Ratapan Kemiskinan ”Biinmafo”
Pilkada di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, menghadirkan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati. Tiga kandidat ini seakan mewakili tiga swapraja bentukan Belanda, yakni Biboki, Insana, dan Miomafo.
Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur merupakan gabungan tiga swapraja, yakni Biboki, Insana, dan Miomafo atau disingkat ”Biinmafo”. Selama 62 tahun terbentuk, dengan sembilan bupati, daerah ini masih meratapi problem kemiskinan.
Memasuki Kefamenanu, ibu kota Timor Tengah Utara (TTU), terpampang tulisan ”Selamat datang di Kota Biinmafo” di tugu yang ada di jalan protokol. Ada patung tiga orang di tugu itu, masing-masing menghadap ke utara, timur, dan selatan. Inilah simbol masyarakat Biboki, Insana, dan Miomafo atau biasa disingkat ”Biinmafo”.
Uskup Keuskupan Atambua yang membawahi TTU, Mgr Dominikus Saku, dalam pesan moral di Kefamanenu, Jumat (29/10/2020), antara lain, mengingatkan semangat ”Biinmafo” yang sepatutnya menjadi pemersatu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Apa yang disampaikan Uskup Dominikus cukup beralasan. Selama 62 tahun Kabupaten TTU terbentuk, di bawah kepemimpinan sembilan bupati, kondisi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera. Kekeringan, gagal panen, gizi buruk, rawan pangan, infrastruktur yang buruk, hingga rendahnya kualitas pembangunan sumber daya manusia, menjadi potret umum di TTU.
Semangat ”Biinmafo” yang sepatutnya menjadi pemersatu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (Mgr Dominikus Saku)
Jumlah penduduk miskin di TTU tahun 2019 sebanyak 56.940 jiwa dari total penduduk 276.150 jiwa. Jumlah penduduk miskin itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai 56.090 jiwa serta menurun ketimbang dua tahun sebelumnya, yakni 58.950 jiwa pada 2017 dan 59.700 jiwa pada 2016.
Terdampak pandemi Covid-19, jumlah penduduk miskin tahun ini diperkirakan meningkat. Menilik data penerima bantuan Program Keluarga Harapan, bantuan beras untuk keluarga miskin, bantuan sosial tunai, dan bantuan langsung tunai, jumlahnya hampir 80 persen dari total penduduk TTU.
Baca juga: Seruan Moral Keuskupan Atambua untuk Pilkada di Timor Tengah Utara
Keterbatasan anggaran pemerintah daerah menjadi alasan klasik untuk merujuk pada upaya pengentasan warga dari kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berjalan lambat. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TTU dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Persoalannya, sebagian besar pemanfaatannya masih untuk belanja pegawai dibandingkan dengan biaya pembangunan.
Tahun 2015, misalnya, dengan APBD Rp 931,8 miliar, anggaran untuk belanja pegawai Rp 793,4 miliar dan anggaran pembangunan Rp 138,4 miliar. Pada 2019, dengan total APBD Rp 1,222 triliun, anggaran belanja pegawai Rp 1,084 triliun dan pembangunan Rp 138 miliar.
Sementara itu, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) TTU dalam tiga tahun terakhir juga meningkat. PDRB 2017 senilai Rp 3,532 miliar, lalu tahun 2018 senilai Rp 3,824 miliar, dan 2019 senilai Rp 4,083 miliar.
Pertumbuhan ekonomi tiga tahun terakhir juga relatif baik. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi TTU tercatat 5,01 persen, 2018 mencapai 5,03 persen, dan 2019 sebesar 4,9 persen.
Padahal, TTU punya sejumlah potensi alam luar biasa. Perikanan, misalnya pari, potensi 15.870 ton per tahun, baru tergarap 170 ton per tahun. Pesisir sepanjang 87 kilometer dengan potensi tambak garam dan perikanan budidaya belum sepenuhnya digarap.
Di luar itu, ada potensi lahan sawah seluas 15.700 hektar (ha), pertanian lahan kering 250.000 ha, dan perkebunan 50.000 ha. Selebihnya, ada pegunungan dan perbukitan yang berpotensi dikembangkan menjadi destinasi wisata yang eksotik.
Baca juga: Enam Fraksi di DPRD Timor Tengah Utara Minta Bupati Cuti Sementara
Tidak tuntas
Dosen Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri TTU, Maksi Taolin, mengatakan, setiap pemimpin di TTU paham potensi daerah itu. Sejumlah program kerja digagas luar biasa, bahkan sampai diadopsi kementerian tertentu di Jakarta.
Misalnya, dalam ekstensifikasi pertanian. Setiap keluarga petani mengelola 5 are lahan pertanian dan diberi subsidi raskin 20 kg per bulan oleh pemerintah daerah. Ada juga pemberian jaminan pensiun bagi petani. Dengan jumlah petani TTU mencapai 50.205 keluarga, jika program terealisasi akan ada perluasan lahan 251.025 are per bulan.
