Kesetiaan ”Pat Im” Menjaga Irama Keberagaman
Musik terus menyuarakan bahasanya yang universal di Cirebon, Jawa Barat. Menembus perbedaan, alunan ”pat im” berusaha menghargai keberagaman yang kian langka di republik ini.
Perayaan Imlek 2572 di Cirebon, Jawa Barat, mungkin bakal menjadi yang tersunyi. Pandemi Covid-19 membuat Cap Go Meh, karnaval meriah setelah Imlek, ditiadakan. Namun, senandung keberagaman tetap terdengar lewat alunan pat im dari pelosok Desa Dukuhwidara, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon.
Senin (8/2/2021), nada lirih pat im itu terdengar dari rumah sederhana milik Surip (29). Siang itu, Surip dan empat anggota grup Pat Im Langgeng penuh konsentrasi memainkan musik bernuasa China itu. Semuanya bukan keturunan Tionghoa.
”Tahun ini, kami tidak tampil karena korona. Enggak apa-apa, kami latihan untuk menghormati Imlek,” kata Surip. Sebelumnya, mereka biasa pentas di Wihara Dewi Welas Asih, Kota Cirebon, saat Imlek. Asap dupa jadi teman saat duduk melantai beralas tikar. Tidak ada vokalis, hanya irama musik.
Kemauan menghargai keberagaman hari itu bukan tanpa pengorbanan. Hanya seorang personel inti yang absen. Sehkudin (21), adik Surip, rela izin dari tempat kerjanya di warung nasi pecel untuk latihan. Wanto (24), keponakan Surip, juga berhenti sejenak menggiling padi. Lelaki tua seperti Ki Amad istirahat jualan jagung untuk sementara.
Meski menerka umurnya di atas 70 tahun, Ki Amad, kakek 11 cucu ini, tetap penuh semangat. Tabuhan gambangnya kencang. Bunyi kayu yang ia pukul selaras gesekan kong ayan (mirip rebab) Sehkudin. Gesekan senar teh yan, seperti kong ayan dengan ukuran lebih besar milik Wanto.
Tiupan terompet Surip dan pukulan kendang Akmad (65), ayah Surip, memeriahkan suasana. Alunan musik pat im itu cukup mengundang perhatian. Beberapa anak penasaran mengintip lewat jendela.
Sesuai artinya dalam bahasa China, pat im adalah delapan atau sembilan alat musik yang dimainkan delapan atau sembilan orang. Namun, minimnya regenerasi dan kesulitan membeli alat baru membuat kelompok Surip hanya beranggotakan enam orang.
Jangankan membeli alat berharga jutaan rupiah, peralatan tua kelompok ini berdesakan di sudut rumah Surip. Lusuh, mirip jemuran di pagar rumah warga di daerah berjarak sekitar 38 kilometer dari Kota Cirebon itu. Rumah seluas sekitar 50 meter persegi dihuni sembilan orang. Jika hujan deras, tetesan air dari atap yang bocor leluasa membasahi alat musik.
”Makanya, saya ikut grup tarling (gitar-suling) dangdut untuk dapat uang agar grup ini masih jalan. Kalau dangdut, panggungan bisa sebulan penuh saat musim hajat,” kata Surip, generasi keempat Pat Im Langgeng.
Sayangnya, penghasilan dari tarling, minimal Rp 150.000 per hari, lenyap juga karena Covid-19. Tahun lalu, empat pentas tarling dibubarkan.
Beruntung, Pat Im Langgeng masih bisa tampil saat Imlek 2020 sebelum pemerintah sadar Covid-19 sudah masuk Indonesia. Pat Im Langgeng juga sempat enam kali pentas di salah satu acara religi minim kerumunan. Rupiah masih hadir meski tak lagi deras.
Baca Juga: Memadamkan Api Diskriminasi
Tanpa tarif
Akan tetapi, Surip mengatakan, grupnya yang dikenal awam dengan nama Cokek Losari itu tidak mencari rupiah. Bertahun-tahun pentas di Wihara Welas Asih, mereka tidak mematok tarif.
”Bayarnya seikhlasnya. Ini sudah perjanjian dengan buyut saya. Alhamdulillah, kami selalu dapat rezeki lumayan,” ungkap Surip saat Kompas menggali kisahnya. Cerita ini menjadi bagian dari program ”Workshop dan Story Grant Pers Mainstream” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman bersama Kedutaan Besar Norwegia untuk Indonesia.
Surip berkisah, cokek di Cirebon dimulai Warcita Gender, bapak dari buyutnya, Wastar Rucita. Warcita mengenal kesenian itu sekitar pertengahan abad ke-19 dari Babah Heng Liam, orang China asal Semarang yang menetap di Cirebon. Pat im biasanya hadir dalam pentas wayang potehi, wayang dengan setting budaya China.
