Keluarga Kopilot Sriwijaya Air SJ-182 Menanti Mukjizat
Setidaknya 40 orang dewasa, 7 anak, 3 bayi, dan 6 kru kabin di pesawat Sriwijaya Air SJ-182 masih dicari. Bagi keluarga besar Tuerah, hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan sang kopilot, Diego Mamahit.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Jantung David Tuerah (56) menghentak keras ketika mendengar kabar dari iparnya yang berderai air mata. Diego Mamahit (33), keponakannya, berada dalam kokpit pesawat Sriwijaya Air SJ-182 PK-CLC yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (9/1/2021) sore, dalam penerbangan dari Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat.
”Awalnya saya sudah dengar ada Sriwijaya Air jatuh, dan saya teringat Diego. Saya suruh anak saya hubungi kakak-kakaknya. Saya pikir, pilot dan kopilot Sriwijaya, kan, banyak, masa harus keponakan saya yang kena? Ternyata betul. Saya lemas, syok sekali,” kata David, Minggu (10/1/2021).
Siang itu, David, empat kakak, ibu, dan anak-anak mereka berkumpul untuk beribadah. Kafe miliknya yang dinamai Fortune di Desa Suwaan, Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, itu rutin jadi tempat bersekutu dalam doa sejak gereja mereka ditutup karena pandemi Covid-19.
Mereka mengenakan baju hitam seolah menyesuaikan dengan duka dan cemas yang melingkupi. Diego, kopilot Sriwijaya Air yang kini belum jelas nasibnya, menjadi inti perbincangan mereka. Fenty Dungus, istri David, terus menggulirkan layar ponselnya, melihat-lihat foto Diego yang mereka kasihi.
Bagi keluarga besar di kampung ibunya di Suwaan, Diego adalah anak baik dan manis yang dekat dengan keluarga dan selalu aktif berkegiatan di gereja. Mereka merasakan kedekatan dengan Diego, meski ia lahir di Surabaya, Jawa Timur, dan tak pernah benar-benar tinggal di Desa Suwaan ataupun Manado. Sebab, setidaknya sekali dalam satu atau dua bulan, Diego selalu menyambangi keluarga di Desa Suwaan dan menginap di sana.
“Dia selalu telepon untuk minta dijemput, lalu menginap di sini. Jadi sangat melekat dengan kami. Cuma, sejak Covid-19, sudah tidak pernah karena penerbangan Sriwijaya berkurang seperti maskapai lainnya. Sejak itu, dia belum ada jadwal tugas lagi ke Manado,” kata David.
Diego sebenarnya seorang sarjana ekonomi. Ia kemudian mendaftar di sekolah penerbangan milik Sriwijaya Air. Menurut David, ayah Diego, Boy Mamahit, pernah memegang jabatan tinggi di kantor maskapai penerbangan Bouraq di Manado dan di Surabaya, yang telah berhenti beroperasi sejak 2005.
Selama tujuh tahun terakhir, Diego terikat kontrak bersama Sriwijaya Air, terakhir dengan jabatan kopilot. Tahun ini, kata David, ia seharusnya sudah bisa naik pangkat dari kopilot menjadi pilot, mengganti lambang tiga balok di pundaknya menjadi empat balok. “Tetapi, mungkin Tuhan berkehendak lain,” ujar David.
Sejak semalam, David intensif berkomunikasi dengan kerabatnya di Jakarta, termasuk Evy Tuerah, kakaknya yang juga ibu Diego, serta Priscilla Tedja, istri Diego. Mereka meminta dibantu dalam doa. Sampai hari ini, mereka belum mau putus harapan meski kemungkinan Diego selamat hanya setipis serat benang.
“Selama belum ada pengumuman resmi dari pemerintah, kami masih mengharap mukjizat Tuhan. Tentu kami akan aminkan kehendak-Nya, tetapi selama belum ada pengumuman resmi, kami belum putus harapan, sekecil apa pun itu,” ujar David.
Selama belum ada pengumuman resmi dari pemerintah, kami masih mengharap mukjizat Tuhan. (David Tuerah)
Keluarga di Desa Suwaan pun terus memantau pemberitaan. Gambar-gambar potongan badan pesawat telah beredar di dunia maya. Berbagai kemungkinan penyebab jatuhnya pesawat mencuat ke publik, salah satunya usia pesawat bernomor registrasi PK-CLC itu, yang sudah 26 tahun sejak penerbangan pertamanya pada 1994.
Namun, Johan Tuerah (58), kakak David, mengatakan usia pesawat tidak dapat menjadi faktor tunggal keselamatan pesawat. Dari pengalamannya bekerja 18 tahun di maskapai Bouraq, ia mengatakan yang lebih penting adalah pemeriksaan permesinan pesawat.
Pengecekan setelah lama jam terbang tertentu pun perlu dilakukan, seperti pengecekan A setelah 150-200 jam, pengecekan B setelah 750 jam, pengecekan C setelah 3.000 jam, serta pengecekan D setelah 20.000 jam. Bagian-bagain yang diperiksa pun beragam, mulai dari struktur pesawat, pusat tenaga, pelumas pesawat, hingga interior kabin.
“Jadi biarpun 26 tahun sebenarnya tidak masalah. Yang penting adalah maintenance-nya (perawatan). Tetapi, di luar negeri, biasanya di atas 30 tahun pesawat sudah masuk museum, dipensiunkan,” kata Johan.
Johan mengakui kemungkinan Diego selamat sangat kecil. Risiko pekerjaan keponakannya itu sangat besar. Jika yang terjadi adalah skenario terburuk, keluarga harus siap karena pekerjaan Diego tidaklah mudah.
“Pilot punya tanggung jawab yang besar bagi ratusan orang yang ada di belakang mereka. Sepuluh menit setelah lepas landas dan enam menit sebelum mendarat itu adalah fase yang sangat kritis, dan dibutuhkan ketangkasan pilot,” kata dia.
Di Jakarta, kerja keras pencarian korban terus berlangsung. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyampaikan, titik jatuh dan kotak hitam Sriwijaya Air SJ-182 PK-CLC sudah ditemukan, dibuktikan dari adanya potongan pesawat dan bagian tubuh jenazah yang diangkat.
Satu persatu keluarga korban pun mendatangi RS Polri Kramat Jati di Jakarta Timur untuk mengonfirmasi penemuan kerabat mereka yang berada dalam pesawat naas itu. Setidaknya 40 orang dewasa, 7 anak, 3 bayi, dan 12 kru pesawat itu masih dicari. Bagi keluarga besar Tuerah, memang hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan Diego. “Kami masih berdoa dan tidak putus harap,” ujar David.