Bawaslu Jateng Usut Dugaan Politik Uang di Enam Daerah
Bawaslu Jateng sedang menelusuri puluhan kasus politik uang yang terjadi di enam daerah penyelenggara Pilkada. Jika terbukti bersalah, pelaku terancam hukuman 36-72 bulan penjara.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
PEMALANG, KOMPAS – Pada masa tenang dan pemungutan suara, Badan Pengawas Pemilu Jawa Tengah menemukan dan mendapati laporan terkait tindak pelanggaran berupa politik uang di enam kabupaten/kota penyelenggara Pilkada. Puluhan kasus tersebut kini sedang ditelusuri.
Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jateng Sri Wahyu Ananingsih mengatakan, pihaknya menemukan dan mendapatkan laporan sebanyak 26 kasus terkait dugaan politik uang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 kasus dari Kabupaten Purbalingga, lima kasus dari Kota Magelang, empat kasus dari Kabupaten Pemalang, dan masing-masing satu kasus dari Kabupaten Purworejo, Kendal, serta Pekalongan.
"Kasus-kasus pelanggaran itu dilakukan saat masa tenang hingga hari pemungutan suara yakni, 6-9 Desember. Sebagian besar kasus tersebut sedang dalam proses klarifikasi oleh Bawaslu dengan pendampingan polisi dan jaksa," kata Ananingsih, saat dihubungi, Senin (14/12/2020).
Setelah klarifikasi dilakukan, kasus tersebut akan dibahas dengan kepolisian dan kejaksaan. Dari rapat tersebut akan dikaji, apakah pasal-pasal yang disangkakan terbukti. Jika terbukti, kasus akan diselidiki lebih lanjut oleh kepolisian.
Di Kabupaten Pemalang, kasus politik uang terjadi di tiga tempat yakni, di Comal, Petarukan, dan Belik. Kasus politik uang di Pemalang diketahui dari hasil temuan panitia pengawas kecamatan, hasil operasi tangkap tangan, dan laporan masyarakat.
Kasus politik uang di Pemalang diketahui dari hasil temuan panitia pengawas kecamatan, hasil operasi tangkap tangan, dan laporan masyarakat.
Ketua Bawaslu Pemalang Hery Setyawan mengatakan, pihaknya telah memeriksa 10 orang yang diduga mengetahui informasi terkait kasus-kasus tersebut. Berdasarkan pemeriksaan sementara, jumlah uang yang diberikan ke masyarakat bervariasi, mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per orang. Pemberian uang ke masyarakat agar dipilih ini dilakukan oleh tim sukses dari dua pasangan calon yang berkompetisi.
"Kami masih terus mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi. Kalau keterangan dan bukti-bukti mendukung, kami lanjutkan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu), kemudian penyelidikan oleh kepolisian," kata Hery.
Menurut Hery, politik uang memungkinkan seseorang terjerat pasal 187a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ancaman hukuman yang dijatuhkan minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan kurungan.
Sementara itu, di Kabupaten Pekalongan, ada dua kasus politik uang yang saat ini sedang diproses Bawaslu setempat. Dua kasus itu terjadi di Kecamatan Bojong dan Kesesi. Di Kesesi, kasus politik uang menyeret anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Dari hasil penelusuran, sebetulnya ada tindak pidana politik uang yang diduga dilakukan oleh anggota KPPS. Tapi, kami agak kesulitan karena kami hanya mendapatkan foto amplopnya, bukan fisik amplopnya," kata Anggota Bawaslu Kabupaten Pekalongan Divisi Penindakan Mokhamad Bahrizal.
Adapun kasus lain yang ditemukan di Kecamatan Bojong melibatkan seorang anggota tim sukses salah satu pasangan calon. Orang tersebut diduga membagikan sejumlah uang dengan nominal Rp 70.000 per orang.
Menurut Bahrizal, dua kasus tersebut saat ini sedang dikaji. Bawaslu Kabupaten Pekalongan juga akan terus berkoordinasi dengan Bawaslu Jateng dalam penanganan dua kasus tersebut.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pancasakti Tegal Diryo Suparto sudah menduga politik uang akan kembali terjadi pada Pilkada 2020. Pilkada yang dilaksanakan di tengah pandemi membuat politik uang tumbuh subur.
"Di masa pandemi, angka kemiskinan meroket. Jangankan mikir demokrasi yang sehat, yang ada di benak sebagian besar masyarakat terutama yang prasejahtera adalah bagaimana mendapatkan uang," kata Diryo.