Millah Kamilah, Berbagi Kail Ilmu demi Masa Depan
Millah Kamilah pernah memutuskan untuk keluar dari dunia pendidikan dan menjadi wirausahawan. Namun, jiwa pendidik di dirinya tak mau diam saat melihat banyak anak-anak tidak bersekolah di sekitar rumahnya.
Millah Kamilah M (39) tak mau tinggal diam saat tahu ada banyak anak putus sekolah di sekitar rumahnya di Jatiendah, Kota Bandung, Jawa Barat. Dia bahkan menjual mobil dan menggunakan garasi di rumah untuk membuka sekolah bagi mereka yang terlupakan.
Terik matahari Kamis (8/10/2020) siang menemani langkah Millah menuruni tangga kecil di salah satu sudut kawasan Jatiendah. Belum selesai menitinya, teriakan Sukma (8), salah satu murid Millah terdengar kencang.
“Bu, ada Bu Guru datang!” teriaknya.
Dari dalam bilik, Wiwi (42), ibu Sukma muncul sembari menggendong anak bungsunya.
“Oh, Bu Millah, masuk dulu, bu, maaf hanya bisa duduk di tikar ini,” ujarnya.
Rumah Wiwi berlantai papan dan berdinding anyaman rotan. Ukurannya 4 meter kali 3 meter yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan menjadi bilik penyimpan pakaian sekeluarga. Sedangkan bilik lainnya adalah tempat serbaguna, mulai dari menerima tamu, dapur, lengkap dengan kompor dan tabung gas 3 kg yang berada di pojok ruangan.
Di antara keruwetan itu, Wiwi tinggal bersama suami dan 10 anaknya. Saat malam, kedua ruangan tanpa dipan ini menjadi tempat tidur bagi seluruh anggota keluarga.
“Ya tidur di mana saja asal ada tempat. Kalau begini, saya sudah tidak memikirkan anak-anak sekolah lagi. Terlalu mahal biayanya. Apalagi suami saya cuma buruh tani. Jangankan sekolah, untuk makan saja syukur,” ujar Wiwi sambil menenangkan si bungsu yang menangis. Pendidikan tertinggi semua anaknya hanya lulusan SMP.
Saya mencoba memberikan mereka kail ilmu, agar bisa mencari ikan sendiri. Kalau berikan ikan, mereka hanya akan jadi peminta-minta.
Millah bercerita, ia datang hendak membantu Wiwi mencari donatur untuk memperbaiki keadaan ini. Tinggal berdesakan di rumah sempit jelas tidak ideal.
Wiwi jelas bahagia dengan kabar itu. Untuk kesekian kalinya Millah mau membantunya. Sebelumnya, Millah menerima Sukma di sekolah miliknya, Sekolah Rumah Kasih Mandiri (RKM) Tahfidzpreneur.
“Saya mencoba memberikan mereka kail ilmu, agar bisa mencari ikan sendiri. Kalau berikan ikan, mereka hanya akan jadi peminta-minta,” tutur Millah.
Mulai berbagi
Semuanya bermula saat Millah memutuskan untuk menjadi wirausahawan di sektor kuliner tahun 2016. Ia berhenti mengajar di salah satu taman kanak-kanak di Kota Bandung. Padahal, dia tengah menjabat sebagai kepala sekolah. Bukan kepala sekolah sembarangan, tetapi Kepala Sekolah Terbaik tingkat Kota Bandung tahun 2013.
“Sekitar tahun 2014 saya mulai membuka usaha Rumah Kue Millah sambil berbagi resep di media sosial. Akhirnya, saya memilih untuk keluar karena ingin bekerja sendiri daripada bekerja untuk orang lain,” ujarnya.
Setelah resmi keluar sekolah tempat ia mengajar, Millah lantas menyusun strategi untuk membangun bisnis barunya. Dia memulainya dengan berkeliling mengajak ibu-ibu di sekitar lingkungannya bersama-sama membangun usaha, tidak hanya berbagi resep di media sosial.
Akan tetapi, kenyataan tak seperti yang dia inginkan. Jiwa pengajarnya kembali terketuk saat melihat banyak anak bermain di jam sekolah. “Saya pindah ke tempat ini tahun 2009. Namun, baru tahun 2014 itu sadar di belakang rumah banyak anak yang tidak sekolah. Orangtua mereka mengatakan tidak ada biaya. Saya lantas ingin membuka sekolah lagi,” ujarnya.
Dia lantas mengutarakan keinginan itu pada suaminya, Prihantono (44), seorang konsultan arsitek di Bandung. Tak hanya izin, dia juga berharap ada modal untuk membangun sekolah. ”Suami saya lantas menjual mobilnya,” katanya.Millah pun kembali jadi pengajar. Pertengahan tahun 2016, Millah membangun RKM Tahfidzpreneur. Ruang sekolahnya dibuat di garasi rumah yang dimodifikasi. Meja belajar disediakan tetangga yang ingin membantu.
