Lumbung Ikan Nasional, Jangan Sampai Nelayan Tradisional Terpinggirkan
Nelayan lokal di Maluku kembali terimpit dominasi korporasi perikanan yang terus mengeruk ikan di perairan Maluku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Mesin perahu motor yang dikemudi Yadi Bustan (45) berderu meninggalkan pesisir Desa Kawa di Pulau Seram, Maluku, pada suatu subuh di bulan Oktober 2020. Perahu seakan melaju tanpa arah yang pasti sebab Laut Seram kini tak lagi menjanjikan bagi Yadi dan nelayan tradisional lainnya. Mereka berjibaku di antara rumpon dan kapal milik perusahaan besar yang mengeruk ikan di sana.
Perahu Yadi berukuran panjang sekitar 6 meter dan lebar lebih kurang 1 meter mengangkut 100 bungkus es batu dan 70 liter bahan bakar campuran. Sendirian, Yadi terus memacu perahu membela laut saat langit masih gelap. Perahu melaju di atas permukaan air yang teduh dan sesekali dihadang gelombang. Sekitar tiga jam kemudian, perahu sudah menjauh lebih dari 20 mil laut atau 37 kilometer dari pesisir.
Hari sudah terang dan Yadi sudah jauh membelah lautan belum tampak tanda-tanda kawanan ikan yang bermain di kulit air. Tak terlihat elang laut terbang rendah atau pun gerombolan lumba-lumba. Di situ biasanya terdapat kawanan tuna dan cakalang. Hampir setahun belakangan, tuna dan cakalangan menghilang dari daerah penangkapan itu lantaran dicegat rumpon yang dipasang di sejumlah titik.
Rumpon milik perusahaan besar menguasai Laut Seram. Tak tahu berapa jumlahnya. Di rumpon terpasang atraktor berupa daun kelapa atau pita plastik bak magnet yang menarik ikan-ikan berkumpul. Paling lama sebulan sekali, kapal datang menjaring ikan di rumpon. ”Sepertinya mereka pakai pukat harimau yang panjang. Mereka juga membawa kapal penampung besar,” ujar Yadi saat dihubungi Kompas pada Jumat (23/10/2020).
Tak ada lagi ikan yang tersisa di tiga jam pertama sejak meninggal pesisir di Desa Kawa yang berada di Kabupaten Seram Bagian Barat itu. Titik yang dulunya menjadi area jelajah terjauh berubah menjadi separuh perjalanan. Yadi pun terus bertolak semakin jauh hingga tiga jam ke depan. Di sana ia baru bisa menemukan gerombolan tuna dan cakalang mesti tidak sebanyak dulu.
Waktu melaut kini lebih dari 24 jam dibandingkan sebelumnya paling lama 14 jam. Ia terpaksa melewati malam di tengah laut. Selain lamanya perjalanan ke daerah penangkapan, juga demi efisiensi bahan bakar. Dulu paling banyak 30 liter sekali melaut membengkak hingga 70 liter. Sementara hasil tangkapan tak banyak berubah dan cenderung menurun. Sekitar 100 kilogram ikan campuran per sekali melaut.
Cakalang dijual dengan harga Rp 10.000 per kilogram, sedangkan anak tuna Rp 13.000 per kilogram. Sementara setiap kali melaut ia butuh biaya sekitar Rp 700.000. Tak jarang ia merugi. Merugi lantaran hasil tangkapan jauh di bawah biaya. Ikan sudah dikeruk kapal-kapal besar. Kini semakin diperparah pandemi Covid-19. Hasil tangkapan banyak yang tidak terjual di pasaran akibat menurunnya daya beli.
Menurut Yadi, kehadiran kapal ikan dan berdirinya rumpon milik perusahaan terjadi dalam satu tahun belakangan membuat nelayan lokal berjibaku kian keras di tengah laut. ”Pokoknya mulai periode kedua Jokowi (Presiden Joko Widodo). Kami kaget kenapa tiba-tiba mulai berubah begini,” ujar Yadi mewakili sekitar 200 pencari tuna dan cakalang di desa itu.