”Kesenian itu tidak gagu. Rasa sayang berbicara. Kalau telinga ayah dan telinga saya sendiri merasakan kesenian China itu indah, kenapa tidak kami pelajari,” kata Wastar (Kompas, 25/08/2001).
Cokek berkembang saat masa Wastar. Ada empat grup serupa yang masih satu darah. Satu grup berisi enam sampai delapan orang. Tidak ada satu pun keturunan Tionghoa. Semua beragama Islam.
”Dulu, kami ngamen jalan kaki. Dalam sebulan, minimal ada dua panggungan,” kenang Akmad yang ikut grup itu sejak masa Wastar. Mereka pentas di kelenteng-kelenteng Indramayu, Majalengka, dan beberapa daerah di Jawa Tengah, yakni Pekalongan dan Tegal.
Dari perjalanan itu, ikatan warga asli Cirebon ini kian erat dengan keturunan Tionghoa. ”Bapak Sutan dari kelenteng di Tegal menyuntik (mengobati) kami kalau sakit. Dia dokter yang kasih obat dan uang,” kata Akmad merujuk nama salah satu penggemar cokek.
Baca Juga: Ujian Berat untuk Toleransi di ”Kota Wali” Cirebon
Ketika konflik pecah di Losari, Cirebon, akhir masa Orde Baru, pengurus kelenteng di Tegal bahkan meminta grup Pat Im Langgeng berlindung sementara. ”Kami diberi tempat menginap empat hari dan makanan. Beberapa rumah keturunan Tionghoa dibakar di Losari. Lima orang tewas ditembus peluru,” ungkap Akmad.
Peristiwa itu menyebabkan banyak keturunan Tionghoa pindah ke Bandung hingga Jakarta. Padahal, lanjutnya, bukan warga Losari yang memulai konflik. ”Di sini, semua pada bae (sama saja). Meskipun keturunan Tionghoa, mereka warga Indonesia. Makanya, bisa milih kuwu (kepala desa) sampai presiden,” katanya.
Sebaliknya, tak satu pun orang Tionghoa keberatan saat Warcita hingga Surip melantunkan pat im, setidaknya sekitar seabad terakhir. ”Kami sepertinya satu-satunya yang masih melantunkan pat im,” kata Surip.
Baca Juga: Pesan Toleransi dari Lukisan Keramik
Intoleransi
Akan tetapi, perjalanan menyemai keberagaman tidak lepas dari cibiran. ”Banyak yang bilang, orang Jawa main musik China? Kamu itu agamanya apa? Kok, masuk kelenteng,” kata Surip menirukan ungkapan orang lain kepadanya.
Surip membalas semua itu dengan senyuman. Kelompoknya bukan beribadah di kelenteng, melainkan menghormati perayaan Imlek. Ia juga berupaya menjaga wasiat buyutnya untuk melanggengkan musik pat im, seperti nama grupnya.
Sungkono (78), Sekretaris Wihara Dewi Welas Asih, kagum dengan kesetiaan Pat Im Langgeng. ”Ini modal menjaga keberagaman di Cirebon. Apalagi, beberapa tahun terakhir, ada saja yang ingin merusak persaudaraan kita,” katanya.
Pengajar IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Marzuki Wahid, menilai, Cirebon belakangan darurat radikalisme. Pada 2011, bom bunuh diri meledak di masjid Kepolisian Resor Cirebon Kota.
Dia mencatat, periode 2011-2018, setidaknya 28 warga Cirebon dan sekitarnya menjadi terduga teroris. Pembangunan rumah ibadat juga kerap mendapat penolakan kalangan tertentu.
Baca Juga: Keberagaman dari Jamblang
Padahal, menurut Gouw Hong Giok (77), budayawan Tionghoa Cirebon, kota pesisir tersebut sudah terbuka untuk warga dari budaya mana pun sejak berabad-abad silam. Sunan Gunung Jati, pimpinan Cirebon abad ke-15, memperistri Putri Ong Tien, Putri Kaisar Hong Gie (1368-1644) dari Dinasti Ming.
Sejarah toleransi itu tetap terjaga dengan berbagai hambatan. ”Saat Imlek, misalnya, ada Cokek Losari sampai berbagi kue keranjang dengan warga yang bukan keturunan Tionghoa. Di Cirebon, Imlek itu milik semuanya, apa pun agamanya,” ungkapnya.
Alunan musik Pat Im Langgeng membuktikan senandung keberagaman tetap terdengar meski di tengah masa sulit. Siapa pun bisa menikmati irama merdu itu selama telinga, mata, pikiran, dan hati yang terbuka.
Lihat Juga: Suatu Siang di Kelenteng Dewi Welas Asih