Bahaya Bisa Datang Kapan Saja di Tanah Rawan Bencana
Hidup di tanah bencana sudah pasti berbahaya. Hanya kesadaran diri untuk tetap waspada yang bisa meredam semuanya hingga tak menjadi duka.
Dusun Bojong Kondang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, berselimut duka pada awal 2021. Hingga Kamis (14/1/2021), 24 orang tewas dan 16 orang masih hilang tertimbun longsor. Saat memilih hidup di tanah rawan bencana, bahaya bisa datang kapan saja.
Hujan membuyarkan lamunan Evan (46), penyintas longsor di Bojong Kondang, Sumedang, Minggu (10/1/2021). Di antara hujan lebat, ia bergegas menjauhi material longsor yang mengubur rumahnya.
Evan takut. Masih terdapat retakan di dinding tebing sehingga rawan luruh. ”Trauma, sebelum longsor hujan turun selama 1,5 jam,” ujarnya.
Awalnya, longsor terjadi Sabtu (9/1/2021) pukul 15.30. Delapan rumah di Perumahan Pondok Daud, tak jauh dari rumah Evan, terdampak longsor.
Selamat dari longsor pertama, Evan tidak mau ambil risiko. Tinggal hanya berjarak sekitar 100 meter dari titik longsor, dia memilih membawa istri, 2 anak, dan 2 cucunya ke rumah anaknya yang belum selesai dibangun. Walau masih beralas tanah, letaknya jauh dari titik longsor, sekitar 600 meter. Sikapnya berbeda dengan tetangganya yang masih bertahan di rumah lama.
Baca juga: Petaka Dipicu Cuaca Membuka Awal Tahun
Pilihan Evan tidak keliru. Pukul 19.30, terjadi longsor susulan yang lebih besar. Lebih dari 30 rumah tertimbun material longsor. Rumah Evan adalah salah satunya. Sedang mengambil beberapa barang di rumahnya, Evan kembali terhindar dari maut. ”Ketika mau buka pintu rumah, pintu sudah terhalang tanah. Saya loncat keluar lewat jendela,” ujarnya.
Saat menyelamatkan diri, Evan melihat beberapa orang terjatuh terdorong material longsor. Ia memperkirakan delapan orang di rumah tetangganya gagal menyelamatkan diri. Mereka sedang mempersiapkan resepsi pernikahan.
Kini, meski masih diselimuti trauma, Evan harus menata kembali kehidupan pascabencana. Rencana pemerintah merelokasi rumah korban longsor disambut baik, asalkan lokasinya tidak di perbukitan terjal.
”Kalau dibangunkan rumah di situ lagi, kami enggak mau. Tolong cari lokasi lain yang tidak curam dan lebih aman,” ujarnya.
Musnah
Longsor juga menyisakan luka mendalam bagi Bangkit Pasaribu (37), penyintas lainnya. Rumahnya tertimbun longsor pertama. Istri dan ketiga anaknya belum ditemukan. Saat kejadian, ia tidak berada di rumah.
”Sembari menunggu kabar anak istri, saya mengungsi di SMA Negeri 1 Cimanggung. Kalau mereka ditemukan, akan saya bawa ke kampung halaman,” tutur pria asal Tarutung, Sumatera Utara, ini.
Bangkit membeli rumah di Perumahan Pondok Daud pada awal 2019. Rumahnya berjarak tidak sampai 10 meter dari tebing tanah. Selama menempati rumah itu, banyak rembesan air keluar dari sisi bukit saat hujan lebat.
”Padahal, saya sudah lega memiliki rumah sendiri setelah sekian lama mengontrak,” ujarnya penuh sesal. Harga rumah tipe 36 di Cimanggung berkisar Rp 120 juta-Rp 200 juta. Rumah dengan tipe serupa di pusat kota Sumedang bisa lebih mahal dua-tiga kali lipat.
Pemerintah Kabupaten Sumedang telah menetapkan kondisi tanggap darurat di Cimanggung pada 9-29 Januari 2021. Warga dalam radius 30 meter diungsikan. Pihaknya berencana merelokasi warga korban longsor. Namun, belum dapat memastikan target waktu relokasi itu.
