Kendati penyandang HIV/AIDS bisa bekerja dan produktif, hingga kini stigma negatif masih melekat dalam diri mereka. Perempuan dengan HIV mengalami kekerasan berlapis dalam rumah tangga dan diskriminasi di dunia kerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang ingin menjalani hidup dalam stigma hingga akhir hayatnya. Begitu juga orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA), terutama para perempuan yang hidup dengan HIV. Selain harus melewati fase berat untuk berdamai dan menerima kenyataan terinfeksi virus, perempuan dengan HIV mengalami penderitaan berlapis.
Selain hidupnya berada dalam lingkaran stigma negatif, sejumlah perempuan dengan HIV (human immunodeficiency virus), sepanjang hidupnya mengalami berbagai kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangannya. Bahkan, sejumlah perempuan yang memiliki anak tidak punya pilihan untuk keluar dari situasi kekerasan dan terpaksa menjalani hidup di lembah penderitaan, demi melindungi anak-anaknya.
Situasi kekerasan perempuan dengan HIV/AIDS yang ditemukan Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) melalui Studi Kualitatif dan Pendokumentasian: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dengan HIV/AIDS di 8 Provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara, DIY, Jawa Timur, Bali, dan NTB) beberapa waktu lalu.
Dari studi tersebut, IPPI yang merupakan jaringan nasional perempuan yang hidup dengan HIV dan yang terdampak mengumpulkan suara dan testimoni perempuan-perempuan dengan HIV/AIDS yang mendapat perlakuan yang melampaui batas kemanusiaan. Selain kekerasan verbal dan fisik, perempuan denghan HIV mengalami kekerasan seksual dan reproduksi.
Dari situasi kekerasan terhadap perempuan dengan HIV, akhirnya kami menemukan bahwa tubuhku ini bukan milikku. (Baby Rivona Nasution)
”Dari situasi kekerasan terhadap perempuan dengan HIV, akhirnya kami menemukan bahwa tubuhku ini bukan milikku,” ujar Baby Rivona Nasution, Koordinator IPPI, pada Webinar ”Mengapa Kekerasan dan Kerentanan HIV/AIDS masih Membelenggu Pekerja Perempuan?” yang digelar International Labour Organization (ILO) bekerja sama dengan ILOAIDS, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, Dewan Keselamatan, dan Kesehatan Nasional (DK3N), Selasa (3/11/2020).
Kekerasan berlapis
Baby menggambarkan hidup perempuan dengan HIV yang mengalami kekerasan verbal baik oleh pasangan (sah atau bukan) melalui ucapan-ucapan yang sangat merendahkan harkat dan martabat seorang manusia, yakni dengan menyebut mereka, seperti binatang dan ucapan kasar lainnya. Bahkan, ada yang disuruh menggunakan narkoba dan membayar utang-utang suami.
Kekerasan fisik dialami antara lain dikurung, dipukul dan dipaksa berhubungan seksual, dicekik, ditampar, dicakar, dibekap, diseret, diancam dengan pisau, dicampuk dengan ikat pinggang, disiram air, dilempar ke sungai, hingga diseterika di bagian punggung, bahkan dibunuh dengan menggunakan anjing.
Tak hanya itu, sejumlah perempuan dengan HIV mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, mengalami pemerkosaan dalam rumah tangga, dipaksa melakukan oral seks di depan anak sendiri, disodomi, ditelanjangi, dan mengalami kekerasan seksual lainnya.
”Ini menjadi sangat sulit untuk para perempuan mengambil langkah-langkah, apa yang harus dilakukan dalam situasi kekerasan. Pada saat kami mengambil data, umumnya mereka sudah mengalami HIV. Jadi, semakin memperburuk keadaan. Bahkan, ada yang mengalami kekerasan reproduksi, yakni dipaksa sterilisasi, bahkan alat kelaminnya dimasukin odol sehingga tidak bisa hamil,” ujar Baby yang menggambarkan situasi kekerasan yang dialami perempuan, ibarat lapisan bawang merah yang berlapis-lapis.
Bahkan, Baby menceritakan pengakuan seorang perempuan dengan HIV dari Sumatera, dianiaya suaminya, dia diikat di tiang listrik saat akan diarak di tengah masyarakat. Dia minta tolong kepada warga, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena apa yang dialaminya dianggap masalah rumah tangga.
Stigma dan diskriminasi serta kekerasan berlapis, dialami oleh para perempuan dengan HIV yang bukan berlatar belakang berisiko terinfeksi HIV, tetapi justru mereka tertular HIV dari pasangannya sendiri.
