Sekitar 64.000 Ton Gula Petani di Malang Menumpuk dan Belum Laku
Ada sekitar 64.000 ton gula petani menumpuk di Kabupaten Malang. Gula itu tidak terbeli oleh investor. Gula impor yang berlebihan dan konsumsi masyarakat yang turun selama pandemi diduga jadi penyebabnya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sekitar 64.000 ton gula petani di Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum laku meski musim giling tebu telah berakhir November 2020. Serapan pasar yang rendah dan derasnya gula impor diduga jadi penyebab utamanya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Malang Dwi Irianto mengatakan, stok gula di Pabrik Gula (PG) Krebet Baru sekitar 42.000 ton. Sementara di PG Kebonagung terdapat setidaknya 22.000 ton.
”Biasanya, ketika tutup giling gula sudah habis. Nah, ini tutup giling November 2020, ini gula belum juga habis. Petani sudah cukup lama menunggu gula itu laku. Mereka butuh uang,” ujarnya, Jumat (29/1/2021).
Tidak hanya itu, di luar gula petani, masih ada sisa 160.000-180.000 ton gula di gudang PG. Gula-gula tersebut sudah laku, tapi belum diambil pembeli lantaran serapan pasar rendah.
APTRI menyinyalir masalah ini terjadi akibat gula impor yang terlalu banyak. Impor gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi 2020 sebanyak 1,5 juta ton. Padahal dalam kondisi normal, kebutuhan GKP Indonesia hanya 2,7 juta-2,8 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri 2,1 juta ton.
Artinya, hanya ada kekurangan 600.000 ton. ”Itu dalam kondisi normal. Bukan pandemi Covid-19. Kalau situasi pandemi, pasti kebutuhan konsumsi turun. Jadi berlebih, kebanyakan, karena kebutuhan 600.000 ton. Namun yang diimpor 1,5 juta ton,” kata Dwi.
Terkait impor 1,5 juta ton, Dwi Irianto mengatakan, pada rapat koordinator terbatas September 2019, ada izin impor 450.000 ton. Kemudian, pada rakortas Maret 2020, keluar izin impor 550.000 ton. ”Kok masih ditambah lagi (impor) GKR (gula kristal rafinasi) diubah menjadi GKP 250.000 ton. Masih ditambah lagi impor langsung GKP 150.000-200.000 ton sehingga total 1,5 juta ton,” terangnya.
Menurut Dwi, kelebihan impor tidak hanya terjadi pada GKP, tetapi juga GKR yang diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman. Impor GKR di atas 3 juta ton, padahal kebutuhan maksimal hanya 2,7 juta ton.
”Selama pandemi, apakah kebutuhan industri makanan dan minuman meningkat? Tidak, kebutuhan mereka turun. Nah, (GKR) ini masuk ke pasar konsumsi dengan jalan (diduga) diubah zak (pemalsuan kemasan) dari GKR menjadi GKP. Sudah banyak pemain lapangan yang tertangkap,” ucapnya.
APTRI kini berusaha agar gula petani bisa terbeli. Juli 2020, misalnya, ada nota kesepahaman di Kementerian Koordinator Perekonomian, gula petani se-Indonesia sebesar 496.000 ton harus dibeli investor yang mendapat izin impor. Ada 13 investor yang kala itu sudah tanda tangan membeli gula petani dengan harga Rp 11.200 per kilogram. Namun, yang terbeli hanya 60.000-an ton.
”Itu pun hanya sampai produksi 20 Juli 2020. Setelah itu tidak dibayar. Dari 13 investor, ada yang sama sekali tidak mau bayar, ada yang membayar hanya 7-15 persen,” ujar Dwi.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang Budiar Anwar mengatakan, produksi gula Tanah Air tidak selaras dengan impor. Kondisi itu berpotensi menganggu penyerapan gula petani.
Pemkab Malang, menurut Budiar, akan berkirim surat ke Kemenko Perekonomian dengan tembusan ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Tujuannya, agar gula yang ada bisa segera laku. Menurut rencana, surat tersebut akan dikirim minggu ini. Sebelumnya, Bupati Malang M Sanusi juga berencana berkirim surat ke Presiden tentang masalah ini.
”Gula tidak berimbang antara impor dan budidaya. Saat panen raya, rafinasi dan gula kristal masih didatangkan. Sehingga banyak gula di gudang sulit laku,” ujarnya. Kondisi ini, menurut Budiar, kemungkinan tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga daerah lain di Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Selain berharap ada solusi terkait serapan gula yang masih menumpuk, Pemkab Malang juga berharap ada sistem beli putus. Maksudnya, begitu petani menjual tebu, mereka langsung memperoleh uang pembayaran. ”Biasanya, yang terjadi selama ini, pembayarannya masih tertunda-tunda di pabrik,” katanya.