Menanti Visi Lingkungan di Surga Nikel
Pilkada Konawe Utara diikuti oleh dua calon, yaitu bupati petahana dan wakil bupati petahana yang kali ini "berduel". Tantangan utama di daerah surga nikel ini adalah kehadiran pemimpin yang bervisi lingkungan.
Jika ada peringkat kabupaten dengan izin pertambangan nikel terbanyak, Kabupaten Konawe Utara di Sulawesi Tenggara tentu bertengger di daftar teratas. Di daerah dengan cadangan nikel sebesar 46 miliar Wet Metrik Ton ini, hutan dibuka, nikel dikeruk, baik secara legal maupun ilegal. Bencana rutin adalah dampak nyata dari lingkungan yang merana. Pemimpin daerah dengan visi menjaga lingkungan pun menjadi kebutuhan utama.
Sejak mekar dari Kabupaten Konawe lebih dari 13 tahun lalu, Bumi Oheo, sebutan wilayah Konawe Utara (Konut), berkembang dengan pesat. Sayangnya, perkembangan paling pesat bukan dari daerah yang tumbuh dengan infrastruktur yang lengkap atau kesejahteraan yang semakin meningkat.
Akan tetapi, daerah ini berkembang dengan pesatnya izin usaha pertambangan (IUP), khususnya nikel. Keleluasaan daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan menjadi peluang besar untuk mengeruk alam dengan dalih pendapatan daerah dan negara.
Izin lalu dibuka seluasnya. Karpet merah bagi investor digelar. Hingga Mei 2018, berdasarkan data Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 101 IUP eksplorasi dan produksi nikel yang pernah diterbitkan di Konawe Utara. Sebagian IUP ini ada yang kedaluwarsa, tetapi sebagian besar masih memiliki jangka waktu yang panjang, bahkan hingga tahun 2034. Luas lahan setiap IUP bervariasi, mulai dari ratusan hektar hingga puluhan ribu hektar.
Sementara itu, data Pemkab Konut, terdapat 68 IUP yang aktif dan berstatus clean and clear alias bersih secara administratif di wilayah ini. Sebanyak 20 izin di antaranya telah melakukan produksi di sejumlah lokasi di wilayah tersebut.
Jumlah IUP pertambangan nikel ini adalah yang terbanyak di tingkat Sulawesi Tenggara. Ore atau bijih nikel dari wilayah Konut dipasok ke berbagai fasilitas pengolahan atau smelter di Sultra, Morowali (Sulawesi Tengah), hingga diekspor ke China, Eropa, juga ke Amerika. Tentu tidak menutup kemungkinan nikel dari tanah Konut menjadi bagian dari perangkat elektronik yang dipakai pemimpin negara adidaya, mobil listrik yang digunakan selebritis di Eropa, seorang peneliti di wilayah Antartika, atau telepon pintar yang berada di tangan kita.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjelaskan, selama lima tahun terakhir, kontribusi sektor pertambangan ke perekonomian di Konut cenderung mengalami peningkatan. Dari sekitar 20 persen pada 2015, sempat turun jadi 19 persen pada 2016, dan kembali naik mencapai 21 persen pada 2019.
”Sementara, karakteristik utama di Konut itu adalah pertanian dan perkebunan. Kontribusi sektor ini mencapai hingga 41 persen pada 2015. Akan tetapi, semakin tahun, turun di angka 40 persen, dan terakhir pada 2019 menjadi 39 persen,” jelas Syamsu, di Kendari, Selasa (27/10/2020).
Melihat data itu, Syamsu mengatakan, secara porsi ekonomi, pertambangan konsisten memberikan konstribusi dengan tren yang naik, sementara pertanian cenderung landai dengan tren menurun.
Tingginya potensi nikel di wilayah ini benar-benar menjadi sumber daya utama yang dieksploitasi. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan nikel di Sultra mencapai 97,4 miliar Wet Metrik Ton (Wmt), dengan total luas sebaran 313.7888 hektar. Sekitar setengah dari cadangan ini atau 46 miliar Wmt, berada di Konawe Utara dengan luasan sekitar 82.626,03 hektar.
Dengan harga rata-rata 20 dollar AS untuk setiap ton nikel basah dengan kadar tinggi, tentu angka ini sangatlah besar. Jika ada 23 miliar Wmt saja nikel berkadar baik, atau setengah dari total cadangan nikel di Konawe Utara, nilainya mencapai Rp 6.440 triliun, atau tiga kali APBN 2020. Nilai yang begitu besar sampai andaikan uang itu dibagikan secara rata ke seluruh penduduk di Indonesia, setiap orang bisa mendapat Rp 23 juta.
Namun, tentu sistem ekonomi tidak bekerja seperti itu. Tingginya peran sektor pertambangan ini tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan warga. Sebab, data Badan Pusat Statistik Sultra, angka kemiskinan di Konut terus meningkat selama tiga tahun terakhir.
Pada 2016, angka kemiskinan di daerah ini sebesar 9,75 persen dari total 64.000 penduduk. Pada 2017, angka kemiskinan melonjak drastis menjadi 13,94 persen, dengan jumlah orang miskin sebanyak 8.400 orang. Setahun setelahnya, pada 2018, angka kemiskinan kembali mengalami peningkatan menjadi 8.800 orang atau sebesar 14,22 persen dari total jumlah penduduk.
