Tumbang dan Bertunas Lagi dengan Inovasi
Sejumlah pelaku usaha dan seniman terus berkreasi di tengah pandemi. Mereka berhasil menemukan inovasi-inovasi baru yang bahkan tidak terpikir sebelumnya. Mereka menemukan cara untuk bangkit setiap kali jatuh.
Dalam bayang pandemi Covid-19, kreativitas menjadi salah satu kekuatan untuk bangkit. Aneka karya inovatif yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya justru lahir di tengah keterimpitan situasi.
Langkah Sujono (50) berkreasi seolah dipaksa mati seketika saat wabah Covid-19 merambah penjuru dunia. Seniman tari di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang juga menekuni dunia lukis itu urung ikut sejumlah pameran. Bahkan, rencana pentas ke sejumlah tempat, termasuk Perancis, batal. Dalam suram, ia mencoba tetap bersemangat dalam berkarya.
Kesempatan pun datang saat Sujono, yang juga anggota Komunitas Lima Gunung tersebut, mendapat pesanan menghias sebuah obyek wisata di Kecamatan Salaman, Magelang. Sejak dua bulan lalu, Sujono intens membuat figur wayang dengan bahan galvalum.
Kondisi pandemi membuatnya berhati-hati melibatkan tenaga lain. Dia hanya melibatkan istri dan dua anaknya. Kini dia mampu membuat 101 wayang berbahan galvalum. Semuanya figur wayang dalam epos Mahabharata.
Sujono mengatakan, apa yang dibuatnya merupakan hasil pengembangan ide setelah sebelumnya sempat membuat kerajinan berbahan galvalum pada 2017. ”Tahun 2017, saya hanya membuat galvalum menjadi kerajinan, seni instalasi penghias ruangan saja. Sekarang, saya membuat produk kerajinan yang lebih rumit, dengan membentuknya menjadi wayang,” ujarnya, Rabu (20/1/2021).
Untuk membuat 101 wayang tersebut, Sujono menggunakan 125 meter bahan galvalum. Sesuai figur masing-masing tokoh, setiap wayang dibuatnya dengan tinggi beragam, mulai dari 50 sentimeter hingga 2 meter.
Setelah banyak mengunggah foto karya di media sosial, dua pabrik galvalum pun tertarik dengan buatannya. Satu pabrik bahkan menawarkan kontrak kerja sama dengan Sujono untuk membuat taman dan galeri galvalum di Surabaya.
”Penandatangan kontrak kerja sama akan segera dilakukan dalam waktu dekat,” ujarnya berseri. Pabrik tersebut mengaku kagum akan kreativitas karya Sujono yang unik dan belum pernah dibuat orang lain.
Bahan lokal
Pandemi sesungguhnya tak hanya memukul bisnis, tetapi juga mental para pelaku usaha. Butuh keteguhan hati untuk tetap berani berkarya. Dewi Mulya Sari (29) juga mesti menunda mimpinya menjelajah dunia sembari bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia ketika pandemi melanda penjuru dunia. Satu per satu negara menutup akses masuk. Setelah sempat bekerja di Taiwan dan Slovakia sejak 2019, dia akhirnya pulang kampung di Kelurahan Padangan, Kecamatan Temanggung, Jawa Tengah.
Perempuan yang sempat menjadi guru TK tersebut kembali menekuni usaha kerajinan kayu yang pernah dijalankannya sekitar satu tahun pada 2015. Ide usaha pun lahir saat ia teringat pengalaman sejumlah tamu asing di TK Shekinah, tempatnya mengajar dulu, yang kerap bingung mencari cenderamata dari Temanggung.
”Saya ingin membuat produk khas Temanggung yang nantinya bisa menjadi buah tangan bagi setiap wisatawan,” kata Dewi, akhir Desember lalu.
Dewi ingin menggunakan bahan yang identik dengan Temanggung. Salah satunya tembakau. Dia pun memanfaatkan daun tembakau kering atau yang biasa disebut ”dendeng”.
Pada tahap awal, sebagai bagian dari proses coba-coba, Dewi membeli beberapa ikat daun tembakau kering dari salah satu gudang tembakau. Karena ingin menggabungkan dengan usaha kerajinan kayu yang digeluti, dia mencoba membuat produk dengan memadukan bahan tembakau dan kayu jati belanda. Berawal membuat produk sandal bakiak, dia mengembangkan produk hingga 11 jenis, antara lain gantungan kunci, tempat cincin, asbak, dan lukisan.
”Kini, cerita tentang tembakau tidak hanya berakhir menjadi asap rokok,” ujarnya bangga. Dewi pun merasa semakin mantap berkarya karena merasa tidak pernah menemukan produk serupa yang dibuat orang lain.