Kehadiran korporasi perikanan yang kian gencar di perairan Maluku juga dirasakan Hardy (50), nelayan asal Desa Gomo-gomo, Kecamatan Aru Selatan Timur, Kabupaten Kepulauan Aru. Saat dihubungi beberapa waktu lalu, Hardy menuturkan sering melihat kapal ikan melakukan bongkar muat dan jual beli bahan bakar di tengah laut.
Gomo-gomo di tepian Laut Arafura. Dalam setahun belakangan ini, sekitar 1.289 kapal ikan besar langsung menyerbu Laut Arafura, perairan dengan potensi perikanan terkaya di Indonesia.
Sementara pemberdayaan nelayan lokal tidak terlalu nampak. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, dari sekitar 115.000 rumah tangga nelayan di Maluku, belum sampai 10 persen yang mendapatkan sentuhan pemberdayaan pemerintah. Mereka berjuang sendiri mulai dari membangun atau membeli perahu motor hingga memasarkan hasil tangkapan.
Korporasi
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kunjungan ke Ambon pada akhir Agustus 2020 menyatakan tekadnya mendorong kesejahteraan nelayan di Maluku. Itu dapat dilakukan dengan menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional (LIN), semacam pusat pengelolaan perikanan nasional. Wacana itu pertama kali diucapkan tahun 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sayangnya, dalam kesempatan itu, Edhy tidak banyak menjelaskan seperti apa posisi nelayan. Edhy malah menyebutkan dua wilayah di Maluku yang identik dengan penguasaan korporasi perikanan berskala global, yakni Tual dan Benjina. Edhy ingin menghidupkan kawasan perikanan itu. "Ada Benjina, dulu hanya difitnah dengan seolah-olah ada perbudakan," ujar Edhy.
Pernyataan Edhy terkait Benjina itu seperti membuyarkan semangat masyarakat menyambut LIN. Kenapa tiba-tiba Edhy menyebut Benjina dalam konteks LIN? Semangat LIN yang semula untuk pemberdayaan nelayan dikhawatirkan akan bergeser menjadi payung bagi korporasi.
Collin Leppuy, tokoh muda Maluku, yang juga warga Kepulauan Aru, menilai pernyataan Edhy terkait Benjina sangat melukai sisi kemanusiaan sebab perusahaan perikanan PT Pusaka Benjina Resources pernah terlibat perbudakan. Gara-gara itu, sejumlah negara di dunia mengecam dan menganggap perikanan Indonesia tidak humanis.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari berpendapat, Maluku menjadi target korporasi perikanan, dan hal itu sudah terjadi sejak dulu. Hal itu dilakukan secara senyap ataupun terang-terangan. Potensi perikanan Maluku kini sebesar 4,6 juta ton per tahun setara dengan 36,8 persen dari potensi nasional sebesar 12,5 juta ton per tahun.
Dalam catatan Kompas, sebelum 2014, negara kehilangan pendapatan hingga Rp 40 triliun per tahun akibat penangkapan ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi (IUU Fishing). Selain itu, Banda Sea Agreement tahun 1968 antara Indonesia dan Jepang untuk eksploitasi tuna di Laut Banda. Laporan resmi Japan Fishery Agency periode 1970-1979 menyebutkan, tangkapan tuna nelayan Jepang di Laut Banda sebesar 40.000 ton tuna dengan nilai 20 juta dollar AS.
Pertanyaan bahwa apa yang diperoleh nelayan lokal dalam serangkaian program itu belum menemukan jawaban. LIN menambah lagi deretan program pengelolaan perikanan di Maluku. Saat ini sedang disiapkan peta jalan. Nelayan lokal, seperti Yadi, berharap mereka hendaknya menjadi subyek utama dalam program itu, bukan korporasi besar. Korporasi telah mendapatkan semuanya di perairan Maluku. Kini giliran nelayan lokal.