Penyerapan Anggaran untuk Penanganan Covid-19 di Sumsel Rendah
Penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di Sumsel masih belum optimal. Bahkan, dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sumsel, hanya empat daerah yang penyerapan anggarannya di atas 50 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di Sumsel masih belum optimal. Bahkan, dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sumsel, hanya empat daerah yang penyerapan anggaranya di atas 50 persen. Fakta ini tentu berkebalikan dengan kondisi Covid-19 di Sumsel yang saat ini terbilang kritis.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang digelar Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Selatan, Sabtu (19/12/2020). Hadir dalam diskusi tersebut, Koordinator FITRA Sumsel Nunik Handayani, Wakil Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging (PIE) RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang, Harun Hudari; anggota DPRD Palembang, Ruspanda Karibullah; dan sejumlah akademisi.
Koordinator Fita Sumsel Nunik Handayani menuturkan, penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di Sumsel masih jauh dari yang direncanakan. Berdasarkan data yang diambil dari kementerian keuangan, pada Agustus 2020 lalu tercatat, hanya ada empat daerah di Sumsel yang penyerapannya lebih dari 50 persen dari perencanaan semula.
Jika di rata-rata, penyerapan anggaran Covid-19 di Sumsel hanya 49 persen.
Keempatnya adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (93 persen), Ogan Ilir (66 persen), Prabumulih (63 persen), dan Lubuklinggau (87 persen). ”Jika di rata-rata, penyerapan anggaran Covid-19 di Sumsel hanya 49 persen,” ucapnya.
Hal ini tentu sangat mengagetkan karena kasus Covid-19 di Sumsel masih tinggi. Berdasarkan data dari Tanggap Covid-19 Sumatera Selatan, tingkat konfirmasi positif Covid-19 di Sumsel sudah menembus angka 10.674 orang dengan kasus sembuh 8.730 orang (81,79 persen) dan merenggut korban jiwa hingga 571 orang (5,75 persen). Bahkan, per Jumat (18/12/2020), jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 123 orang.
Menurut Nunik, dengan tingginya kasus Covid-19, pemerintah tentu punya banyak alasan untuk menyerap anggaran. Dana itu bisa digunakan untuk penegakan hukum di lapangan atau setidaknya untuk melakukan tes usap dan tes cepat bagi masyarakat yang tidak memiliki akses. ”Namun, kelihatannya, walau dalam kondisi Covid-19 di Sumsel tinggi, semua berjalan normal saja,” ucapnya.
Tidak optimal
Harun menuturkan, tidak optimalnya penyerapan juga disebabkan oleh kegamangan pemerintah dalam mengambil kebijakan prioritas. Ambil contoh, wisma atlet yang sebelumnya digunakan untuk penanganan orang tanpa gejala (OTG), sejak Agustus 2020 lalu ditutup. Padahal, di beberapa daerah dengan kasus tinggi, mereka berupaya untuk menambah kapasitas perawatan.
Tidak hanya itu, proses testing (pemeriksaan) dan tracking (pelacakan) tidak lagi berjalan optimal, seperti ketika di awal pandemi. Bahkan, kini bagi warga yang positif Covid-19, tetapi tidak bergejala, hanya diimbau untuk menjalani karantina mandiri di rumah.
Hal ini tentu berisiko karena pengawasan tentu akan tidak seketat di rumah sakit. Selain itu, mereka dipastikan tidak bisa mengakses obat antivirus karena obat itu tidak dijual secara bebas. Selain itu, ujar Harun, penegakan hukum bagi pelanggar juga terlihat semakin renggang, bahkan hampir tidak ada.
Alhasil, kasus Covid-19 di Sumsel pun meningkat pesat. ”Jika memang pemerintah daerah berkomitmen untuk menangani Covid-19, tentu fasilitas yang dibutukan warga tidak dihilangkan,” ucapnya.
Pengamat sosial dan politik dari Universitas Sriwijaya, Ardian Saptawan, menerangkan, masih tingginya ketimpangan antara perencanaan anggaran dan realisasi menandakan tidak adanya koordinasi yang baik antar-instansi sehingga perencanaan anggaran tidak matang sama sekali. ”Jika penyerapan masih di bawah 40 persen itu menandakan penggunaan anggaran tidak efektif,” ucapnya.
Dari data ini, ujar Ardian, pemerintah daerah di Sumsel juga terlihat bingung dalam mempergunakan anggaran yang sudah direncanakan sebelumnya. ”Ada kesan pemerintah takut membelanjakan anggarannya untuk Covid-19,” ucapnya.
Jangan sampai ada mereka salah dalam mengambil kebijakan.
Padahal, dalam kondisi krisis seperti ini, tentu pengambilan kebijakan harus mempertimbangkan kondisi krisis bukan kondisi normal. ”Dari sini terlihat sekali tidak ada mitigasi bencana yang matang dari pemerintah daerah,” ujarnya. Hal ini tentu akan menimbulkan persepsi yang kurang baik di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Gubernur Selatan Herman Deru mengakui, penyerapan anggaran di daerah sempat tidak optimal karena ada kehati-hatian dalam penggunaan anggaran. ”Jangan sampai ada mereka salah dalam mengambil kebijakan,” ucapnya. Kehati-hatian ini terlihat ketika penerapan realokasi dan refokusing anggaran.
Akan tetapi, pada kuartal-IV diharapkan penyerapan dipastikan akan optimal dan akan fokus pada pemulihan ekonomi di daerah. ”Perekonomian harus berjalan seiring dengan protokol kesehatan,” ucap Herman.
Wali Kota Palembang Harnojoyo menuturkan, pihaknya sudah melakukan beragam upaya untuk meningkatkan penyerapan anggaran pada akhir tahun ini. Termasuk memastikan semua bantuan dari pemerintah pusat tersalurkan kepada masyarakat. ”Di tahun ini, dari Rp 4,1 triliun APBD, sudah terserap hingga 80 persen,” ucap Harnojoyo.