Sekretaris Daerah Sumedang Herman Suryatman menuturkan, pihaknya sedang mengecek izin pembangunan perumahan di lokasi longsor. ”Kami akan evaluasi semua perumahan di lahan dengan kemiringan lebih dari 30 derajat,” ucapnya.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Agus Budianto menuturkan, radius 30 meter adalah jarak minimal. ”Kami sedang menyusun rekomendasi terkait zona rawan di sekitar lokasi longsor. Kalau dilihat dari bentuk tebingnya, lokasi tersebut memang jalur air yang rawan longsor,” ujarnya.
Agus mengatakan, longsor di Cimanggung berpotensi terjadi di daerah lain di Jabar selama musim hujan. Dia berharap masyarakat di perbukitan lebih waspada dan mengenali karakteristik kawasan rawan longsor. Beberapa di antaranya tanahnya berwarna kecoklatan, memiliki jalur air, dan tidak ditumbuhi pohon berakar kuat.
”Tanah berwarna coklat rentan luruh jika digerus air. Potensi longsor semakin besar jika di sekitarnya tidak ditopang akar tanaman atau pohon besar,” ujarnya.
Tanah berwarna coklat rentan luruh jika digerus air. Potensi longsor semakin besar jika di sekitarnya tidak ditopang akar tanaman atau pohon besar.
Hal itu bukan sekadar prakiraan di atas kertas. Di Jabar, longsor kerap terjadi di daerah dengan karakteristik itu. Pada akhir 2018, lebih dari 30 orang tewas akibat longsor di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Daerah itu ada di perbukitan curam yang minim pohon tegakan longsor. Ada permukiman di bawah tebing tersebut.
Selain itu, banyak permukiman di perbukitan Sukabumi juga mendekati sungai. Warga tak sadar, mereka diancam banjir bandang. Kejadian terakhir terjadi di Kecamatan Cicurug, Senin (21/9/2020). Kala itu, hujan deras meluapkan Sungai Citarik-Cipeuncit. Sebanyak 12 rumah hanyut dan 85 rumah terendam banjir. Tidak ada korban jiwa, tetapi beberapa kendaraan sempat terbawa arus.
Kabupaten Tasikmalaya juga langganan bencana. Salah satunya terjadi pada Senin (12/10/2020). Tanah longsor memakan satu korban jiwa di Kecamatan Gunungtanjung. Saat itu, total 35 titik di 12 kecamatan. Semua titik longsor ada di kawasan perbukitan dan tebing curam yang dihuni manusia.
Cianjur juga rawan saat musim hujan. Pada Jumat (20/11/2020), seorang warga meninggal tertimbun longsor tebing tanah saat melintasi jalan di Kecamatan Sukanagara. ”Cianjur juga rentan banjir bandang. Tahun 2020, banjir bandang terjadi di empat kecamatan, yaitu Leles, Agrabinta, Cijati, dan Sindangbarang. Banjir bandang dipicu luapan Sungai Cisokan. Sebanyak 500 rumah terendam dan 300 orang mengungsi,” kata Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar Budi Budiman.
Saat meninjau lokasi longsor di Bojong Kondang, Minggu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta semua pihak mewaspadai longsor susulan. Masih terjadi retakan tanah di sekitar lokasi itu. ”Ini menjadi peringatan untuk masyarakat dan pemerintah. Tidak semua lahan layak untuk ditinggali dan tidak bisa dipaksakan,” ujarnya.
Ahli bencana Surono, dalam beberapa kesempatan, mengatakan, masih banyak masyarakat memilih tinggal di daerah rawan bencana. Selain harga properti yang masih lebih murah, tinggal di bawah tebing tanah cenderung lebih mudah mendapatkan air. Air biasanya keluar dari celah-celah tebing tanah. ”Padahal, karakteristik itu sangat berbahaya. Saat air di tebing itu menabrak bidang keras, longsor bisa datang kapan saja,” katanya.
Punya banyak daerah dengan karakter seperti itu, Surono mengatakan, tidak mudah mencari lahan relokasi di Jabar. Hampir semua daerahnya rawan gerakan tanah. Relokasi yang memisahkan penyintas dengan sumber hidup sebelumnya juga kerap menjadi kendala bagi pemerintah.
Longsor Bojong Kondang harus kembali menjadi pelajaran penting saat hidup di tanah bencana. Penyintas dan korbannya hanya sedikit dari 40,9 juta warga Indonesia yang tinggal di kawasan rawan longsor. Tanpa dibarengi dengan ketegasan pemerintah menolak izin pembangunan, bencana yang merenggut nyawa bakal terus berulang.
Baca juga: Hujan Ekstrem Berpeluang Berlanjut