Dalam situasi itu, sejauh ini IPPI telah mengambil sejumlah langkah, seperti memberikan layanan rujukan perempuan yang hidup dengan HIV yang menjadi korban kekerasan, menyediakan sebuah wadah atau komunitas untuk memberikan informasi, meningkatkan pengetahuan dan informasi sebagai bagian dari proses pemulihan.
Selain itu, menyediakan bantuan hukum yang bersahabat dengan perempuan yang hidup dengan HIV serta pendampingan psikologi yang intensif yang berperspektif korban, mudah di akses, dan tidak dipungut biaya.
Adapun tantangan yang dihadapi para perempuan dengan HIV, selain layanan yang belum mengangkat keterkaitan HIV dan kekerasan, layanan rujukan masih belum paham HIV serta pengetahuan tentang seks masih dianggap tabu.
Kendati berada dalam lingkaran dan kekerasan berlapis, di tengah perjuangan untuk berdamai dengan HIV dan melawan stigma, sejumlah perempuan dengan HIV tak menyerah dan terus menjalani hidup meskipun tidak mudah. Karena itu, IPPI merekomendasi pelaku kekerasan apalagi pemerkosaan dalam rumah tangga dan sampai terinfeksi HIV agar dihukum.
”HIV tidak identik dengan kematian dan bukan akhir dari segalanya,” ujar Baby yang membuat film ”Tak Lelah Melawan Stigma” (Tirelessly Fighting Stigma), yang mengangkat perjalanan hidup Baby selama 17 tahun sebagai penyandang HIV, memiliki anak yang negatif, serta bisa produktif dan bekerja di perusahaan swasta. IPPI juga pernah membuat buku yang mengibaratkan perempuan dengan HIV sebagai Kartini bernyawa sembilan.
PMI juga rentan terkena HIV
Selama ini, perempuan yang terkena HIV selalu dilekatkan dengan stigma negatif atau dikaitkan dengan moral dan perilaku keseharian. Padahal, perempuan yang mengalami penularan HIV justru kebanyakan bukan dari kelompok berisiko. Salah satunya, perempuan pekerja migran Indonesia (PMI)
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi, Migrant CARE, mengungkapkan perempuan PMI rentan saat proses migrasi, mulai dari sebelum berangkat, selama bekerja di negara tujuan, hingga pulang kampung.
Sebelum berangkat risiko terkena HIV, ketika menjadi tes kesehatan, yakni saat penggunaan jarum suntik bekas pakai atau tidak steril, apalagi tes sering dilakukan secara massal dan serentak. Ada juga karena dibujuk rayu untuk berhubungan seksual berisiko, rentan diperkosa oknum petugas Perusahaan Penempatan PMI (P3MI), calo, sponsor, dan lain sebagainya, serta melakukan hubungan seksual berisiko atas dasar suka sama suka.
Saat bekerja di luar negeri, perempuan berisiko tertular HIV karena melakukan perawatan kesehatan menggunakan jarum suntik tidak steril, diperkosa majikan atau jaringan calo, dilecehkan secara seksual oleh majikan, sesama buruh migran dari negara asal atau dari negara lain, serta menjadi korban perdagangan orang. Ketika pulang ada yang diperkosa selama perjalanan pulang atau berhubungan seksual berisiko dengan pasangannya yang lama ditinggalkan tanpa adanya kejelasan aktivitas seksual pasangan.
Sementara itu, perempuan dengan HIV/AIDS juga mengalami diskriminasi di di dunia kerja. Padahal, menurut Early Dewi Nuriana, ILO HIV/AIDS Project Officer, sudah ada rekomendasi ILO 200 terkait HIV/AIDS di dunia kerja, yang mengatur edukasi dan kebijakan nondiskriminasi, kerahasiaan status, akses layanan, dan pengobatan, kelanjutan hak kerja, dan akomodasi yang layak.
Dukungan dari berbagai pihak diharapkan semakin mendorong ODHA terus bekerja dan menjalani kehidupan yang berkualitas dan produktif. Hanya, hingga kini mitos, ketakutan dan kesalahpahaman tentang cara penularan HIV mengakibatkan adanya stigmatisasi, menghalangi perawatan dan pencegahan, serta mengancam hak asasi seseorang untuk bekerja.
Nurjannah Sulaiman, Kepala Subdit AIDS Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan berharap, isu HIV/AIDS tidak boleh tenggelam dan dihentikan pandemi Covid-19. ”Mengapa kekerasan dan kerentanan HIV/AIDS masih membelenggu perempuan, mungkin karena sosialisasi masih kurang, kampanye meredup. Ayo kita suarakan HIV bukan akhir dari segalanya,” katanya.