Bawaslu: Sulut Rawan Politik Uang dan ASN Tidak Netral
Bawaslu Sulut menyatakan praktik politik uang dan ketidaknetralan aparatur sipil negara rawan terjadi jelang pemungutan suara Pilkada 2020. Sebaliknya, Polda Sulut menyatakan kerawanan di Sulut justru rendah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Utara menyatakan praktik politik uang dan ketidaknetralan aparatur sipil negara rawan terjadi jelang pemungutan suara Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Sebaliknya, Kepolisian Daerah Sulut menilai kerawanan tersebut justru tidak terjadi dalam jumlah besar.
Bawaslu Sulut menggelar patroli bersama Pemprov Sulut, Minggu (6/12/2020), untuk mengawasi pencabutan alat peraga kampanye dan menilik kemungkinan terjadi praktik politik uang. Transaksi politik yang berselubung sumbangan hari raya dikhawatirkan terjadi pada hari Minggu.
’Jangan ada transaksi politik yang bisa merusak demokrasi. Politik uang adalah racun demokrasi. Diakonia (sumbangan) memang baik, membawa pahala. Tetapi jangan sampai itu menjadi suap yang malah membawa dosa,” kata Ketua Bawaslu Sulut Herwyn Malonda.
Politik uang dan ketidaknetralan ASN, kata dia, masih sangat mungkin terjadi. Sebelumnya, Sulut ditetapkan sebagai provinsi dengan kerawanan paling tinggi, yakni dengan indeks 86,42 di atas Sulawesi Tengah dan Sumatera Barat.
”Kami sudah mengimbau kepada pemerintah daerah, kalau ada bantuan apa pun terkait Covid-19, kalau tidak menyangkut hidup dan mati seseorang, lebih baik disalurkan 9 Desember setelah pemungutan suara. Juga bagi perseorangan yang ingin memberikan diakonia (sumbangan) Natal sebaiknya setelah pemungutan suara,” kata Herwyn.
Herwyn juga mengimbau para ASN tidak memanfaatkan jabatannya untuk memenangkan salah satu calon. Hingga Oktober, sudah ada dua pejabat negara dan 60 ASN yang dilaporkan terkait netralitas dalam pilkada. Sulut pun disebut menjadi daerah dengan laporan pelanggaran keterlibatan ASN tertinggi secara nasional.
Artinya, hasil survei dari Bawaslu bahwa Sulut rawan pelanggaran ternyata tidak terpenuhi.
Sebaliknya, Kepala Polda Sulut Inspektur Jenderal RZ Panca Putra Simanjuntak mengatakan, kerawanan pelanggaran hukum terkait pemilu di Sulut justru rendah. Menurut dia, Markas Besar Polri telah menetapkan Sulut di peringkat kedelapan paling rawan dari sembilan provinsi.
Ini ditetapkan menurut hasil intelijen keamanan dari tiga kali survei. Ada 32 pelanggaran yang diterima Polda Sulut, tetapi 25 di antaranya dihentikan dari tahap penyelidikan karena tidak cukup bukti.
”Hanya tujuh yang maju ke penyidikan, tetapi lima sudah dihentikan. Artinya, hasil survei dari Bawaslu bahwa Sulut rawan pelanggaran ternyata tidak terpenuhi,” kata Panca, Jumat lalu. Terkait hal ini, Herwyn menolak berkomentar.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam kunjungannya ke Manado, Jumat lalu, menyatakan, ada dua jenis ancaman terhadap Pilkada 2020, yaitu ancaman konvensional dan penularan Covid-19. Ancaman konvensional meliputi antara lain konflik, kekerasan, dan politik uang.
Tito meminta kepolisian bekerja sama dengan aparat keamanan lain serta penyelenggara pilkada dan bertukar informasi. Jika aliran intelijen bagus, kata dia, ancaman konvensional bisa diantisipasi lebih cepat.
Di samping itu, Tito meminta kepolisian memperhatikan ketaatan pada protokol kesehatan Covid-19, terutama di luar tempat pemungutan suara. Polisi diharapkan membubarkan kerumunan massa dengan cara persuasif.
Kapolda Sulut Panca mengatakan, pihaknya akan menugaskan dua orang di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS). Ia menegaskan, kerumunan akan dibubarkan. ”Setelah mencoblos, warga bisa mengikuti penghitungan suara dari rumah karena tiap TPS sudah ada pengeras suara,” katanya.