir berbeda agama dengannya. ”Kalau dia enggak shalat Jumat, asisten rumah tangganya video call. Lalu, saya ingatkan untuk shalat,” katanya.
Lewat Inspiration House, Cici berupaya menyuntikkan ”vaksin” toleransi ke anak-anak. Impiannya adalah bisa mendirikan sekolah yang mengedepankan toleransi. ”Pernah ada yang menawarkan membangun sekolah. Tapi, untuk kepentingan agama tertentu. Saya enggak mau,” ungkapnya.