Memborong Partai Politik Jadi Strategi Memenangkan Pilkada
Dua pilkada di Sumatera Utara kemungkinan hanya diikuti calon tunggal, yakni Kota Pematangsiantar dan Gunungsitoli. Pasangan calon memilih opsi memborong semua partai politik untuk menghindari pertarungan di akar rumput.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Dua pemilihan kepala daerah di Sumatera Utara kemungkinan hanya diikuti calon tunggal, yakni Kota Pematangsiantar dan Kota Gunungsitoli. Meskipun mencederai demokrasi, pasangan calon memilih opsi memborong semua partai politik untuk menghindari pertarungan di akar rumput.
”Sejak awal, saya berkomunikasi dan melakukan lobi ke semua partai politik. Pertarungan politik itu, kan, adu strategi. Ini strategi saya,” kata bakal calon wali kota Pematangsiantar, Asner Silalahi, Kamis (3/9/2020).
Asner yang berpasangan dengan Susanti Dewayani itu mendapat dukungan dari delapan partai politik pemilik semua kursi di DPRD Kota Pematangsiantar, yakni PDI-P, Golkar, Hanura, Nasdem, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKPI.
PDI-P yang seharusnya bisa mengajukan pasangan calon tanpa berkoalisi akhirnya menjatuhkan dukungan pada Asner-Susanti. Harapan petahana untuk bertarung melawan Asner pun pupus dengan pengumuman itu.
Asner mengatakan, sejak awal dirinya menyiapkan langkah untuk memborong semua dukungan partai politik. Hal itu menjadi strateginya untuk mengalahkan petahana tanpa harus bertarung di akar rumput kota perdagangan dengan jumlah pemilih sekitar 179.000 orang itu.
Dukungan partai politik itu, menurut dia, juga penting sebagai modal politiknya dalam menjalankan roda pemerintahan jika terpilih. ”Saya menjual prestasi kepada partai, bukan semata-mata karena segala sesuatu,” kata Asner yang merupakan pensiunan pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu.
Sejak awal, dirinya menyiapkan langkah untuk memborong semua dukungan partai politik.
Menurut Asner, langkah dia memborong semua partai politik tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi. ”Undang-undang juga mensahkan calon tunggal. Tergantung sudut pandangnya,” katanya.
Di Pematangsiantar sebelumnya ada paslon jalur perseorangan yang mendaftar, yakni Ojak Naibaho-Efendi Siregar. Namun, bukti dukungan yang diserahkan paslon itu ke Komisi Pemilihan Umum tidak memenuhi syarat minimal, yakni 17.910 dukungan.
Berbeda dengan Pematangsiantar, di Gunungsitoli, petahana, yakni Lakhomizaro Zebua-Sawa’a Laoli, memborong dukungan semua partai politik. Pasangan yang merupakan kader PDI-P itu juga telah mendapat dukungan dari Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Persatuan Indonesia, PAN, Hanura, Demokrat, dan PKPI.
Menurut Sekretaris DPD PDI-P Sumut Sutarto, partai politik menjatuhkan pilihan tidak lepas dari popularitas, elektabilitas, dan kepuasan masyarakat terhadap petahana. ”Di Gunungsitoli semua partai mendukung petahana karena menganggap kinerjanya baik, tetapi sebaliknya dengan Pematangsiantar. Partai tidak puas dengan kinerja petahana,” katanya.
Menurut Sutarto, gejala calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah tidak bisa dipandang semata-mata sebagai kemunduran demokrasi atau pragmatisme partai politik. Ia mengklaim, pilihan partai-partai yang mengarah pada satu pasangan calon juga karena mereka menjalankan fungsinya menangkap aspirasi rakyat.
Sutarto mengatakan, pihaknya melakukan survei beberapa kali untuk melihat persepsi masyarakat, popularitas, dan elektabilitas bakal calon kepala daerah.
Berdasarkan catatan Kompas, jumlah pasangan calon tunggal terus naik. Pada pilkada serentak 2015 hanya ada tiga pasangan calon tunggal. Kemudian, jumlahnya meningkat pada pilkada serentak 2017 menjadi sembilan pasangan calon. Pada pilkada serentak 2018, ada 16 daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal.
Pada Pilkada 2020, dari kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), diperkirakan ada potensi 36 pasangan calon tunggal, yaitu dari 30 kabupaten dan 6 kota.