Lindungi agar Tenaga Kesehatan Jawa Timur Tak Lagi Bertumbangan
Di Jawa Timur, kematian dokter akibat tertular Covid-19 mencapai 33 orang. Perlu upaya perlindungan lebih total bagi mereka yang bertugas di garda terdepan melawan wabah ini.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
Kematian dokter Berkatnu Indrawan Janguk (28), Senin (27/4/2020) di RSUD Dr Mohamad Soewandhie, tak cuma mengakibatkan kesedihan orangtua dan keluarga di Kalimantan Tengah, tetapi juga Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Berkatnu merupakan putra pasangan pejabat teras Pemerintah Kabupaten Barito Utara, yakni Kepala Dinas Lingkungan Hidup Suriawan Prihandi dan Asisten III Inriaty Kari. Hasil tes usap pertama Berkatnu positif virus korona dan dirawat. Dalam perawatan, Berkatnu kembali menjalani tiga kali tes usap dan hasilnya negatif sehingga meminta bertugas lagi.
Dalam tugasnya itulah, Berkatnu kembali mengeluh dan dirawat. Ternyata, terjadi pembengkakan jantung yang kemudian mencabut nyawanya.
Kematian Berkatnu ternyata bukan yang terakhir memperlihatkan kengerian pagebluk di Surabaya. Tiga pekan kemudian atau 18 Mei 2020, Covid-19 juga menyebabkan kematian Boedhi Harsono (60), anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya. Istri almarhum juga terinfeksi virus korona.
Selanjutnya, maut merengut kehidupan peserta program dokter spesialis di RSUD Dr Soetomo, yakni Miftah Fawzi Sarengat (34), pada 10 Juni 2020. Residen penyakit dalam ini dikenal ramah, selalu mau membantu, sederhana, dan peduli adik angkatan.
”Dokter Miftah meninggal padahal tinggal sedikit lagi (lulus), saya merasa kehilangan karena almarhum adalah kakak angkatan yang amat baik,” kata Koordinator Tim Bantuan Residen Jagaddhito Probokusumo.
Selanjutnya, Soekarno Kasmoeri, anggota IDI Cabang Sidoarjo, meninggal di Rumat Sakit Khusus Infeksi Universitas Airlangga pada 28 Juni 2020. Dua hari berselang, dokter anastesi RSU Haji Surabaya, yakni Arief Basuki, berpulang. Sepekan kemudian, kemenakannya, yakni Putri Wulan Sukmawati, residen ilmu kesehatan anak RSUD Dr Soetomo juga meninggal dengan status terjangkit Covid-19.
Ketua IDI Cabang Surabaya Brahmana Askandar Tjokroprawiro mengatakan, para kolega yang berpulang memiliki riwayat penyakit penyerta atau komorbid. Kehilangan amat besar bagi dunia kesehatan Surabaya, Jatim, dan Indonesia itu dipicu serangan Covid-19. ”Semua memiliki komorbid,” kata Brahmana.
Berdasarkan data IDI, Jatim merupakan provinsi dengan jumlah kematian dokter akibat Covid-19 terbanyak, yakni 33 orang. Se-Indonesia, dokter yang telah ”gugur” di palagan (rumah sakit) sebanyak 152 orang. ”Kehilangan amat besar bagi masyarakat,” kata Ketua IDI Jatim Sutrisno.
Untuk menghasilkan seorang dokter spesialis dibutuhkan waktu pendidikan setidaknya 11-12 tahun di perguruan tinggi disertai praktik. Terkait dengan hal itu, kematian Berkatnu dan Putri dalam usia muda dan hampir selesai sejatinya pukulan bagi masyarakat. Jika mereka selamat, keahlian Berkatnu dan Putri tentu akan bermanfaat bagi masyarakat.
Jagaddhito mengatakan, kematian para dokter mungkin tidak perlu terjadi apabila tenaga kesehatan benar-benar terlindungi selama bertugas. Dalam masa wabah ini, dokter merupakan kelompok terentan terpapar sehingga memerlukan alat pelindung diri (APD) memadai.
Dokter tidak seperti profesi lain di mana pekerjaan bisa dilaksanakan dari rumah. (Jagaddhito Probokusumo)
”Dokter tidak seperti profesi lain di mana pekerjaan bisa dilaksanakan dari rumah,” kata Jagaddhito.
Dalam masa wabah yang ngeri, para dokter menyingkirkan rasa cemas sekaligus bertaruh nyawa untuk menangani pasien. Perasaan cemas dan terus tertekan oleh situasi pagebluk membuat kalangan dokter depresi. Ini dapat berakibat buruk bagi pelayanan kesehatan.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan, dalam situasi wabah, tenaga kesehatan adalah benteng terakhir tetapi garda terdepan penanganan pasien. Yang harus paling depan dalam pencegahan adalah masyarakat dan penyelenggara negara. ”Jika benteng jebol, penanganan kian sulit,” kata Windhu.