Sebagai Calon Lokasi IKN, Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat di Kaltim Masih Minim
Pengakuan masyarakat hukum adat di Kaltim perlu didorong agar hutan adat sebagai tempat tinggal dan sumber hidup mereka juga terpenuhi. Pengakuan ini penting, mengingat Kaltim menjadi wilayah calon ibu kota baru.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS — Pengakuan masyarakat hukum adat di Provinsi Kalimantan Timur masih sedikit. Imbasnya, hutan adat sebagai tempat tinggal dan sumber hidup masyarakat hukum adat belum terpenuhi. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk mewujudkannya, apalagi Kaltim dinobatkan menjadi wilayah ibu kota negara baru.
Dalam Peraturan Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, masyarakat hukum adat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang hidup turun-temurun di suatu wilayah dengan karakteristik khas. Mereka memiliki lembaga adat, wilayah adat, dan sejarah kehidupannya sendiri yang berbeda dengan masyarakat hukum lain.
Antropolog Universitas Mulawarman Samarinda, Simon Devung, mencatat, terdapat dua subsuku Melayu dan 16 subsuku Dayak di Kalimantan Timur. Meski demikian, baru ada tiga masyarakat hukum adat yang telah diakui keberadaannya melalui surat keputusan pemerintah daerah atau peraturan daerah.
Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baru terdapat dua hutan adat yang sudah diakui di Kalimantan Timur. Pertama, hutan adat yang terletak di Kampung Juaq Asa, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat. Hutan adat seluas 48,85 hektar itu diakui pemerintah melalui surat keputusan Menteri LHK tahun 2017.
Terbaru, Hutan Adat Mului mendapat pengakuan pada 2020. Hutan adat seluas 7.722 hektar itu terletak di Desa Swan Slutung, Kecamatan Muara Koman, Kabupaten Paser. Wilayah hutan adat itu beririsan dengan kawasan hutan lindung dan hak pengusahaan hutan.
Ahmad SJA dari Yayasan Padi Indonesia mengatakan, kendala yang kerap dihadapi dalam mendapat pengakuan hutan adat adalah belum semua masyarakat hukum adat diakui pemerintah melalui peraturan daerah atau surat keputusan dari pemerintah daerah. Padi Indonesia adalah yayasan yang mendampingi masyarakat hukum adat di Kabupaten Paser untuk mendapatkan pengakuan.
”Ketika mau mengajukan hutan adat, masyarakatnya perlu diakui terlebih dahulu. Panetapan masyarakat hukum adat kerap terkendala saat penentuan batas-batas wilayah adatnya,” katanya dalam Semiloka Inisiasi Pembentukan Tim Percepatan Penetapan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kaltim, di Samarinda, Selasa (22/12/2020).
Ketika mau mengajukan hutan adat, masyarakatnya perlu diakui terlebih dahulu. Penetapan masyarakat hukum adat kerap terkendala saat penentuan batas-batas wilayah adatnya. (Ahmad SJA)
Di Provinsi Kalimantan Timur, terdapat payung hukum yang bisa menjadi pintu masuk utama dalam memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur seharusnya dapat ditindaklanjuti organisasi perangkat daerah atau pemerintah kabupaten dan kota.
Ibu kota negara
Pengakuan masyarakat adat dinilai penting dilakukan di Kalimantan Timur mengingat wilayah ini dipilih sebagai lokasi ibu kota negara baru ke sebagian wilayah di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Pemetaan wilayah dan pengakuan masyarakat hukum adat dapat menekan potensi konflik.
Pada Oktober 2019, tak lama setelah pengumuman pemindahan ibu kota oleh Presiden Joko Widodo, pihak yang mengatasnamakan ahli waris Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di Tenggarong, Kalimantan Timur, mengklaim bahwa calon lokasi ibu kota negara yang baru adalah lahan milik Kesultanan Kutai. Mereka mengklaim Kerajaan Kutai berkuasa atas seluruh wilayah Kutai sejak 1902.
Kepala Seksi Pembinaan Hutan Hak dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Kaltim Nasrudin Alamsyah mengatakan, klaim itu muncul dalam bentuk surat-surat yang dikirimkan ke kepala desa di sekitar lokasi calon ibu kota negara. Selain itu, klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat juga bermunculan.
Pemetaan wilayah penting dilakukan sejak dini melihat potensi pengakuan sepihak itu. Ditakutkan, klaim tersebut juga berada di wilayah yang ditinggali masyarakat hukum adat. Padahal, dalam konteks masyarakat hukum adat, masih banyak permasalahan yang muncul, seperti wilayah hutan adat yang berada di areal izin pengelolaan hutan.
”Strategi penanganannya, kami akan membentuk kelompok kerja percepatan penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat. Selain itu, akan dibuat peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat,” ujar Nasrudin.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, Peraturan Menteri LHK Nomor P 17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak sudah mengaturnya. Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat KLHK Muhammad Said mengatakan, jika hutan adat berada dalam area izin pengelolaan hutan, pemegang izin harus berkoordinasi dengan pemangku adat.
”Hampir 2 juta hektar wilayah hutan adat dari total 11 juta hektar sudah ada perizinannya. Pemegang hak pengelolaan hutan berkoordinasi dengan pemangku adat dengan prinsip kearifan lokal,” ujar Sigit.
Antropolog Universitas Mulawarman, Simon Devung, mengatakan, pengakuan masyarakat hukum adat penting karena pengakuan itu menjadi kunci untuk mendapatkan pengakuan hutan adat. Masyarakat hukum adat belum bisa mengelola dengan leluasa lingkungan hidup mereka sebelum keluarnya pengakuan dari negara. Padahal, kehidupan mereka bersifat subsisten berbasis lahan dan berdaya alam.
”Pemanfaatan hutan dan perairan yang dilakukan masyarakat hukum adat bernilai kearifan lokal yang dikembangkan turun-temurun. Itu perlu dipelihara untuk kelestarian hutan karena sistem tersebut sudah adaptif dan paling sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat,” ucap Simon.