Sebagian Warga Lansia di Kawasan Rawan Erupsi Merapi Enggan Mengungsi
Sejumlah warga lansia yang tinggal di kawasan rawan bahaya III, Kecamatan Dukun, Magelang, Jateng, belum mau mengungsi karena khawatir ternak dan tanamannya tak terurus. Padahal, aktivitas Gunung Merapi terus meningkat.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Sejumlah warga lanjut usia di kawasan rawan bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, belum mau mengungsi. Mereka khawatir ladang dan ternaknya bakal tidak terurus. Padahal, kini aktivitas Merapi kian meningkat meski statusnya masih Siaga.
Sejak Jumat (6/11/2020), sejumlah warga dari kelompok rentan, seperti warga lanjut usia, anak balita, dan ibu hamil, yang tinggal di kawasan rawan bencana III atau dalam radius 5 kilometer dari puncak Merapi, diungsikan. Namun, belum semua warga lansia mau mengungsi dengan berbagai alasan.
Gino (76), warga Dusun Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun, misalnya, belum mau mengungsi karena menilai situasi di sekitarnya masih aman. Di saat sebagian besar warga lansia mengungsi, Sabtu (14/11), Gino sibuk mengolah lahan seluas seperempat hektar miliknya.
”Belakangan ini saya mendengar suara gemuruh, melihat batu-batu meluncur dari puncak gunung, dan merasa cuaca lebih panas. Tapi, saya sudah biasa saja dengan hal-hal seperti itu, tidak panik,” kata Gino.
Gino menuturkan, dirinya tetap akan bertahan di desanya meski erupsi terjadi. Bertahan di rumah pernah ia lakukan saat erupsi Merapi 2010. Kala itu, Gino ragu meninggalkan tiga sapinya ke pengungsian.
”Saya tidak berani meninggalkan ternak, takut dibawa orang kalau desa kosong. Kalau mengungsi, mau kasih makan ternak juga bingung, harus bolak-balik,” imbuhnya.
Karyo Sukijan (75), yang juga warga Dusun Babadan I, mengatakan, sebenarnya dirinya sudah mengungsi sejak 6 November ke dusun lain yang berjarak 30 kilometer dari puncak Merapi. Namun, setiap pagi, ia pulang ke desa untuk menggarap ladang, lalu sorenya kembali lagi ke pengungsian.
”Ya, mau bagaimana lagi, kerja di ladang ini sudah menjadi bagian hidup saya. Bosan sekali kalau terus-menerus berdiam diri di pengungsian,” ujar Karyo.
Siang itu, Karyo sedang menugal tanah untuk ditanami sawi hijau, kol, dan cabai. Ladangnya hanya berjarak sekitar 4,5 km dari puncak Merapi. Jika gunung itu erupsi, sudah tentu pekerjaan Karyo akan sia-sia karena sayur yang ditanamnya pasti musnah.
”Merapi memang sedang mau erupsi, tetapi ladang ini tetap harus saya garap daripada ditumbuhi rumput. Soal yang lain saya serahkan kepada yang berkuasa, pokoknya pasrah saja,” ucap Karyo.
Sementara itu, Camat Dukun Amin Sudrajat mengatakan, baru sepertiga dari total warga lansia yang sudah mengungsi. Sisanya masih beraktivitas di desa, seperti mengurus ternak dan tanaman di dusun masing-masing.
”Karena sifatnya hanya imbauan, kami tidak bisa melarang. Nanti, kalau ada peningkatan status menjadi Awas, semuanya kami wajibkan untuk mengungsi,” kata Amin.
Menurut dia, total warga lansia di sembilan dusun di Kawasan Rawan Bencana III Kecamatan Dukun adalah 684 orang. Dari jumlah tersebut, warga lansia yang telah mengungsi baru 194 orang.
Menurut Yulianto, pengamat gunung api dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), aktivitas kegempaan di Merapi masih terbilang tinggi. Namun, kata dia, memang ada penurunan intensitas gempa. Pada 12 November terjadi 59 kali gempa guguran, sedangkan pada 13 November turun menjadi 21 kali gempa guguran.
”Akan tetapi, jangan lalu dikatakan aktivitas merapi sudah menurun. Saat ini aktivitas Merapi masih tinggi,” kata Yulianto.
Selain aktivitas seismik, petugas BPPTKG juga memantau deformasi (penggembungan) tubuh gunung. Pada 4 November, pemendekan jarak tunjam 11 sentimeter per hari. Kini, kata Yulianto, pemendekan jarak tunjam meningkat jadi 13 cm per hari.
Ia menambahkan, petugas juga terus mendengar gemuruh dan melihat guguran material. Jarak guguran 500-700 meter dari puncak. Sebelumnya, guguran material terjauh terjadi pada Minggu (8/11/2020) yang mencapai 3 km dari puncak ke arah Kali Sat, Kabupaten Magelang.
Hingga Jumat (13/11/2020), pembukaan jalan magma mencapai 2,2 meter. Hal ini diketahui dari hasil alat pengukur deformasi yang dipasang di pucak gunung. ”Sejarah letusan pada 2006 dan 2010 batuan itu sampai titik akhir ambrolnya di 3 meter, kalau sekarang masih sekitar 2,2 meter,” kata Yulianto.