Tumbangnya Pasangan Calon Perseorangan di Pilkada Sumbar
Empat pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang berlaga pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020 di Sumatera Barat bertumbangan.
Oleh
YOLA SASTRA
·7 menit baca
Empat pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang berlaga pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020 di Sumatera Barat bertumbangan. Hanya pasangan Ramlan Nurmatias (wali kota petahana)-Syahrizal yang mampu bersaing ketat pada pemilihan wali kota Bukittinggi. Tiga pasangan kepala daerah lainnya berada di posisi juru kunci ataupun dua terbawah peroleh suara sementara di daerah masing-masing.
Selain di Kota Bukittinggi, pasangan calon perseorangan lainnya terdapat di tiga kabupaten, yaitu Sijunjung, Limapuluh Kota, dan Pasaman Barat. Di Sijunjung, ada Endre Saifoel-Nasrul Cun; di Limapuluh Kota ada Ferizal Ridwan (wakil bupati petahana)-Nurkhalis; dan di Pasaman Barat ada Agus Susanto-Rommy Candra. Hasil penghitungan sementara KPU yang ditayangkan di laman pilkada2020.kpu.go.id pada Minggu (13/12/2020) pukul 17.20, keempat pasangan kepala daerah tersebut kalah dari pasangan calon lainnya dari jalur partai.
Di Bukittinggi, dari total 81,55 persen suara yang masuk, Ramlan-Syahrizal berada di posisi kedua dengan perolehan 40,6 persen suara. Posisi teratas ditempati Erman Safar-Marfendi yang diusung partai Gerindra, PKS, dan Golkar, dengan perolehan suara 44,8 persen. Sementara pasangan lainnya, Irwandi (wakil wali kota petahana)-David, yang diusung partai Nasdem, PAN, dan PKB, berada di posisi terakhir dengan perolehan suara 14,6 persen.
Sementara itu, di Sijunjung, dari total 90,84 persen suara yang masuk, Endre-Nasrul berada di posisi juru kunci dengan perolehan 15,3 persen suara. Pasangan tersebut kalah dari pasangan lain yang didukung partai, yaitu Benny Dwifa Yuswir-Iraddatillah (Nasdem, PPP, Golkar, dan PBB), dengan perolehan 25,1 persen suara, Hendri Susanto-Indra Gunalan (PKS dan PKB) dengan 22,8 persen, Arrival Boy-Mendro Suarman (Gerindra dan Perindo) dengan 19,6 persen, dan Ashelfine-Sarikal (PAN, Demokrat, PDI-P) dengan 17,2 persen.
Kondisi serupa dialami Ferizal-Nurkhalis di Limapuluh Kota. Hasil penghitungan sementara dengan total masuk 51,57 persen suara, Ferizal-Nurkhalis hanya meraih 13,9 persen suara. Pesaing lainnya dari jalur partai mampu memperoleh suara lebih tinggi, yaitu Safaruddin-Rizki Kurniawan (Golkar, PKS, dan PPP) dengan peroleh 33,7 persen suara, Muhammad Rahmad-Asyirwan Yunus (Gerindra, PKB, dan Hanura) dengan 26,4 persen, dan Darman Sahladi-Maskar M (Demokrat, PAN, dan Nasdem) dengan 26 persen.
Di Pasaman Barat, Agus-Rommy juga kalah bersaing. Dengan perolehan 12,6 persen suara dari total 41,20 persen suara yang masuk, Agus-Rommy hanya unggul sedikit atas Maryanto-Yulisman (Gerindra-PBB) dengan 12 persen suara. Sementara tiga pasangan lain memperoleh suara lebih banyak, yaitu Hamsuardi-Risnawanto (PKS, PDI-P, dan PAN) dengan 30,9 persen, Yulianto (bupati petahana)-Syafrial (Demokrat dan Nasdem) dengan 29,1 persen, dan Erick Hariyona-Syawal (PKB, Golkar, Perindo, dan PPP) dengan 15,3 persen.
