Tak Gentar Lawan Kotak Kosong di Pematang Siantar
Pilkada Kota Pematang Siantar, 9 Desember 2020, diikuti sepasang calon, Asner Silalahi dan Susanti Dewayani. Mereka akan melawan kotak kosong dengan memborong partai politik pemilik kursi di DPRD Kota Pematang Siantar.
Dari Kedai Kopi Kok Tong, yang telah berdiri sejak 1925, aura perdagangan di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, terasa begitu kuat. Orang dari berbagai latar suku dan agama berbaur di sana, cermin Pematang Siantar sebagai kota multikultural yang toleran. Kini, warga menanti perubahan dari pemimpin baru untuk membangkitkan perekonomian Pematang Siantar.
Tumpak Winmark Hutabarat (32) bersama anak muda lainnya dalam suasana Pemilihan Kepala Daerah Kota Pematang Siantar 2020 semakin sering berdiskusi tentang masa depan kotanya di kedai itu. Mereka cemas dengan pembangunan kota yang dirasa stagnan dalam beberapa tahun belakangan. Lapangan pekerjaan pun kian sempit karena sektor perdagangan yang merosot selama pandemi Covid-19.
”Kami berharap wali kota ke depan bisa melihat potensi Kota Pematang Siantar yang begitu besar. Pematang Siantar harus bangkit lagi sebagai kota perdagangan, industri kreatif, pariwisata, dan memunculkan identitas sebagai kota bersejarah,” kata Tumpak.
Menurut Tumpak, potensi terbesar Kota Pematang Siantar adalah pariwisata dan industri kreatif. Namun, selama ini sektor itu belum digarap pemerintah dengan serius.
Baca juga: Toleransi di Tanah Siantar
Peluang pengembangan pariwisata di kota, yang lebih tenar disebut Siantar, itu besar karena merupakan kota transit bagi wisatawan yang akan pelesiran ke Danau Toba. Letak kota berpenduduk 255.317 jiwa itu cukup strategis karena berada 125 kilometer dari Kota Medan dan 50 kilometer dari destinasi wisata Danau Toba, Parapat. Kota itu pun semakin mudah diakses sejak Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi beroperasi pada 2017.
Namun, wisatawan biasanya hanya singgah di tempat penjualan oleh-oleh yang cukup dikenal, seperti Roti Ganda, mi pangsit, roti ketawa, atau singgah sejenak di Kedai Kopi Kok Tong.
Tumpak mengatakan, komunitas anak muda di Pematang Siantar sudah berulang kali menyuarakan agar pemerintah membangun Siantar sebagai destinasi wisata dengan narasi sejarah dan warisan kota yang lebih kuat.
Di Siantar, misalnya, terdapat bangunan bersejarah yang cukup penting, seperti rumah kelahiran Wakil Presiden ke-3 RI, Adam Malik; bekas Gedung Percetakan Uang RI, yang sekarang menjadi Kantor Bank Rakyat Indonesia; Kantor Wali Kota Pematang Siantar, yang pernah menjadi Kantor Gubernur Sumut; Lapangan Merdeka; Lapangan Adam Malik; dan bekas Markas Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA), yang sekarang menjadi Siantar Hotel.
Siantar juga melahirkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia, seperti Adam Malik dan Cornel Simanjuntak, pencipta lagu ”Maju Tak Gentar”. ”Ini harus dikemas menjadi sebuah narasi dan produk pariwisata agar bisa menghidupkan industri pariwisata Siantar,” kata Tumpak.
Menurut Tumpak, potensi industri kreatif juga cukup besar. Ia misalnya menekuni bisnis clothing line atau desain mode pakaian secara daring. Pangsa pasar di Siantar dan daerah sekitarnya cukup besar. Mereka juga menyelenggarakan acara-acara kesenian yang seharusnya bisa dikemas menjadi acara tahunan.
Kontribusi pariwisata
Minimnya industri pariwisata dalam pembangunan Kota Siantar tergambar dari kontribusinya terhadap perekonomian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Pematang Siantar pada 2019, kontribusi penyediaan akomodasi dan makan minum terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) masih 5,9 persen dari total PDRB Rp 13,93 triliun.
Lapangan usaha yang paling besar kontribusinya yakni perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor sebesar 24,9 persen; industri pengolahan 21,6 persen; dan konstruksi 10,7 persen.
Pusat perdagangan di Siantar berpusat di Pasar Horas, Pasar Dwikora Parluasan, jajaran rumah toko dan pasar modern di Jalan Merdeka dan Jalan Sutomo. Sebagian besar tenaga kerja di Siantar terserap di sana. Pembelinya tidak hanya dari Siantar, tetapi juga dari kabupaten lainnya terutama dari daerah di sekeliling Danau Toba, seperti Simalungun, Toba, Samosir, Humbang Hasundutan, hingga Tapanuli Utara.
