Perkuat Desa Adat sebagai Benteng Kearifan Lokal Bali
Keberadaan desa adat di Bali diakui menjadi benteng adat, budaya, dan kearifan lokal Bali sekaligus ujung tombak pembangunan di Bali. Perda No 4/2019 tentang Desa Adat di Bali masih perlu disempurnakan dan dilengkapi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Keberadaan desa adat di Bali diakui menjadi benteng adat, budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali sekaligus menjadi ujung tombak pembangunan di Bali. Kehadiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang ditujukan untuk menjaga dan mengukuhkan desa adat masih perlu disempurnakan dan dilengkapi sehingga memperjelas kewenangan dan koordinasi desa adat dan lembaga sosial kultural di Bali serta pemerintah.
Demikian benang merah dari seminar dengan judul ”Pemajuan dan Penguatan Desa Adat dalam Aspek Regulasi, Kelembagaan, dan Dukungan Keuangan”, yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Bali secara hibrida, yakni melalui tatap muka dan juga secara dalam jaringan (daring), Jumat (22/1/2021).
Webinar yang dibuka Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali I Nyoman Sugawa Korry menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan akademisi, majelis desa adat, dan kepolisian, baik secara luar jaringan (luring) maupun secara daring.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana dan mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, diterbitkannya Perda Provinsi Bali No 4/2019 tentang Desa Adat di Bali menggantikan perda mengenai desa adat ataupun perda tentang desa pekraman sebelumnya. Palguna menyatakan, perda tentang desa adat di Bali terbaru itu masih perlu penyempurnaan, di antaranya, dengan mencantumkan Pasal 18B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional dalam konsideran pengingat pada perda.
”Karenanya, perda desa adat seharusnya diposisikan sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap desa adat. Bukan karena pelaksanaan otonomi daerah,” kata Palguna melalui telekonferensi di webinar itu. Palguna juga menyarankan penyempurnaan pada perda desa adat itu sehingga perda desa adat di Bali tersebut kokoh dan tidak memunculkan permasalahan hukum.
Pembicara sebelumnya, yakni Ketua Grup Riset Sistem Subak dan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana I Wayan Windia, mengatakan, desa adat sebagai bentuk pemerintahan otonom perlu berkoordinasi dengan lembaga sosial kultural lainnya di Bali, di antaranya subak sebagai lembaga pengairan atau irigasi dan bendega sebagai lembaga kelautan, serta berkoordinasi pula dengan desa dinas dan pemerintah.
Senada dengan Windia, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa I Made Suwitra juga menyatakan desa adat merupakan lembaga tradisional yang perlu bekerja sama dan berkoordinasi dengan subak dan bendega yang juga merupakan lembaga tradisional. Suwitra menyebutkan, regulasi ataupun majelis desa adat seharusnya memperkuat desa adat, bukan melemahkan desa adat.
Pengamat sosial dan budaya I Ngurah Suryawan menyatakan desa adat di Bali sangat jelas stratifikasi sosialnya. Meskipun desa adat mencerminkan feodalisme berkaitan dengan adat dan tradisi, menurut Suryawan, banyak pihak yang ingin memberdayakan desa adat dalam menghadapi perubahan. Suryawan mencontohkan pelibatan desa adat dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 di Bali.
Kepala Bidang Hukum Kepolisian Daerah Bali Komisaris Besar I Gusti Ngurah Rai Mahaputra menerangkan, desa adat berpengaruh dan memiliki peran dalam menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Terkait hal itu, menurut Ngurah Rai, Polda Bali sedang menyiapkan sebentuk kerja sama antara Polda Bali beserta jajaran kepolisian di Bali dan desa adat terkait pelaksanaan sistem keamanan terpadu berbasis kearifan lokal di Bali.
Dalam webinar tersebut, Bandesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengatakan, perda tentang desa adat di Bali tersebut sudah baik dan menyempurnakan perda tentang desa adat sebelumnya. Meskipun demikian, Putra Sukahet mengakui perda tentang desa adat di Bali masih memiliki kekurangan. ”Tetapi, jangan sampai (penyempurnaannya) mengubah perda yang sudah ada,” kata Putra Sukahet secara daring.
Putra Sukahet menyatakan desa adat dan majelis desa adat di Bali bekerja sama dan berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah namun desa adat maupun majelis desa adat bukan bawahan atau subordinasi pemerintah daerah. Bantuan sosial atau hibah dari pemerintah daerah ke desa adat, menurut Putra Sukahet, merupakan dukungan agar desa adat dapat maksimal berperan dalam menjalankan program pemerintah yang visi dan misinya sesuai dengan kepentingan desa adat. ”Desa adat tidak bisa dibeli dengan bantuan sosial itu,” ujar Putra Sukahet.
Dalam pernyataan penutup webinar itu, Sugawa Korry menyatakan, regulasi menjadi upaya penguatan desa adat di Bali. Hal itu tecermin dengan keberadaan perda tentang desa adat atau perda tentang desa pekraman. Perda tentang desa adat di Bali terbaru diterbitkan 2019. ”Revisi terhadap perda bukanlah hal yang tabu,” kata Sugawa Korry. ”Perda tentang desa adat sudah tiga kali revisi,” ujar Sugawa Korry.
Sugawa Korry menambahkan, Perda No 4/2019 tentang Desa Adat di Bali masih perlu dilengkapi dengan petunjuk teknis, antara lain, peraturan gubernur. Adapun seluruh materi dan diskusi yang disampaikan dalam webinar itu, menurut Sugawa Korry, akan dikumpulkan dan dianalisa menjadi sebentuk kajian. Hasil kajian dari webinar yang diadakan DPD Partai Golkar Provinsi Bali itu selanjutnya akan diserahkan ke Gubernur Bali, DPRD Provinsi Bali, dan pemangku kepentingan terkait penguatan dan pemberdayaan desa adat di Bali.