Para pengamat politik menilai, posisi pasangan calon perseorangan tersebut kecil kemungkinan berubah. Secara persentase, bisa saja perolehan suara mereka bertambah ataupun berkurang, tetapi dari segi posisi tidak memungkinkan untuk menang karena jarak perolehan suara dengan pesaing di atasnya relatif besar.
Ferizal dan Nurkhalis kekalahannya meskipun hasil penghitungan resmi KPU baru 51,57 persen. ”Kami menerima. Ternyata pendidikan demokrasi ini juga dipengaruhi oleh materi. Jadi, tidak bisa mengandalkan idealiasme, kejujuran, dan kekuatan silaturahmi saja. Mudahan-mudahan ini menjadi pengalaman bagi kita semua ke depan,” kata Ferizal ketika dihubungi dari Padang, Minggu siang.
Maju dari jalur nonpartai, Ferizal-Nurkhalis memang bertarung di pilkada dengan modal terbatas. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi per 19 Oktober 2020, harta Ferizal minus Rp 121,719 juta. Nurkhalis juga memiliki harta terbatas, yang berdasarkan LHKPN hanya Rp 13,1 juta.
”Kami mengandalkan keikhlasan dan silaturahmi. Keterbatasan (uang) itu tidak menghambat kami. Semua baliho, spanduk, atau alat peraga kampanye yang kami dapat, walaupun minim dibandingkan dengan calon lain, itu banyak atas atensi atau sumbangan dari kawan dan lainnya,” ujar Ferizal, Minggu (25/10/2020).
Strategi kampanye
Pengamat politik Universitas Andalas, Padang, Asrinaldi, berpendapat, ada tiga variabel yang memengaruhi pasangan calon perseorangan kalah dalam pilkada, yaitu kekuatan figur pasangan calon, isu yang diangkat, dan kekuatan kapital. Menurut Asrinaldi, keempat pasangan tersebut memiliki beberapa kekurangan di antara tiga variabel itu.
Ramlan-Syahrizal, kata Asrinaldi, relatif kuat dari segi figur dan kapital, tetapi kalah dalam hal isu yang diangkat. Secara figur, Ramlan kuat dan termasuk berhasil dalam membangun Kota Bukittinggi. Begitu pula dari segi kapital, kebutuhan untuk pilkada di kota relatif lebih kecil dibandingkan dengan di kabupaten. Namun, Ramlan-Syahrizal, yang memenangi pilkada periode sebelumnya melalui jalur perseorangan, akhirnya tumbang oleh Erman-Marfendi.
”Di awal survei, Ramlan masih unggul jauh atas Erman. Lalu, ada rekomendasi yang diikuti oleh Erman, yaitu tidak memolitisasi agama, tetapi fokus pada isu riil, seperti perdagangan dan UMKM. Faktanya Erman berhasil. Jadi, figur satu hal, kemudian isu yang dikemukakan juga jadi penentu pilihan masyarakat. Selama 1-2 tahun ke depan, pandemi Covid-19 masih berdampak pada ekonomi masyarakat. Erman mengangkat isu ini,” kata Asrinaldi.
Sementara itu, untuk Endre-Nasrul, kata Asrinaldi, figur Endre tidak begitu kuat. Hal itu terlihat saat Endre menjadi anggota DPR. Begitu pula dengan kekuatan kapital mereka. Ketika Endre-Nasrul berhadapan dengan pasngan lain yang memiliki figur dan kapital lebih kuat, akhirnya perolehan suara mereka kalah.
Begitu pula halnya dengan Ferizal-Nurkhalis. Kata Asrinaldi, pasang ini memang sanggup mengumpulkan dukungan KTP untuk meraih tiket mengikuti pilkada. Namun, dari segi kapital, pasangan ini kalah dibandingkan dengan pasangan lainnya. ”Kurangnya kapital ini berdampak pada kekuatan memobilisasi dukungan dan menggerakkan mesin sekarelawan mereka,” ujar Asrinaldi.
Posisi Ferizal sebagai wakil bupati petahana, lanjut Asrinaldi, tidak cukup untuk mengambil hati pemilih. Apalagi, ketika menjabat, peran Ferizal sebagai wakil bupati tidak signifikan. Selain itu, figur Ferizal yang lebih muda juga kalah dari figur pesaingnya, seperti Darman Sahladi dan Safaruddin, yang merupakan tokoh-tokoh Limapuluh Kota.
