Menerima HIV sebagai Sahabat dan Melanjutkan Hidup di Tengah Pandemi
Bagaimana orang dengan HIV bertahan hidup di tengah pandemi? Apa motivasi mereka tetap bertahan dan optimis meski harus mengonsumsi obat seumur hidup?
Lelaki berkulit kuning langsat itu memohon izin untuk menghentikan percakapan sejenak setelah alarm di gawainya berdering. Arya (bukan nama sebenarnya) mengeluarkan plastik kecil berisi dua butir pil dan dua tablet dari dalam saku.
”Ini tenofovir dua butir. Yang warnanya kuning ini Efavirenz dan satu lagi Lamivudin,” ujar pria 32 tahun itu, Senin (30/11/2020) malam di sebuah kafe di bilangan Balikpapan Permai, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tiga obat itu masuk dalam jenis antiretroviral (ARV) yang dapat memperlambat perkembangan virus. ARV berfungsi menghilangkan unsur yang dibutuhkan human immunodeficiency virus (HIV) untuk berkembang dan mencegah HIV menghancurkan sel CD4 atau sel darah putih di tubuhnya. Obat itu perlu ia konsumsi seumur hidup.
Ia kemudian menelan obat itu dengan dorongan air mineral yang ia bawa dari rumah. Pukul 22.00 Wita adalah jadwal Arya meminum obat sejak setahun terakhir. Ia bilang, obat itu harus diminum tepat waktu dan tepat dosis agar perkembangan HIV di dalam tubuhnya dapat dikendalikan dan tidak menggerogoti sistem imunnya.
Arya mengetahui virus itu ada di dalam tubuhnya sejak medio 2019. Berdasarkan pemeriksaan darah dan diagnosis dokter, Arya menderita HIV stadium III dengan jumlah CD4 sekitar 300. Jumlah itu di bawah orang dalam kondisi normal, yakni di kisaran antara 500 dan 1.600 sel per milimeter darah.
Di masa pandemi Covid-19, selain harus bergelut dan bertahan dari virus di aliran darahnya, orang dengan HIV (ODHIV) seperti Arya juga harus berjuang di tengah impitan ekonomi. Pada Mei 2020, perusahaan alih daya tempatnya bekerja tidak memperpanjang kontrak. Alasannya karena keuangan perusahaan sedang sulit di tengah pandemi.
”Saya tidak boleh stres karena takut berpengaruh ke kesehatan dan malah memperburuk virus di dalam tubuh. Saya harus berhitung agar bisa bertahan hidup dan memulai bisnis kecil-kecilan berjualan donat,” ujar Arya sambil menyesap teh hangat yang ia pesan.
Baca juga: Cabotegravir Jadi Pilihan Baru Perempuan untuk Mencegah Infeksi HIV
Ia sudah mencoba melamar ke beberapa perusahaan. Namun, panggilan kerja tak kunjung datang. Ia pikir, banyak perusahaan sedang menghadapi masa sulit. Dengan sisa tabungan dan relasi yang ia miliki, Arya optimistis bisa bertahan hidup di tengah ekonomi yang melemah saat pandemi. Ia sempat mendapat pesanan 100 donat dari tetangganya.
Belum banyak memang, tetapi Arya meyakinkan diri harus bertahan. Ia mulai menghitung tabungan untuk mengembangkan bisnis donat tersebut perlahan. Ketika disinggung alasan memilih tetap semangat meski cobaan hidupnya berat dalam dua tahun terakhir, Arya menjawab singkat dan yakin.
”Harus berdamai dengan diri sendiri dan ’teman baru saya’. Saya ingin hidup normal dan melakukan yang saya bisa,” katanya.
Teman baru adalah frasa yang ia gunakan untuk menyebut HIV. Teman barunya itu belum ia kenalkan kepada orangtuanya. Arya masih menimbang waktu yang tepat untuk menceritakan kepada keluarga, terutama ayah dan ibunya. Ibunya baru saja mendapat musibah kecelakaan dan mengalami cedera di kaki.
”Saya akan ceritakan semuanya, tetapi masih menunggu waktu yang tepat. Saya masih khawatir kesehatan orangtua terganggu, nanti berpengaruh ke pikiran saya juga. Tapi, saya ingin ceritakan semua,” ujarnya mantap.
