Saat Dewan Ketahanan Nasional Ditolak Masuk Kawasan Industri di Konawe
Sejumlah anggota Dewan Ketahanan Nasional yang berkunjung ke Sultra tidak diperbolehkan mendatangi kawasan industri nikel di Konawe. Pandemi Covid-19 menjadi alasan, meski di satu sisi perusahaan tetap beroperasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Meski meminta secara resmi, sejumlah anggota Dewan Ketahanan Nasional ditolak masuk ke kawasan industri Virtue Dragon Nickel Industrial Park, di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Perusahaan beralasan membatasi kunjungan di tengah Covid-19. Keterbukaan perusahaan sangat dibutuhkan di tengah berbagai permasalahan yang terjadi.
Sebanyak empat anggota Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) datang ke Sulawesi Tenggara sejak awal pekan ini. Mereka bermaksud memverifikasi sejumlah informasi terkait persoalan sumber daya alam di daerah kaya mineral ini.
Salah satu agenda kunjungan utama di Sultra adalah berkunjung ke kawasan industri Virtue Dragon Nickel Industrial Park (VDNIP), di Kecamatan Morosi, Konawe. Di kawasan ini terdapat dua perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel skala besar, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Rencana tersebut diagendakan pada Rabu (26/11).
Namun, menurut Brigadir Jenderal (TNI) Karev Marpaung, yang juga pimpinan rombongan kunjungan Wantannas di Sultra ini, agenda tersebut tidak jadi dilakukan. Sebab, pihak perusahaan tidak menerima permintaan kunjungan dari lembaga yang dipimpin langsung oleh Presiden RI ini.
”Kata mereka (perusahaan), membatasi kunjungan kunjungan di tengah pandemi Covid-19. Padahal, selama ini mereka juga mendatangkan orang luar, termasuk pekerja asing,” kata Karev, di Kendari, Rabu malam.
Pembantu Deputi Urusan Lingkungan Pemerintahan Negara di Wantannas ini menuturkan, kedatangan mereka untuk memverifikasi lapangan sejumlah informasi yang diperoleh. Hal ini penting untuk mengetahui fakta sebenarnya.
Sejumlah isu utama yang hendak dicek adalah terkait tata kelola nikel di tingkat hilir, terutama terkait bongkar muat di pelabuhan; pengoperasian tungku; hingga terkait kondisi pekerja, khususnya pekerja asing. Semua hal ini saling berpautan, sering didengar dan menjadi sorotan sehingga harus diverifikasi lapangan.
Karev mengatakan, salah satu tugas Wantannas dalam menjaga ketahanan nasional adalah memastikan pengelolaan sumber daya alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat dan kemandirian negara.
Terkait pekerja asing, tutur Karev, menjadi isu yang begitu santer diperbincangkan belakangan ini. Pihak imigrasi menyatakan para pekerja asing telah datang dengan visa kerja. Hal tersebut berarti ada pemasukan negara, mulai dari kompensasi bekerja di Indonesia hingga pajak penghasilan. Akan tetapi, sejumlah informasi juga beredar masih ada pekerja yang memakai visa kunjungan.
Untuk tata kelola nikel di tingkat hilir, salah satu yang menjadi keluhan adalah kadar nikel serta tonase yang berubah-ubah. Kadar yang dicek sebelum keberangkatan, juga tonase, sering kali berbeda ketika telah tiba di pelabuhan perusahaan. Oleh sebab itu, pengecekan cara pengukuran hingga pengujian menjadi penting dilakukan.
”Ada yang kadarnya ketika diukur awal 1,8, tetapi ketika diukur lagi oleh pihak perusahaan setelah tiba di pelabuhan jadi 1,4. Ini yang menjadi keluhan petambang lokal karena kadar dan tonase yang berubah. Dengan kondisi hanya satu smelter besar di Sultra yang menerima pasokan nikel membuat ada dugaan monopoli yang membuat penambang itu tidak bisa berbuat banyak,” jelasnya.
Jika tertutup dari orang luar, semuanya bisa masuk tanpa pengawasan.
Sementara itu, untuk aktivitas bongkar muat di pelabuhan, Karev mengatakan, harus dipastikan bisa terawasi secara jelas. Sebab, pelabuhan yang tertutup bagi semua pihak membuat segala hal bisa saja terjadi jika tidak diawasi.