Adapun untuk di Pasaman Barat, figur bupati petahana Yulianto masih dominan untuk dihadapi oleh Agus-Rommy. Yulianto sejauh ini tidak memiliki image negatif sehingga masyarakat cenderung menyukai pasangan ini. Selain figur, Yulianto juga menguasai mesin birokrasi dan mesin politik lainnya. Agus memang kuat di kalangan komunitas Jawa di Pasaman Barat, tetapi berebut suara yang sama dengan pasangan lain.
”Agus semasa menjadi anggota DPR tidak terlalu tampak perannya. Tambah pula kapitalnya (juga kurang dibandingkan dengan pasangan lain). Dia cuma punya massa untuk dapat tiket ke pilkada. Padahal, untuk meraih dukungan lebih luas di wilayah lain, butuh kapital,” kata Asrinaldi.
Asrinaldi menyarankan, jika pasangan calon perseorangan tidak punya kapital yang kuat, lebih baik memilih ikut pilkada di kota. Dengan wilayah lebih kecil dan jumlah penduduk tidak terlalu banyak, peluang pasangan calon perseorangan untuk menang lebih besar. Ini sudah dibuktikan oleh Ramlan yang berpasangan dengan Irwandi pada pilkada periode sebelumnya.
Karakteristik masyarakat
Pengamat politik Universitas Negeri Padang, Eka Vidya Putra, berpendapat, selama pilkada langsung di Sumbar, hanya dua pasangan calon perseorangan yang relatif berhasil, yaitu Ramlan-Irwandi pada 2015 dan Desri Ayunda-James Helyward pada 2013. Ramlan-Irwandi berhasil mengalahkan dua pasangan lain yang sama-sama petahana dan maju melalui partai. Sementara itu, Desri-James berhasil masuk ke putaran kedua walaupun akhirnya kalah tipis oleh Mahyeldi-Emzalmi yang didukung partai.
”Dua pasangan itu yang relatif berhasil dari jalur perseorangan. Mereka sama-sama bertarung pada pemilihan wali kota. Selebihnya, calon independen memang penghuni papan bawah, apalagi jika itu terjadi di kabupaten. Pada pilkada sebelum-sebelumnya, bahkan perolehan suara pasangan calon perseorangan tidak sebanyak jumlah KTP yang mereka kumpulkan,” kata Eka.
Menurut Eka, peluang pasangan calon perseorangan untuk lebih kompetitif dalam pilkada memang ada di pemilihan wali kota. Luas wilayah dan jumlah penduduk kota tidak seluas wilayah dan sebanyak penduduk kabupaten. Dengan bertarung di pemilihan wali kota, kemungkinan pasangan calon perseorangan dikenal pemilih lebih besar. Adapun kabupaten dengan wilayah lebih luas dan penduduk lebih banyak, fragmentasi politiknya juga sangat besari sehingga sulit muncul satu tokoh yang benar-benar bisa mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat.
Untuk konteks Sumbar, kata Eka, kemenangan pasangan dalam pilkada, selain faktor nonteknis, seperti pembiayaan, sangat bergantung pada figur pasangan calon kepala daerahnya. Jadi, jika calon perseorangan hendak bisa tampil kompetitif, mereka harus sanggup membangun diri agar benar-benar menjadi pilihan masyarakat. Mereka harus memahami karakteristik masyarakat dan figur seperti apa yang didukung oleh masyarakat di daerah mereka.
”Hal itu berlaku juga untuk pasangan dari jalur partai. Jadi, kalaupun pemenang pilkada sekarang maju dengan jalur perseorangan, mereka juga bisa menang. Bukan karena partainya mereka menang, melainkan karena figurnya. Gamawan Fauzi-Marlis Rahman (mantan Gubernur-Wakil Gubernur Sumbar) dulu didukung dua partai kecil di Sumbar, yaitu PDI-P dan PBB, tetapi bisa menang. Ini karena figur Gamawan kuat,” ujar Eka.