Erupsi Gunung Merapi Berikutnya Diperkirakan Bersifat Efusif
Aktivitas vulkanik Gunung Merapi menunjukkan potensi erupsi. Namun, erupsi Merapi berikutnya diperkirakan bersifat efusif atau tidak disertai dengan ledakan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aktivitas vulkanik Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan potensi erupsi. Namun, erupsi Merapi berikutnya diperkirakan bersifat efusif atau tidak disertai ledakan. Ancaman bahaya akibat erupsi efusif muncul jika kubah lava di puncak Merapi runtuh.
”Dengan prediksi yang mengarah pada erupsi yang efusif, faktor ancaman bahaya dapat diukur dari parameter terkait kubah lava,” kata Kepala Seksi Gunung Merapi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Agus Budi Santoso dalam webinar bertema ”Menerjemahkan Data Merapi”, Selasa (27/10/2020), di Yogyakarta.
Agus menyatakan, berdasarkan data pemantauan BPPTKG, aktivitas vulkanik Gunung Merapi meningkat beberapa waktu terakhir. Peningkatan aktivitas itu, antara lain, tampak dari intensitas kegempaan serta laju deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Gunung Merapi.
Agus menambahkan, peningkatan aktivitas vulkanik kemungkinan akan berlanjut pada terjadinya erupsi. ”Ada probabilitas yang cukup bahwa peningkatan aktivitas vulkanik saat ini akan berlanjut ke erupsi,” ujarnya.
Namun, Agus mengingatkan, terjadinya erupsi itu belum tentu langsung membahayakan masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Merapi. Hal ini karena erupsi Merapi diperkirakan bersifat efusif. Dalam erupsi efusif, magma akan keluar dari tubuh gunung api secara perlahan tanpa disertai ledakan seperti dalam erupsi eksplosif.
”Jadi, ketika magma nanti keluar atau kita sebut erupsi, itu tidak serta merta menjadi ancaman bahaya kepada masyarakat,” katanya.
Agus memaparkan, dalam erupsi efusif, magma yang keluar ke permukaan bisa membentuk kubah lava di puncak gunung api. Dari waktu ke waktu, volume kubah lava tersebut bisa terus bertambah seiring makin banyaknya ekstrusi atau keluarnya magma di permukaan. Namun, penambahan volume akibat ekstrusi magma itu bisa berdampak pada kestabilan kubah lava.
Jika kondisinya tidak stabil, kubah lava tersebut bisa runtuh dan menyebabkan munculnya awan panas yang dapat membahayakan warga. ”Dalam erupsi efusif, indikasi bahaya muncul ketika kubah lava yang terbentuk dari aktivitas ekstrusi magma itu berpotensi runtuh dan menyebabkan awan panas. Itulah yang menjadi ancaman bahaya,” tuturnya.
Agus menyatakan, apabila magma dari dalam tubuh Gunung Merapi telah keluar ke permukaan, BPPTKG akan melakukan pemantauan untuk mengetahui volume magma tersebut. BPPTKG juga akan memantau penambahan volume dan kestabilan kubah lava di puncak Merapi.
Agus menuturkan, erupsi Merapi selanjutnya diprediksi mirip dengan erupsi pada 2006. Erupsi Merapi tahun 2006 diawali tumbuhnya kubah lava karena keluarnya magma secara efusif. Setelah itu, kubah lava di Merapi runtuh dan diikuti munculnya awan panas.
Walakin, Agus mengakui, tetap ada kemungkinan erupsi Merapi bersifat eksplosif. Erupsi eksplosif bisa terjadi apabila ada percepatan peningkatan intensitas gempa dan laju deformasi secara signifikan.
Namun, Agus menyebut, kemungkinan erupsi eksplosif tergolong kecil. ”Kita juga tidak memungkiri adanya probabilitas skenario erupsi eksplosif, meskipun (kemungkinan) ini kecil. Tanda-tanda erupsi eksplosif itu jika ada percepatan yang signifikan dari seisimik (kegempaan) maupun deformasi,” tuturnya.
Perlu dipahami bahwa dengan adanya erupsi ini belum tentu akan langsung membahayakan masyarakat di sekitar Merapi. (Agus Budi Santoso)
Semakin dekat
Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, aktivitas Gunung Merapi beberapa waktu terakhir semakin intensif. Oleh karena itu, dia menyebut, waktu erupsi Merapi berikutnya kemungkinan semakin dekat.
Aktivitas vulkanik yang makin intensif itu, antara lain, ditandai tingginya intensitas gempa di Gunung Merapi. Hanik menuturkan, beberapa waktu terakhir, rata-rata terjadi 6 kali gempa vulkanik dangkal di Merapi dalam sehari, serta gempa fase banyak (multiphase) 83 kali per hari.
Selain tampak dari intensitas gempa, aktivitas vulkanik yang kian intensif itu terlihat dari laju deformasi yang meningkat. Deformasi teramati dari adanya pemendekan jarak tunjam berdasarkan pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Berdasarkan data BPPTKG, pemendekan jarak tunjam itu mulai teramati setelah erupsi pada 21 Juni 2020. Pemendekan jarak tunjam menunjukkan deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi. Makin besar pemendekan jarak yang teramati, makin besar pula penggembungan.
Hanik menyebut, saat ini, laju deformasi di Gunung Merapi mencapai 2 sentimeter (cm) per hari. Pemendekan jarak tunjam itu meningkat dibandingkan pemendekan yang terjadi pada 9-15 Oktober sebesar 1 cm per hari.
Menurut Hanik, pemendekan jarak tunjam tak hanya teramati dari pos di wilayah Babadan, tetapi juga beberapa pos dan titik ukur di sekitar Gunung Merapi. ”Pemendekan jarak EDM juga terukur dari pos-pos dan titik-titik ukur di sekeliling Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu erupsi berikutnya sudah semakin dekat,” ungkapnya.
Meski begitu, belum bisa dipastikan kapan erupsi akan terjadi. Hingga sekarang, status Gunung Merapi juga masih sama dengan sebelumnya, yakni Waspada (Level II). Status Waspada itu telah ditetapkan BPPTKG sejak 21 Mei 2018.
BPPTKG juga masih menetapkan radius bahaya seperti sebelumnya, yakni 3 kilometer (km) dari puncak Merapi. Masyarakat diminta tidak beraktivitas di dalam radius tersebut. Mereka yang berada di luar radius tersebut bisa beraktivitas seperti biasa.
Meskipun begitu, Hanik juga meminta semua pihak untuk bersiap menghadapi krisis yang kemungkinan terjadi saat erupsi Merapi erupsi. ”Dengan status Waspada dan aktivitas masih terus berlangsung ini, kita harus siap menghadapi krisis Merapi ke depan,” ujarnya.