Program peningkatan kesejahteraan warga yang juga diupayakan pemkab, antara lain, program bedah rumah rakyat, penataan kawasan perbatasan RI-Timor Leste, serta pengadaan balai latihan kerja bagi calon pekerja migran. Program pelatihan bagi calon pekerja migran digagas setelah banyak buruh migran asal TTU yang berangkat secara ilegal serta di kemudian hari tewas di luar negeri atau pulang dengan kondisi mengenaskan karena dianiaya majikannya.
Program pengentasan masyarakat dari gizi buruk juga digulirkan dengan membangun rumah singgah, khusus merawat anak-anak kurang gizi. Namun, ironisnya, setiap tahun ada 2.000-3.000 anak yang mengalami gizi buruk.
”Semua program itu tidak satu pun terealisasi tuntas. Padahal, ini program super. Jika direalisasikan dengan serius, itu luar biasa. Meski gagal, para pemimpin merasa biasa-biasa saja dan menikmati itu, dari tahun ke tahun,” kata Maksi.
Baca juga:Partai Nas-Demo Usung Istri Bupati di Pilkada Timor Tengah Utara
Potensi lain yang seharusnya bisa dikembangkan adalah keberadaan dana desa yang sejak 2015 telah disalurkan hingga Rp 800 miliar untuk 60 desa di TTU. Akan tetapi, nyatanya, belum ada badan usaha milik desa (BUMDes) yang sukses mengelola potensi untuk kesejahteraan warga.
”BUMDes bisa menggerakkan usaha-usaha mikro. Jika usaha ini digenjot, ekonomi TTU bisa menggeliat dan akhirnya berpeluang mengikis kemiskinan yang ada,” kata Maksi.
Baca juga: Asa Petani Kupang di Tengah Kekeringan Ekstrem
Di sisi lain, Kabupaten TTU juga memiliki satu perguruan tinggi negeri dengan sumber daya manusia yang cukup. Pemkab bisa memanfaatkan kemampuan para akademisi dan mahasiswa dalam menangani persoalan daerah.
Tiga kandidat
Pemilihan kepala daerah TTU tahun 2020 menjadi meomentum untuk memilih pemimpin yang bisa mengatasi persoalan kemiskinan yang akut di TTU. Dalam pilkada kali ini ada tiga pasangan calon yang bersaing, yakni Kristiana Muki-Yoseph Tanu, Hendrikus Frengkyanus Saunoah-Amandus Nahas, serta Juandi David-Eusabius Binsasi.
Kristiana-Yosef didukung Partai Nasdem dengan delapan kursi di DPRD, bisa dibilang sebagai kepanjangan tangan petahana. Kristiana Muki, yang saat ini menjabat anggota DPR dari Partai Nasdem, merupakan istri Bupati TTU saat ini, Raymundus Fernandes.
Pasangan Frengky-Amandus juga punya modal politik yang cukup diperhitungkan. Keduanya anggota DPRD TTU sehingga cukup mengenal karakteristik masyarakat dan potensi daerah yang perlu dibenahi. Mereka didukung PDI-P, Hanura, Berkarya, Demokrat, Perindo, PKS, dan PAN, yang total menguasai 12 kursi di DPRD.
Sementara pasangan Juandi-Eusabius memiliki modal pengalaman sebagai birokrat. Juandi merupakan pensiunan pegawai negeri sipil dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa TTU (2017-2019). Sementara wakil Eusebius, purnakarya Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama (2016-2019). Keduanya didukung PKB, Gerindra, dan Golkar dengan total delapan kursi DPRD TTU.
Baca juga: Pilkada di NTT diikuti 1.217.794 Pemilih
Siapa pun yang terpilih dalam pilkada kali ini, dituntut memiliki cara-cara yang luar biasa agar mampu keluar dari kelaziman pemimpin-pemimpin sebelumnya. Hal ini penting guna dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada kecenderungan setiap pemimpin meneruskan rutinitas pekerjaan yang ditinggalkan pemimpin sebelumnya sehingga TTU dari tahun ke tahun tidak ada perubahan.
Selain itu, ada kecenderungan politik balas dendam seusai pemilihan kepala daerah. Jajaran birokrat yang dinilai memiliki pilihan politik yang berbeda dari pemimpin terpilih acap kali diganti. Dengan kondisi ini, seruan untuk menjadikan semangat ”Biinmafo” sebagai pemersatu menjadi relevan, demi mengakhiri ratapan kemiskinan di daerah itu.
Baca juga: Ritual Adat Potong Kerbau Iringi Pendaftaran Calon Bupati Perempuan Pertama di Timor Tengah Utara