Status Merapi Siaga, Radius Bahaya hingga 5 Km dari Puncak
Gunung Merapi kini berstatus Siaga, sejak Kamis (5/11/2020), pukul 12.00. Potensi bahaya akibat erupsi Gunung Merapi maksimal dalam radius lima kilometer.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gunung Merapi berstatus Siaga sejak Kamis (5/11/2020), pukul 12.00. Sejauh ini, potensi bahaya akibat erupsi Merapi maksimal dalam radius lima kilometer dari puncak.
Penetapan status gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu dilakukan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). BPPTKG merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab memantau aktivitas vulkanik Merapi.
Kenaikan status itu berdasarkan surat Nomor 5234/45/BGV.KG/2020 tertanggal 5 November 2020. Surat yang ditandatangani Kepala BPPTKG Hanik Humaida itu ditujukan kepada sejumlah pihak, yakni Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Gubernur DIY, dan Gubernur Jateng. Surat juga disampaikan pada Bupati Sleman, Magelang, Boyolali, dan Bupati Klaten.
Dokumen surat tersebut juga diunggah di akun resmi Twitter BPPTKG. Saat dikonfirmasi Kompas, Hanik membenarkan keberadaan surat tersebut. ”Betul, Mas. Merapi statusnya naik,” kata Hanik melalui pesan di aplikasi Whatsapp, Kamis siang.
Sebelumnya, sejak 21 Mei 2018, Merapi berstatus Waspada. Selama Waspada, radius bahaya akibat erupsi ditetapkan sejauh 3 km dari puncak.
Dalam surat tersebut, Hanik menyatakan, aktivitas vulkanik Merapi saat ini dapat berlanjut hingga erupsi. Potensi bahaya dari erupsi berupa guguran lava, lontaran material, dan awan panas sejauh maksimal 5 km.
BPPTKG juga mengumumkan daftar dusun di wilayah Jateng dan DIY yang diperkirakan bisa terkena dampak erupsi. Dusun-dusun yang diperkirakan terdampak itu tersebar di Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten.
Selain itu, BPPTKG juga meminta aktivitas penambangan di alur sungai yang berhulu di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Merapi untuk dihentikan. Hal serupa juga direkomendasikan untuk aktivitas pariwisata. ”Pendakian di Merapi juga masih tidak boleh dilakukan,” ujarnya.
Kenaikan status Merapi ini tidak bisa dilepaskan dari peningkatan intensitas gempa dan laju deformasi di gunung api tersebut. Hanik menyatakan, sesudah erupsi eksplosif di Merapi pada 21 Juni 2020, aktivitas kegempaan internal di Merapi, yakni gempa vulkanik dalam, gempa vulkanik dangkal, dan gempa fase banyak, mulai meningkat.
Sebagai perbandingan, pada Mei 2020, terjadi 174 kali gempa fase banyak dan tidak ada gempa vulkanik dalam dan vulkanik dangkal. Sementara itu, pada Juli 2020, terjadi enam kali gempa vulkanik dalam, 33 kali gempa vulkanik dangkal, serta 339 kali gempa fase banyak.
Sejak Oktober, aktivitas kegempaan di Merapi meningkat semakin intensif. Pada 4 November 2020, terjadi 29 kali gempa vulkanik dangkal, 272 gempa fase banyak, 57 kali gempa guguran, dan 64 kali gempa embusan.
Kenaikan status Merapi ini tidak bisa dilepaskan dari peningkatan intensitas gempa dan laju deformasinya
Selain itu, setelah erupsi 21 Juni 2020, juga teramati deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Merapi. Deformasi teramati dari pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang.
Data BPPTKG menunjukkan, pada September 2020, laju pemendekan jarak tunjam mencapai 3 milimeter (mm) per hari. Sementara itu, pada 4 November 2020, laju pemendekan jarak tunjam mencapai 11 sentimeter (cm) per hari.
Hanik memaparkan, aktivitas yang terjadi di Merapi saat ini sudah melampaui kondisi menjelang munculnya kubah lava pada 26 April 2006 atau menjelang erupsi tahun 2006. Namun, aktivitas Merapi saat ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan erupsi 2010. Di sisi lain, berdasarkan foto udara pada 3 November 2020, belum terlihat kubah lava baru di puncak Merapi.
”Sampai saat ini, kegempaan dan deformasi masih terus meningkat. Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan terjadi proses ekstrusi magma secara cepat atau letusan eksplosif,” ungkap Hanik.
Kepala Seksi Mitigasi Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Joko Lelono menyampaikan, peningkatan status Merapi ditindaklanjuti dengan pengecekan data masyarakat di dalam daerah rawan. Barak pengungsian di Dusun Gayam, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, juga ikut disiapkan. Dusun itu berjarak sekitar 12 km dari puncak Merapi.
”Barak tersebut bisa digunakan menampung 300 orang. Akan tetapi, ada penyesuaian dalam kondisi pandemi. Jadi, kami juga akan menggunakan dua bangunan lainnya yang berdekatan, yaitu SD Bronggang dan SMP Sunan Kalijogo, masing-masing bisa diisi 100 orang,” kata Joko.
Penyesuaian dalam barak pengungsian ini berupa penerapan jaga jarak fisik. Bentuknya dengan membuat sekat di barak pengungsian. Setiap petak, bakal dihuni satu rumah tangga.
Joko mengungkapkan, pihaknya juga telah memeriksa ketersediaan masker. Saat ini, stok masker berjumlah 90.000 buah. Secara rinci, sebanyak 30.000 buah milik BPBD Sleman, sedangkan 60.000 buah lainnya milik BPBD DIY.
Selain itu, Joko juga menambahkan, untuk memastikan evakuasi dapat berjalan lancar, bakal dilakukan perbaikan jalur evakuasi. Menurut pantauannya, ada sedikitnya jalur evakuasi sepanjang 2 km yang rusak di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Perbaikan jalur evakuasi itu, menurut rencana, dilakukan mulai pekan depan dan ditargetkan selesai dua minggu kemudian.
”Sedikitnya 80 pencari rumput di Lereng Merapi sudah dilatih proses evakuasi. Mereka berasal dari Dusun Turgo di Desa Pakembinangun dan Dusun Glagah Malang di Glagaharjo,” kata Joko.