Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua Dinantikan
Penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua masih menggantung hingga kini. Masyarakat menanti realisasi janji Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Masyarakat menantikan realisasi janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua. Penuntasan kasus untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban dan menjadi pembuktian komitmen pemerintah pusat dalam perlindungan hak asasi manusia.
Hal ini disampaikan Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Wilayah Papua Frits Ramandey dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di Jayapura, Kamis (10/12/2020).
Frits mengatakan, terdapat tiga kasus berkategori pelanggaran HAM berat di Papua yang belum dituntaskan hingga tahun ini. Padahal, Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Jayapura untuk perayaan Natal pada 27 Desember 2014 berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Ketiga kasus ini adalah pelanggaran HAM berat di Paniai pada 8 Desember 2014, pelanggaran HAM berat di Wamena tahun 2003, dan pelanggaran HAM berat di Wasior tahun 2001.
Dalam kasus pelanggaran HAM di Wasior, 4 warga meninggal, 5 warga hilang, dan 39 warga luka-luka. Sementara kasus di Wamena menyebabkan 9 orang tewas dan 38 orang luka-luka. Adapun kasus di Paniai menyebabkan 4 warga meninggal karena tertembak dan 13 warga luka-luka.
”Kami berharap Presiden Jokowi berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Selama ini penyelesaian tiga kasus tersebut selalu terhambat di pihak Kejaksaan Agung. Mereka meminta adanya bukti formil dan materiil,” kata Frits.
Frits menuturkan, Komnas HAM Perwakilan Papua mengusung tema ”Menakar Tata Kelola Kebijakan Keamanan di Tanah Papua” dalam peringatan Hari HAM Sedunia Ke-72 tahun ini. Tema ini menjadi refleksi bersama karena adanya peningkatan yang signifikan terhadap aksi kekerasan yang lahir dari kebijakan keamanan di Papua selama tiga tahun terakhir.
Pada 2018, Komnas HAM mendapatkan 85 laporan kekerasan yang diduga terjadi pelanggaran HAM, sedangkan tahun 2019 meningkat menjadi 92 laporan. Laporan makin banyak pada tahun 2020, yakni 108 laporan kekerasan.
Ia menuturkan, Komnas HAM RI Perwakilan Papua mencatat sepanjang tahun 2020, Kabupaten Nduga, Mimika, dan Intan Jaya adalah daerah yang tingkat kekerasannya meningkat.
Dalam 108 laporan kekerasan pada tahun ini, pihak-pihak yang diadukan ke Komnas HAM Papua, antara lain, polisi (39 laporan), TNI (26 laporan), pemerintah (12 laporan), korporasi (4 laporan), lembaga kehakiman (4 laporan), kelompok masyarakat (3 laporan), dan individu (2 laporan).
"Tidak terlihat adanya koordinasi yang terstruktur antara TNI, Polri, dan pemda setempat dalam memberikan respons penanganan secara berjenjang, menghentikan rangkaian kekerasan, dan upaya pemulihan bagi korban masyarakat sipil," tutur Frits.
Wakil Kepala Polda Papua Brigadir Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, pihaknya selama ini melaksanakan tugas pengamanan sesuai prosedur dan mengedepankan penegakan hukum secara terukur.
"Peringatan Hari HAM menjadi momen evaluasi bagi polisi dalam tugas menciptakan situasi keamanan yang kondusif. Polri selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat yang berbasis HAM," kata Mathius.
Asisten Operasi Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Murbianto Adhi Wibowo mengatakan, sesuai arahan Pangdam Cenderawasih, pelaksanaan kegiatan pengamanan di Papua sesuai dengan aspek HAM.
"Tidak ada pelaksanaan operasi militer di Papua. Status keamanan adalah tertib sipil. Pengendali dalam status tertib sipil adalah Kapolda Papua. TNI hanya melaksanakan operasi pengamanan perbatasan Indonesia dan Papua Niugini," ujar Murbianto.