Butuh Sinergi Antardaerah Atasi Gelandangan di Malang
Gelandangan masih menjadi salah satu masalah sosial di Kabupaten Malang. Selain menghadapi orang-orang yang menggelandang, kabupaten ini kerap menerima pemulangan warganya yang tertangkap menggelandang di daerah lain.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS - Gelandangan atau pengemis masih menjadi salah satu masalah sosial yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kabupaten Malang yang wilayahnya beririsan dengan Kota Malang. Kota Malang yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur. Diperlukan sinergi antar daerah untuk menangani persoalan gelandangan ini.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Malang, Retno Tri Damayanti, Senin (25/1/2021), mengatakan, gelandangan dan pengemis (gepeng) bekerja lintas wilayah. Dinas Sosial Kabupaten Malang mendapati kebanyakan pengemis yang ada di Malang berasal dari daerah lain. Daerah itu seperti Surabaya, Probolinggo, Pasuruan, Jember, dan kota-kota lain di sekitarnya. Sisanya, sedikit berasal dari Kabupaten Malang.
“Begitu pula sebaliknya. Kami juga banyak mendapat pemulangan. Warga Kabupaten Malang yang terjaring operasi di kabupaten/kota lain, seperti dari Surabaya, Pasuruan, Batu,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statik tahun 2017 (yang terakhir diperbarui pada Oktober 2019), jumlah gelandangan psikotik di Kabupaten Malang mencapai 139 orang dari total 3.654 gelandangan se-Jawa Timur. Angka ini di bawah Kota Surabaya 1.911 dan Jember 299 orang. Sedangkan di Kota Malang hanya 18 orang.
Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di Malang bisa ditemukan di beberapa tempat yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, seperti Lawang dan Singosari yang berada di sisi utara, mengarah ke Surabaya. Adapun Kabupaten Malang berpenduduk 2,9 juta jiwa.
Menurut Retno, dari hasil operasi, jumlah gepeng di wilayahnya setiap tahun rata-rata berkisar 50-100 orang. Sebagian besar dari mereka menggelandang akibat alasan ekonomi. Sedang lainnya akibat masalah keluarga.
“Alasan klise, ekonomi. Sudah mendarah daging. Sebenarnya ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan, tetapi kembali lagi kepada mental. Mereka (pengemis) beranggapan ‘Begini saja (di jalan) sudah dapat duit’ mengapa harus kerja. Penghasilan mereka bisa di atas Rp 100.000 per hari,” katanya.
Menurut Retno mobilitas PMKS cukup cepat. Mereka bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, termasuk ketika mengetahui ada razia di salah satu kota. Oleh karena itu, peran pemerintah provinsi cukup penting dalam menangani masalah lintas kabupaten/kota.
Sejauh ini, di Kabupaten Malang belum ada shelter yang digunakan untuk menampung gepeng. Mereka yang terjaring razia dirujuk ke Balai Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang PMKS milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Sidoarjo.
“Di Kota Malang sudah ada shelter. Namun karena otonomi daerah, shelter di Kota Malang dipakai untuk menangani masalah serupa di wilayah sendiri yang juga cukup banyak,” katanya. Tahun ini, jika tidak ada refocusing anggaran akibat pandemi, Dinas Sosial Kabupaten Malang berencana menyelenggarakan pelatihan untuk PMKS.
Camp Assessment Kota Malang
Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang sejak 2019 telah memfungsikan tempat penampungan sementara hasil razia berupa Camp Assesment. Tempat ini diperuntukkan bagi anak jalanan, orang lanjut usia (lansia) telantar, dan gepeng psikotik. Hingga kini sudah ada ratusan klien yang ditangani.
Camp Assesment berada satu lokasi dengan Kampung Topeng Desaku Menanti di Dusun Baran, Desa Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang. Lokasi penampungan gepeng itu dirintis sejak 2015 dan diresmikan menjadi desa wisata kampung topeng oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa tahun 2018.
Saat ini, ada 35 keluarga yang menempati kampung tersebut, dari sebelumnya 40 keluarga. Sebelumnya, mereka adalah orang-orang jalanan yang sebagian menghuni kolong jembatan dan petak-petak di tepi rel kereta api.
Pembina Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera—partner Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kota Malang, yang mendampingi Kampung Topeng Desaku Menanti--Sri Wahyunintyas, mengatakan, sebagian warga Kampung Topeng telah bekerja di pabrik hingga tukang bangunan.
Bahkan, 10 perempuan di antaranya bekerja di pabrik rokok yang baru berdiri setahun terakhir di daerah setempat. Dalam sehari, mereka bisa mendapatkan Rp 70.000 dari upaya melinting lebih dari 2.000 batang rokok.
Sebelum pandemi, beberapa warga juga telah berjualan makanan kecil dan melayani wisatawan yang datang. Pandemi membuat aktivitas wisata sepi. “Kalau sekarang ada yang kembali ke jalan, ya ada satu-dua akibat pandemi,” katanya.
Menurut Wahyuningtyas atau yang akrab disapa Yuyun, ketika masuk, mereka mendapat keterampilan, baik itu membuat topeng maupun makanan kecil. Mereka juga mendapat modal senilai Rp 5 juta dari Kementerian Sosial. Diakui, sejauh ini pemasaran masih menjadi kendala. Dibutuhkan peran serta dari pihak terkait secara berkesinambungan.
Kepala Dinsos P3AP2KB Kota Malang, Peni Indriani, mengatakan, saat ini warga Kampung Topeng masih belum mandiri sepenuhnya. Pemkot Malang masih melakukan pendampingan. “Ke depan harus mandiri. Wisatanya bisa dikembangkan di sana,” ujarnya.
Selain kampung topeng dan Camp Assesment, dalam rangka menangani masalah PMKS, menurut Peny Pemkot Malang memiliki fasilitas lain, seperti Gedung Tuna Wisma Karya (TWK) dan Pondok Lansia untuk menampung warga lansia yang sudah tidak produktif.