Saling dukung
ODHIV lainnya, Dicky Ardani (29), sudah selesai dengan urusan keluarga. Keluarganya sudah mengetahui ia mengidap HIV dan memberikan dukungan. Ia juga membagi pengetahuan mengenai HIV/AIDS sehingga keluarganya tak terjebak stigma di masyarakat.
Dicky juga memberikan buku saku HIV/AIDS kepada orangtuanya. Mereka kini paham bahwa penularan HIV/AIDS salah satunya melalui hubungan seksual berisiko, yakni berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan pengaman atau tanpa mengetahui status HIV pasangannya. Selain itu, HIV/AIDS bisa menular melalui transfusi darah, menyusui, dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
Dengan demikian, orangtuanya paham bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui pelukan, hidup serumah, menggunakan kamar mandi yang sama, dan berbagi alat makan di rumah. Sejak mengetahui ia terjangkit HIV pada 2016, Dicky mulai memperbaiki gaya hidup. Ia ingin lebih bermanfaat bagi orang-orang yang juga mengidap HIV/AIDS.
Ia kemudian menjadi bagian dari kelompok dukungan sebaya (KDS), pendamping bagi ODA/ODHIV untuk memberikan dukungan berupa pengetahuan seputar HIV, akses layanan kesehatan, pencegahan, dan melakukan kegiatan positif agar optimisme dan hak untuk akses kesehatan mereka terjamin.
Baca juga: Berdamai dengan HIV, Berjuang Melawan Stigma
Dicky mendampingi sekitar 200 ODHIV dan ODA untuk mendapatkan layanan konseling dan akses obat gratis yang dibiayai pemerintah. Selama pandemi Covid-19, ia membantu rumah sakit untuk mengomunikasikan mengenai ketersediaan obat.
”Sebelum pandemi, pasien bisa menyetok obat lebih dari sebulan. Namun, ketika pandemi tidak bisa. Jadi, setiap pasien dijatah agar semua pasien bisa mendapatkan akses obat,” kata Dicky.
Meskipun harus mengonsumsi obat seumur hidup untuk mengendalikan virus di tubuhnya, Dicky percaya hidup masih berjalan dan bisa dijalani. Menjadi salah satu KDS di Balikpapan, menjadi pemantik agar api hidup tetap menyala dan bisa saling dukung di antara ODHIV dan ODA.
”Saya masih muda dan ingin berkarya. Saya harus optimistis dan berpikiran positif. Banyak contoh kasus orang meninggal karena depresi, bukan karena HIV,” katanya.
Bagi Dicky dan Arya, bisa mengetahui ada HIV di dalam tubuh dan melanjutkan hidup adalah kemewahan. Mereka juga berharap orang yang berpotensi dan berisiko terpapar HIV/AIDS segera berkonsultasi dan memeriksakan diri. Di Balikpapan, layanan tersebut ada di 27 puskesmas, Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo, Rumah Sakit Tentara dr Hardjanto, RSUD Beriman Balikpapan, dan Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Baca juga: Pelacakan Kasus HIV Baru di Balikpapan Terkendala Pandemi Covid-19
Selama pandemi Covid-19, temuan kasus HIV/AIDS baru di Balikpapan mengalami penurunan. Pada 2018 ditemukan 323 kasus baru, sedangkan 2019 meningkat menjadi 433 kasus. Namun, pada Januari hingga September 2020, penemuan kasus baru HIV hanya 242 kasus, sekitar 55 persen lebih rendah dari capaian tahun sebelumnya.
Ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk mencapai target memutus penularan HIV/AIDS pada 2030. Untuk mewujudkannya, dalam jangka pendek pemerintah menargetkan 90 persen ODHIV dan ODA sudah mengetahui status HIV di tubuhnya, 90 persen ODHIV dan ODA mendapatkan pengobatan, dan 90 persen ODHA dan ODHIV mengonsumsi antiretroviral (ARV) yang dapat memperlambat perkembangan HIV secara teratur.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Dewa mengatakan, banjir informasi dan pandangan negatif masyarakat menjadi alasan ODA/ODHIV enggan memeriksakan diri dan mengonsumsi obat teratur.
”Ada yang termakan hoaks kemudian meninggalkan obat dari pemerintah dan mengonsumsi herbal. Ada juga ketakutan akan stigma dari masyarakat. Seharusnya, jauhi virusnya, bukan orangnya. Ini menjadi tantangan kita bersama untuk memutus rantai penularan HIV/AIDS,” ujar Dewa.