Syamsu menjelaskan, di kabupaten ini, desa menjadi tumpuan dengan basis ekonomi sektor pertanian hingga kelautan. Sayangnya, pertambangan itu berimpitan dengan lahan pertanian, kebun, hingga tambak warga. Wilayah pertambangan secara perlahan menggerus sawah, kebun, atau mencemari tambak dan perairan.
”Pertambangan itu sektor padat modal yang tidak semua orang bisa masuk. Untuk jadi pekerja pun butuh keahlian. Warga yang bertani, berkebun, atau nelayan, tidak serta merta terserap di sektor pertambangan ini. Jadi, wajar jika kemiskinan bertambah. Dengan kata lain, pertambangan dan penggalian semakin membuat orang menjadi miskin,” katanya.
Bencana dan pilkada
Ahmad (48), warga Kecamatan Asera, ibu kota Konut, mengemukakan, kehidupan masyarakat tidak banyak berubah dibanding sebelumnya. Memang sebagian warga kini bekerja di perusahaan pertambangan atau di lahan kelapa sawit setelah dua sektor ini masuk ke sejumlah lokasi di Konut.
Akan tetapi, kondisi di daerahnya kini semakin merana. Banjir bandang bercampur lumpur datang tiap tahun. ”Rumah saya hanyut disapu banjir tahun 2019. Habis semua apa yang kami bangun sedikit demi sedikit,” tuturnya. Ia kini menetap di rumah hunian sementara sejak tempat tinggalnya hilang.
Di Desa Tapuwatu, Asera, sekitar 80 rumah rata dengan tanah setelah banjir bandang mendera Juni 2019 lalu. Pada 2020, banjir kembali datang meski skalanya tidak separah tahun sebelumnya.
Sementara itu, di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, banjir lumpur kembali terjadi. Warga harus berjuang membersihkan rumah yang terendam lumpur berwarna merah. Mereka beramai-ramai menyingkirkan lumpur tebal dari jalan desa agar bisa keluar ke wilayah lainnya.
”Sudah tiga tahun terakhir banjir lumpur terus. Padahal, Sungai Langgikima ini dulunya jernih betul dan menjadi sumber air bersih warga. Di atas sana, banyak sekali tambang nikel. Di sekitar sempadan sungai, penuh sawit,” ucap Mustaman, warga desa.
Pengajar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari, Nur Arafah, menjabarkan, alam mempunyai daya dukung yang terbatas. Pembukaan permukiman, jalan, hingga aktivitas ekonomi harus memiliki ukuran yang seimbang dengan daya dukung tersebut. Saat lingkungan tidak menjadi perhatian, bencana pasti melanda.
”Jadi, jangankan mau bangun usaha pertambangan atau perkebunan sawit, mau bangun perumahan saja berpengaruh terhadap air permukaan dan air tanah, atau kondisi lainnya. Ketika melebihi daya dukung, dikelola seperti apa pun pasti tidak bisa. Bisa dilihat sekarang banjir lumpur beberapa tahun terakhir di Konawe Utara,” tutur Arafah.
Pembuatan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi pintu masuk yang penting bagi usaha skala besar. Hal itu menjadi pengukur dan rambu bagaimana usaha itu bermanfaat, tetapi tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, terutama manusia.
Sayangnya, lanjut Arafah, Amdal itu hanya menjadi formalitas di atas kertas. Sebab, jika dipenuhi dengan prosedur yang baik, dampak lingkungan bisa diminimalisasi sedini mungkin. ”Banyak kasus mereka menambang dulu baru bikin Amdal. Belum lagi penambangan ilegal di hutan lindung. Saya awal tahun 2010-an ke wilayah pegunungan pesisir Konawe Utara, sudah terbuka luas. Apalagi sekarang,” bebernya.
Banyak kasus mereka menambang dulu baru bikin Amdal.
Arafah menjelaskan, daerah seperti tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk melakukan pengawasan maupun penindakan meski aturan masih membolehkan. Bahkan, hingga pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak kali ini, di mana Konawe Utara juga turut melaksanakan pergelaran pemilihan, visi untuk melakukan perbaikan dan pengawasan lebih tidak terlihat.
Padahal, pemimpin dengan aksi pengendalian dan penyelamatan lingkungan sangat dibutuhkan di Sultra, terutama di Konut. Selama ini, begitu jarang kasus lingkungan diangkat ke permukaan, terlebih disanksi atau dihukum. Padahal, pelanggaran nyata terjadi di lapangan. ”Di satu sisi kita tahu bahwa pemilik tambang itu tentu orang-orang besar, di daerah atau di Jakarta. Pemimpin dengan visi dan aksi lingkungan menjadi salah satu kebutuhan utama di wilayah tersebut,” katanya.
Pilkada Konut diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Ruksamin yang berpasangan dengan Abuhaera melawan pasangan Raup dan Iskandar. Ruksamin adalah bupati Konut periode 2016-2020, sementara Raup adalah wakil bupati periode yang sama. Mereka saat ini berduel untuk menjadi bupati ketiga di daerah tersebut.
Arafah pun berharap, isu lingkungan betul-betul diperhatikan oleh setiap calon kepala daerah. Tidak hanya saat berkampanye, tetapi hingga ketika menjabat nanti.
”Kalau di awal sudah tidak diperhatikan, itu sudah sinyalemen kuat adanya ketakutan atau permainan dengan para pemodal. Karena begitulah oligarki bekerja, mereka ’menanam’ di calon yang akan bersaing di pilkada. Semoga di Konut bisa lebih baik karena daerah ini menjadi perwajahan pertambangan di Sultra secara luas," ujarnya.