Laju Deformasi Merapi Meningkat, Potensi Bahaya Belum Berubah
Laju deformasi yang terjadi di Gunung Merapi mengalami peningkatan, Kamis (12/11/2020). Peningkatan deformasi itu menjadi penanda bahwa magma di dalam tubuh Merapi kian mendekat ke permukaan.
Oleh
HARIS FIRDAUS/KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Laju deformasi Gunung Merapi meningkat pada Kamis (12/11/2020). Peningkatan itu menjadi salah satu penanda magma di dalam tubuh Merapi semakin mendekati permukaan. Namun, status Merapi masih tetap Siaga karena belum ada penambahan potensi bahaya.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) yang dirilis Jumat (13/11/2020), laju deformasi Merapi pada Kamis mencapai 13 sentimeter per hari. Padahal, dalam kurun waktu 6-11 November 2020, deformasinya 12 cm per hari.
Deformasi adalah perubahan bentuk pada tubuh gunung. Di Merapi, deformasi mulai teramati setelah erupsi eksplosif pada 21 Juni 2020. Deformasi itu terlihat dari pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pemendekan jarak tunjam itu menunjukkan deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Merapi. Semakin besar pemendekan jarak, semakin besar pula penggembungan itu terjadi. Penggembungan itu mengindikasikan adanya magma di dalam tubuh gunung api yang naik menuju ke permukaan.
Berdasarkan data BPPTKG, sejak Juni-September 2020, laju pemendekan jarak tunjam hanya sekitar 3 milimeter per hari. Namun, pada 4 November 2020, laju pemendekan jarak tunjam mencapai 11 cm per hari.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida menjelaskan, dalam kondisi seperti sekarang, peningkatan deformasi sebesar 1 cm dinilai belum signifikan. Namun, Hanik mengakui, peningkatan deformasi menjadi penanda magma di tubuh Merapi semakin dekat ke permukaan. Berdasarkan data BPPTKG, posisi tekanan magma di Merapi saat ini diperkirakan berada di kedalaman sekitar 1,5 kilometer dari puncak.
Perkiraan posisi tekanan magma itu dihitung berdasarkan lokasi pusat gempa vulkanik dangkal yang terjadi di Merapi. ”Kami melihat posisi magma itu di mana dari pusat kegempaan atau yang disebut hiposenter,” kata Hanik di Yogyakarta.
Guguran
Secara terpisah, petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Yulianto, mengatakan, penggembungan tubuh gunung merupakan tanda ada desakan magma dari dalam perut gunung. Yulianto menyebut, desakan itu juga membuat adanya pembukaan jalan keluar magma.
”Selain melihat penggembungan tubuh gunung, kami juga terus mendengar suara gemuruh dan melihat adanya guguran material. Guguran material sejauh ini rata-rata mencapai 500-700 meter dari puncak,” ujar Yulianto.
Menurut Yulianto, guguran material terjauh terjadi pada Minggu (8/11/2020). Kala itu, guguran material mencapai jarak 3 km dari puncak ke arah arah Kali Sat, Magelang. Material yang gugur atau jatuh itu berupa batuan lava lama sisa erupsi sebelumnya.
Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan berjarak 4,4 km dari puncak Merapi. Pada 2010, aktivitas pengamatan di pos Babadan sempat dipindahkan ke pos di bawahnya yang berada di Desa Krinjing, Magelang, karena ancaman erupsi.
Hanik menyatakan, selama beberapa waktu terakhir, Merapi beberapa kali mengeluarkan guguran material yang sebagian mengarah ke barat dan barat laut. Dia menyebut, guguran material itu terjadi karena adanya desakan magma dari dalam tubuh Merapi.
”Ada beberapa guguran yang sudah agak jauh jaraknya. Pernah, sekali, jaraknya 3 km, kemudian 2 km, dan sekitar 1 km. Ini mengindikasikan ada desakan dari dalam,” katanya.
Hanik mengatakan, material yang gugur itu merupakan lava sisa erupsi-erupsi sebelumnya. Sebab, hingga sekarang, belum ada lava baru yang muncul di permukaan. ”Lava yang baru sampai sekarang belum muncul. Ini masih kita tunggu terus perkembangannya,” katanya.
Kegempaan
Aktivitas kegempaan di Gunung Merapi pada 6-12 November juga meningkat dibanding sebelumnya. Berdasarkan laporan mingguan yang dirilis BPPTKG, pada 6-12 November 2020, Merapi mengalami 244 kali gempa vulkanik dangkal, gempa fase banyak (2.189), dan gempa frekuensi rendah (9). Selain itu, ada juga 385 kali gempa guguran, gempa embusan (403), dan gempa tektonik (6).
Sementara itu, pada kurun 30 Oktober-5 November 2020, Merapi tercatat mengalami 193 kali gempa vulkanik dangkal, gempa fase banyak (1.663), dan gempa frekuensi rendah (9). Kemudian, ada 391 kali gempa guguran, gempa embusan (330), dan gempa tektonik (9).
Artinya, pada pekan ini, gempa vulkanik dangkal di Merapi meningkat sekitar 26 persen, gempa fase banyak meningkat 32 persen, dan gempa embusan meningkat 22 persen. ”Intensitas kegempaan pada minggu ini lebih tinggi dibandingkan dengan minggu lalu,” ucap Hanik.
Meski laju deformasi dan kegempaan meningkat, BPPTKG menyatakan, status Gunung Merapi masih Siaga. Sebelumnya, pada Kamis (5/11/2020), BPPTKG menaikkan status Gunung Merapi dari Waspada menjadi Siaga.
Hanik memaparkan, potensi bahaya akibat erupsi Merapi saat ini berupa guguran lava, lontaran material vulkanik, serta awan panas dengan jarak maksimal 5 km dari puncak Merapi. Dia menambahkan, BPPTKG baru akan menaikkan status aktivitas Merapi apabila ada peningkatan ancaman bahaya.
”Kalau kami menaikkan status, yang menjadi pertimbangan adalah ancaman bahayanya. Kalau ancaman bahayanya sudah mulai membesar, kami akan menaikkan status,” ujarnya.