”Jika tertutup dari orang luar, semuanya bisa masuk tanpa pengawasan. Kami belum sempat ke sana karena keburu tidak diizinkan datang. Kami akhirnya berkunjung ke Pemkab Konawe untuk membicarakan hal ini,” ungkapnya.
Dengan adanya kejadian seperti ini, dia mengatakan, pihaknya tidak bisa melakukan validasi data lapangan dari informasi yang diperoleh. Melihat langsung dan mengecek kondisi lapangan membuat semua hal menjadi terang benderang. Oleh karena itu, lanjut Karev, pihaknya akan melaporkan hal ini ke pimpinan Wantannas, termasuk hingga Presiden yang merupakan ketua dewan ini.
Hingga Kamis siang, pihak perusahaan yang dihubungi Kompas tidak juga menjawab panggilan telepon. Juru Bicara PT VDNI dan PT OSS Dyah Fadilat, juga Deputi Eksternal Manager PT VDNI Achmad A Chairillah Widjan tidak merespons pertanyaan lewat pesan pendek yang dkirimkan.
Kawasan industri di Morosi merupakan kawasan investasi penanaman modal asing (PMA) bernilai puluhan triliun rupiah. Ribuan tenaga kerja ada di kawasan ini yang bertugas dari pelabuhan, buruh pabrik, hingga di peleburan nikel.
Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sultra menunjukkan, hingga November 2019, jumlah nikel hasil olahan dari smelter yang ada sebesar 735.761 ton, atau senilai 1,163 miliar dollar AS. Ekspor olahan nikel dilakukan oleh PT VDNI yang telah membangun smelter di Konawe. ”Sebagian besar nilai ekspor Sultra disumbang dari ekspor olahan nikel ini,” tutur Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sutra Muslimin.
Meski demikian, bukan kali ini saja perusahaan terkesan tertutup dengan informasi yang beredar. Pada tahun ini, perusahaan tidak terbuka dengan data tenaga kerja, mulai dari pekerja asing yang datang dengan visa kunjungan, jumlah karyawan lokal, hingga kedatangan ratusan TKA China sejak Juni lalu.
Terakhir, pertengahan November ini, belasan pekerja asing di kawasan industri tersebut diketahui terpapar Covid-19. Hanya perusahaan menolak berkomentar jumlah pasti tenaga asing yang positif Covid-19.
”Terakhir di data kami itu ada lima orang (pekerja asing) yang positif Covid-19 pada Kamis (18/11). Rabu sebelumnya ada dua orang, Senin tiga orang, dan Sabtu pekan lalu itu dua orang. Yang hari Sabtu pekan lalu itu satu orang di antaranya meninggal,” kata Jubir GTPP Covid-19 Sultra dr La Ode Rabiul Awal, di Kendari.
Mau tidak mau, memang harus ada evaluasi terpadu yang melibatkan masyarakat luas.
Dari jumlah tersebut, Rabiul memastikan lima orang yang diperiksa di RS Bahteramas adalah WNA asal China. ”Informasinya, semua WNA ini bekerja di Morosi. Tapi, kami kesulitan memastikan datanya,” katanya.
Pihak DPRD Sultra sebelumnya juga telah meminta agar perusahaan mau terbuka dan melaporkan berbagai hal yang terjadi di dalam kawasan perusahaan. Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh bahkan mengusulkan agar ada audit keseluruhan terhadap PT VDNI dan PT OSS, khususnya terkait tenaga kerja. Pemerintah daerah selama ini tidak mendapat informasi jelas terkait pekerja asing yang datang, visa yang dipakai, hingga keahlian yang dimiliki.
”Kita punya pengalaman dari 49 pekerja yang datang dengan visa kunjungan. Kalau dengan visa kunjungan, artinya ada kompensasi sebesar 100 dollar AS yang tidak dibayar per orang per bulan. Belum lagi PPH 21 sebesar 20 persen. Jika itu tidak dilakukan, sanksinya jelas,” kata Rahman.
Belum lagi terkait pekerja lokal yang diserap perusahaan. Status pekerja tidak diketahui apakah merupakan pekerja tetap atau karyawan kontrak. ”Mau tidak mau, memang harus ada evaluasi terpadu yang melibatkan masyarakat luas,” ujarnya.