Baca Juga: Kreativitas Mereka Tidak Mati karena Pandemi
Produk-produk berbahan kayu dipadu tembakau yang diberi label Kayunedw tersebut dijual mulai dari harga Rp 15.000 hingga lebih dari Rp 5 juta. Harga tertinggi dikenakannya pada karya lukisan yang memang membutuhkan proses lebih panjang dan rumit. Dalam mengerjakan beragam karya tersebut, Dewi dibantu oleh seorang tukang. Namun, khusus lukisan, ia mengerjakannya sendiri.
Lukisan tersebut merupakan susunan daun tembakau kering yang kemudian dibentuk menjadi figur atau wujud makhluk hidup tertentu. Proses ini tidak mudah. Sebelum daun tembakau digunakan, harus direbus kemudian dijemur dengan durasi waktu tertentu. Butuh ketelitian tinggi saat membentuk produk tersebut.
Sering melihat aktivitas ibunya yang kerap membuat kerajinan kristik di rumah, Aditya mengembangkan kerajinan kristik di atas lembaran kayu.
Semangat berinovasi juga dilakukan Aditya Widya Pranata, perajin kayu asal Kecamatan Candiroto, Temanggung. Sempat pesimistis dan merasa terpuruk karena omzet usaha kerajinan kayu berlabel Magani miliknya turun 90 persen akibat pandemi, dia akhirnya menemukan cara untuk bertahan melalui inovasi.
Situasi pandemi yang mendorong setiap orang lebih banyak di rumah, akhirnya justru melecutkan ide baru bagi Aditya. Sering melihat aktivitas ibunya yang kerap membuat kerajinan kristik di rumah, Aditya mengembangkan kerajinan kristik di atas lembaran kayu.
Membuat hiasan dari jalinan benang di atas permukaan kayu jelas tidak mudah. Proses membuat kristik dilakukannya dengan menggunakan mesin. Butuh waktu berbulan-bulan untuk melakukan uji coba hingga akhirnya bisa membuat hasil sesuai yang diinginkan.
Aditya berkisah, pada 2018, Magani Craft semula fokus mengerjakan berbagai kerajinan atau peranti berbahan kayu. Segala jenis produk dibuat, mulai dari hiasan dinding hingga gerobak.
Namun, sejak 2020, ia mulai mengubah fokusnya. Kini ia tak lagi mengerjakan sembarang barang. Aditya lebih fokus membuat produk-produk cantik yang cocok dipadukan dengan kristik, seperti tas, hiasan dinding, hiasan meja, dan jam. Tahun ini, ia mulai mengembangkan produk-produk aksesoris, seperti gelang, kalung, dan anting.
Aditya mengakui, pendapatannya memang belum normal. Jika sebelum pandemi, omzetnya berkisar Rp 6 juta-Rp 8 juta per bulan, kini baru berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta. Kendati demikian, keberhasilan dalam berinovasi tetap memberikan kebanggaan dan kepuasan tersendiri.
Kesempatan baru
Yang pasti, inovasi telah membuka pintu-pintu kesempatan baru bagi Sujono, Aditya, dan Dewi. Dewi, misalnya, setelah berhasil membuat lukisan berbahan daun tembakau, dia kini berniat memperluas pemasaran produk. Dia melihat produknya diminati pasar luar negeri.
Dibantu dua rekannya, Dewi bersiap melakukan ekspor ke India dan Taiwan. Di India, produk Kayunedw akan dipakai oleh sebuah perusahaan sebagai tempat atau kemasan produk pabrik. Adapun di Taiwan, seorang rekan akan membantu untuk memasarkan produk Kayunedw langsung ke pelanggan perorangan.
Di India, produk Kayunedw akan dipakai sebuah perusahaan sebagai tempat atau kemasan produk pabrik. Di Taiwan, produk Kayunedw dipasarkan langsung ke pelanggan perorangan.
Produk yang diminta dipasarkan di luar negeri tersebut terdiri dari tas, dompet, dan kotak jam. Untuk pesanan perorangan tersebut, Dewi berencana membuat produknya dalam jumlah terbatas. Masing-masing hanya dibuat sebanyak 10 buah per bulan.
Baca Juga: Kian Hebat meski di Tengah Pandemi Covid-19
”Saya sengaja membatasi jumlah untuk menguatkan kesan bahwa produk ini eksklusif buatan tangan dan bukan buatan pabrikan,” ujarnya. Bulan Agustus tahun ini, dirinya akan membuat perencanaan lebih matang untuk menggarap potensi ekspor.
Kesulitan akan selalu datang dalam perjalanan hidup. Namun, para pemenang selalu jeli mencari peluang untuk tetap bertahan, bahkan berkembang. Kreativitas, ketekunan, dan semangat menjadi mantra agar daya cipta selalu bertunas setiap kali tumbang, pun akibat pandemi.