Perempuan Pekerja Migran Indonesia Sangat Rawan Jadi Korban Kekerasan
Pekerja migran perempuan kebanyakan berasal dari sektor rumah tangga yang rawan kekerasan dan diskriminasi. Potensi kekerasan akan terus ada mereka tidak terlindungi hukum.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Perempuan pekerja migran Indonesia di sektor informal masih sangat rawan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Ironisnya, mereka kerap tidak sadar sudah menjadi korban. Regulasi yang tepat sangat dibutuhkan agar pekerja mendapatkan jaminan keamanan yang semestinya.
Hal itu menjadi benang merah dalam webinar bertema ”Upaya Pemenuhan Perlindungan Perempuan Pekerja Migran Jawa Barat dari Tindak Kekerasan dan Perdagangan Orang”, Rabu (25/111/2020). Diskusi daring ini digelar Sapa Institute, lembaga pendampingan perempuan di Jabar.
Komisioner Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan Tiasri Wiandani menuturkan, tantangan bagi perempuan pekerja migran Indonesia adalah lapangan pekerjaan yang tersedia kebanyakan masih seputar sektor rumah tangga. Pekerjaan informal ini membuat mereka rawan mengalami kekerasan dan diskriminasi, mulai dari upah murah hingga kekerasan seksual.
”Kami menerima aduan mulai dari pelarangan pulang, upah yang tidak dibayarkan selama bekerja, hingga penganiayaan dan pelecehan seksual oleh majikan. Potensi kekerasan ini akan terus ada jika tidak ada regulasi yang mampu melindungi dan mengakomodasi para pekerja,” katanya.
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada 2019 terdapat 57.597 pekerja migran dari Jabar. Sebanyak 47.613 orang di antaranya adalah perempuan. Dari total semua pekerja migran itu, 40.148 orang bekerja di sektor informal dan 17.809 di sektor formal.
Ketua Pengurus Sapa Institute Sri Mulyati menuturkan, mayoritas pekerja migran perempuan asal Jabar rentan jadi korban kekerasan dan diskriminasi. Bahkan, sebagian dari perempuan yang bekerja di luar negeri ini tidak menyadari mereka telah menjadi korban.
Kondisi ini terlihat dari hasil penilaian yang dilakukan Sapa Institute bersama Women\'s Crisis Center Pasundan Durebang terhadap 150 perempuan pekerja migran. Dari jumlah tersebut, hanya 16 persen yang mengaku mengalami kekerasan dan diskriminasi, mulai dari persiapan hingga bekerja di luar negeri.
Padahal, setelah diwawancara dan dilakukan pendalaman, seluruh perempuan ini ternyata pernah menjadi korban, terutama kekerasan seksual. Sri berujar, kondisi ini dapat dialami para pekerja perempuan migran lainnya.
Bahkan, di antara mereka tidak menyadari telah mengalami eksploitasi karena bekerja sangat panjang setiap harinya dan merasa wajar jika mendapat kekerasan fisik. Sri berujar, mereka menganggap kekerasan itu merupakan konsekuensi dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan majikan.
“Kebanyakan yang ditutupi adalah korban kekerasan seksual. Mereka menganggap itu sebagai aib, bahkan keluarga tidak diberitahu. Mereka takut stigma sosial sehingga lebih memilih menutup diri,” ujarnya.
Menurut Sri, hal ini tidak akan terjadi jika pemerintah memberikan rangkaian regulasi yang mampu mengakomodir para korban. Produk hukum yang berlaku diharapkan mampu menguatkan perlindungan pekerja migran perempuan dalam menghadapi kekerasan.
Salah satu instrumen hukum yang dinantikan adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut Sri, selama ini sebagian korban tidak mendapatkan keadilan, bahkan sekadar mendapatkan bantuan pemulihan.
“Oleh karena itu, regulasi yang tepat seperti RUU PKS bisa memberikan advokasi dan mengakomodir para korban kekerasan seksual dari kalangan pekerja migran,” ujarnya.