Sekretaris Jaringan Advokasi Pedagang Tradisional Pematang Siantar Agus Butar-Butar mengatakan, masalah paling besar yang dihadapi pedagang di Pasar Horas dan Dwikora adalah berkurangnya pembeli karena gedung pasar yang kumuh, gelap, pengap, dan drainase yang buruk.
”Ada empat gedung berlantai dua atau tiga di Pasar Horas. Namun, hampir semuanya tidak layak lagi,” kata Agus.
Baca juga: Memborong Partai Politik Jadi Strategi Memenangkan Pilkada
Pasar Horas dan Dwikora memang membuka lapangan usaha cukup besar. Ada sedikitnya 3.600 kios resmi di Pasar Horas dan 1.800 lainnya di Dwikora. Belum lagi pedagang yang tidak menempati kios yang jumlahnya juga ribuan. Kedua pasar menjual pakaian, ulos, hasil pertanian, daging, ikan, dan toko perhiasan.
Agus, yang juga berdagang ikan asin di Pasar Horas, mengatakan, pandemi Covid-19 memperburuk omzet penjualan mereka hingga merosot di bawah Rp 500.000 per hari. Padahal, sebelum pandemi, omzet mereka telah anjlok dari Rp 2 juta menjadi sekitar Rp 1 juta karena fasilitas pasar yang terus memburuk. ”Kami kini sering merugi. Bagaimana orang mau datang kalau fasilitas pasarnya sangat buruk,” kata Agus.
Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sultan Agung, Pematang Siantar, Robert Tua Siregar, mengatakan, penguatan dan penataan perekonomian masyarakat harus menjadi program jangka pendek wali kota Pematang Siantar ke depan.
Upaya penguatan ekonomi dapat dengan menggerakkan sektor riil, seperti UMKM kuliner, perdagangan menengah, dan sektor jasa. Siantar juga memiliki potensi sebagai pusat jasa dan perdagangan sayur-mayur di Sumut bagian barat bahkan sampai Riau. ”Namun, sangat perlu penataan pasar induk yang ada saat ini,” kata Robert.
Selama ini, sentra pertanian, seperti Simalungun, Karo, dan Toba, menjual hasil pertaniannya di Pasar Dwikora. Pembelinya pun datang dari sejumlah daerah. Robert pun memperkirakan, perputaran uang pada jual-beli sayur-mayur di Siantar mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar per hari.
Menurut Robert, Siantar juga harus menyiapkan diri sebagai kota transit untuk pariwisata Danau Toba dan sebagai penunjang daerah industri, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei di Simalungun, Kawasan Industri Kuala Tanjung, serta Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batubara. Siantar pun kini sudah memiliki modal seperti akomodasi hotel berbintang, restoran, dan industri jasa lainnya. ”Peluang ini harus bisa ditangkap wali kota ke depan,” katanya.
Robert pun mengingatkan, Siantar selama ini menjadi kota pendidikan bagi warganya dan daerah sekitarnya. Di daerah itu terdapat sekolah-sekolah favorit. Wali Kota juga didorong untuk membangun perguruan tinggi negeri di Siantar. Siantar juga diharapkan bisa meningkatkan fasilitas kesehatan.
Borong partai
Di tengah besarnya harapan masyarakat pada perubahan Pematang Siantar, masyarakat sebenarnya tidak punya banyak pilihan. Di Siantar hanya ada calon tunggal, yakni Asner Silalahi-Susanti Dewayani. Pasangan itu memborong delapan partai politik di DPRD Pematang Siantar, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasdem, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Petahana Hefriansyah Noor pun tak bisa bertarung dalam pilkada karena tak mendapat tiket dari partai mana pun. Sejumlah gerakan apatisme muncul karena calon tunggal. Bahkan, belakangan muncul kampanye memilih kotak kosong.
Asner mengatakan, ia dan pasangannya berkomitmen membawa perubahan bagi Siantar. Menurut pensiunan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu, memborong semua partai adalah strategi untuk memenangi kontestasi.
Asner mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi fokus pembenahannya ke depan, yakni pusat perdagangan, pendidikan, pariwisata, dan pusat kuliner. Ia juga berjanji akan membenahi lalu lintas jalan yang kini semakin macet.
Menurut Asner, aspirasi yang cukup luas adalah membenahi pusat perdagangan di Pasar Horas dan Dwikora. ”Langkah awal yang akan kami ambil adalah merevitalisasi Pasar Horas dan Dwikora,” katanya.
Selain perdagangan, kata Asner, industri pengolahan pun diharapkan bisa menjadi tulang punggung ekonomi kota ke depan. Selama ini, beberapa industri besar di Siantar yakni rokok putih, tepung tapioka, tekstil, dan minyak mentah kelapa sawit. Asner pun menargetkan masuknya investasi yang lebih besar untuk Siantar.
Warga Pematang Siantar pun berharap, wali kota ke depan bisa membangkitkan harapan mereka, yakni membuka lapangan usaha dan membangun peradaban kota.