Tiga Minggu Pascabanjir, Puluhan Warga Manado Masih Mengungsi
Puluhan warga Manado masih mengungsi meski banjir dan longsor akibat hujan lebat telah berlalu lebih dari tiga pekan. Pemda pun masih terus mendistribusikan bantuan sambil mendata jumlah korban dan rumah rusak.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Puluhan warga Manado, Sulawesi Utara, masih mengungsi meski banjir dan longsor akibat hujan lebat telah berlalu lebih dari tiga pekan. Pemerintah kota pun masih terus mendistribusikan bahan makanan dan matras sambil berupaya memvalidasi data jumlah korban dan rumah rusak.
Sekitar 30 orang yang terbagi dalam 12 keluarga masih mengungsi di gedung SD Negeri 23 dan 56 Manado, Kelurahan Dendengan Dalam, Kecamatan Paal II, Senin (8/2/2021). Mereka menggunakan ruang-ruang kelas sebagai kamar tidur, dapur, sekaligus tempat jemur pakaian. Sebagian tidur di atas kasur, sebagian lainnya hanya di atas matras.
Angreini Martino (31) mengungsi bersama dua anaknya serta ayah dan ibunya. Ia belum dapat pulang karena seisi rumahnya masih lembab dan berbau pesing sejak banjir kedua melanda rumahnya pada 22 Januari. Saat itu, air dari sungai di belakang rumahnya naik sampai sekitar 2 meter. Bekas tembok yang basah dan lembab masih tampak.
”Belum berani pulang, takut anak bayi saya sakit. Orangtua saya juga sudah lanjut usia, takutnya sakit pernapasan karena rumah pengap dan bau. Sekarang juga masih sering hujan, jadi rumah tidak cepat kering,” katanya sambil menimang Ochelya Polandow, putrinya yang baru berusia tiga bulan.
Hampir tak satu pun barang dapat Angreini selamatkan ketika banjir menerjang. Anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun, misalnya, kehilangan buku-buku sekolah beserta tugas-tugasnya. Bahan makanan dan pakaian pun tak sempat terselamatkan. Namun, ia sudah mendapatkan bantuan bahan-bahan pokok, termasuk popok bayi, dari berbagai pihak.
Eke Budiman (32), pengungsi lain, mengatakan, warga telah memiliki cukup bahan makanan, seperti beras, mi instan, hingga pisang goroho. Namun, mereka membutuhkan lebih banyak kasur busa selagi masih mengungsi. ”Punggung saya sakit lama-lama tidur di atas lantai. Masalahnya, kasur dan barang-barang lainnya sudah rusak atau hanyut,” katanya.
Cica Budiman (20), yang juga mengungsi di SDN 56, telah meminta kasur kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manado. Meski hanya 12 keluarga yang mengungsi, permintaan bantuan diajukan untuk 26 keluarga yang awalnya mengungsi. Namun, BPBD tak bisa langsung memberikannya tanpa verifikasi petugas.
”Masalahnya, sudah beberapa kali kami bertengkar gara-gara sembako dengan 14 keluarga yang sudah pulang. Katanya tidak adil, semua kena banjir tetapi yang dapat bantuan cuma kami. Supaya tidak bertengkar lagi, kami mintakan untuk semua,” katanya.
Sementara itu, Yohana Kondoy-Maengkom (71) mengatakan, pemerintah pernah berupaya merelokasi warga yang tinggal dalam jarak 15 meter dari garis sempadan sungai ke perumahan relokasi di Kelurahan Pandu. Sudah dibangun 2.054 rumah di sana, tetapi yang ditempati baru sekitar 1.000.
”Sudah 40 tahun saya tinggal di sini dan 10 tahun terakhir kami selalu kebanjiran. Saya rasa lebih baik direlokasi saja. Tetapi, tidak pernah ada kejelasan dari pemerintah,” ujar Yohana.
Untuk sementara, BPBD Manado mencatat banjir dan longsor melanda 10.988 rumah dan 38.908 warga yang terbagi dalam 12.325 keluarga. Sebanyak 527 rumah rusak ringan, 67 rumah rusak sedang, dan 34 rumah rusak berat. Namun, Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) BPBD Manado masih akan memverifikasi data tersebut hingga pekan depan.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Manado Budhi Raiduan Yasin mengatakan, pihaknya berupaya membagikan paket-paket bantuan berisi beras, mi instan, pembalut, dan popok bayi dari rumah ke rumah. Bantuan-bantuan itu berasal dari sumbangan pemerintah kabupaten dan kota sekitar serta warga.
Pemkot Manado juga membuka keran anggaran belanja tak terduga (BTT) dengan menggelontorkan sekitar Rp 197 juta untuk menyediakan sekitar 500 kasur busa. Budhi mengatakan, kasur-kasur itu akan dibagikan ke kecamatan, kemudian diberikan dari rumah ke rumah.
Menurut Budhi, penanggulangan bencana tak terhambat meski APBD belum digunakan untuk mengatasi dampak banjir dan longsor. ”Kami tidak merasa dipersulit. Tiga hari setelah bencana, kami masih evakuasi korban dan melakukan perbaikan ringan di rumah-rumah rusak. Hari keenam, kami mulai distribusikan bantuan,” ujarnya.
Ihwal kerusakan rumah dan fasilitas publik, seperti saluran air, kata Budhi, BPBD tidak akan ikut campur. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Manado yang akan menangani. Sebab, mantan Kepala Pelaksana BPBD Maximilian Tatahede telah terjerat kasus korupsi dalam proyek pendampingan rekonstruksi korban banjir pada 2014.
Pascabanjir, Pemkot Manado dihujani kritik dari warga akibat penanganan dampak bencana yang buruk, termasuk sampah yang menggunung di berbagai lokasi di kota hingga menghambat aliran sungai. Pemprov Sulut pun sampai menurunkan 50 truk untuk membawa sampah dari Manado ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kulo di Minahasa.
”Manado, kan, pusat ekonomi kita. Kalau Manado kotor, bagaimana orang mau datang ke Sulut? Karena itu, kita harus bersinergi. Saat TPA Sumompo di Manado penuh, kita pindahkan dulu ke Minahasa sembari menunggu TPA Regional Mamitarang di Minahasa Utara,” kata Gubernur Sulut Olly Dondokambey, dalam acara kerja bakti, Sabtu (6/2/2021).