Awalnya Millah mendirikan sekolah di tingkat TK untuk menumbuhkan minat belajar anak-anak. Setelah banyak orangtua berminat untuk ikut belajar, dia pun membuka kelas taman bermain dan tempat penitipan anak (daycare). Baru tahun 2019, Millah pun membuka SD agar anak-anak bisa melanjutkan pendidikan.
Saat mulai membuka sekolah, lewat beragam pendekatan, Millah hanya mendapat 10 anak. Meski gratis, tak semua orang tua mau anaknya sekolah. Tak mudah mengubah pola pikir orang tua saat itu, karena masih ada pikiran, pendidikan tidak akan berguna. “Sebagian hanya tahu sekolah itu untuk orang kaya. Apalagi kalau anak perempuan. Urusannya hanya di dapur dan di kasur,” ujarnya.
Sebagian hanya tahu sekolah itu untuk orang kaya.
Akan tetapi, Millah tak mau menyerah. Pendekatan secara personal pun dilakukan untuk membujuk orangtua mengizinkan anak-anaknya kembali bersekolah. “Saya datangi rumah orangtua calon siswa satu persatu. Saya yakinkan kepada mereka sekolah di tempat saya gratis untuk mereka yang tidak mampu,” ungkap Millah.
Tidak hanya membujuk para orang tua, Millah pun mau tidak mau membagi penghasilannya untuk membiayai operasional sekolah, mulai dari menggaji 15 guru dan membayar kontrakan dua bangunan yang dipergunakan sebagai sekolah.
Sehari-hari, Millah bekerja sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini (BAN-PAUD) dan Koordinator Pendamping UMKM Juara Jabar di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar.
Baca juga:
Densy Fluzianti dan Suara Hati Orang Laut
Selain itu, seluruh keuntungan di bisnis kuliner menjadi modal untuk operasional sekolah di samping iuran dari orangtua yang mampu dan donatur tidak tetap. “Kalau guru harus digaji sesuai standar. Untuk setara SD sampai Rp 25 juta sebulan totalnya. Kalau (kontrak) panti untuk anak-anak asuh itu Rp 20 juta setahun. Tahun ini kontrakan sudah habis, saya juga bingung karena penghasilan menurun di saat pandemi seperti ini,” ujarnya.
Panti tersebut diisi 15 orang yang membutuhkan tempat tinggal selama pendidikan. Tidak hanya tempat bernaung, penghuni panti pun mendapatkan makan dengan biaya yang ditanggung oleh Millah.
Tahun ini kontrakan sudah habis, saya juga bingung karena penghasilan menurun di saat pandemi seperti ini.
Tak menyerah
Akan tetapi, kesulitan itu tidak menghambat Millah untuk tetap mengajak anak-anak bersekolah. Dengan menyisihkan uang dan mengandalkan donasi, dia tetap memenuhi hak-hak mereka untuk menuntut ilmu.
“Saya memaklumi karena sekarang semua serba susah. Banyak orangtua anak-anak yang jadi karyawan pabrik dirumahkan karena pandemi Covid-19. Jadi, mau tidak mau saya bebaskan biaya sekolah karena mereka juga butuh untuk makan,” ujarnya.
Di saat pandemi melanda, beban operasional Millah pun bertambah. Tidak hanya mengandalkan pertemuan daring, para guru pun bersedia mengunjungi anak-anak yang tak mampu ikut pembelajaran daring.
Perjuangan itu pun akhirnya membuahkan hasil. Setiap tahun selalu ada anak-anak yang masuk dan ikut belajar bersama Millah. Saat ini Tahfidzpreneur memiliki 85 siswa TK dan SD. Sebanyak 75 persennya merupakan anak asuh Millah yang bersekolah tanpa dipungut biaya.
Baca juga:
Agus Munawar, Magnet Gerakan Literasi
Selain itu, Millah juga mengajak lebih dari 100 orang duafa dan anak yatim di sekitarnya yang tidak mengenyam pendidikan untuk mengikuti program Paket C gratis. Syaratnya, orang itu terdaftar sebagai warga tidak mampu tetapi berniat menempuh pendidikan.
“Saya memiliki impian untuk membangun sekolah terintegrasi, dari SD sampai perguruan tinggi, agar anak-anak asuh saya bisa sekolah sampai tinggi. Mereka sudah menyadari arti penting pendidikan. Tidak hanya untuk mencari pekerjaan, tapi juga terhindar dari kebodohan,” ujarnya.
Semangat ini mulai menular ke para orangtua murid. Wiwi pun tidak ragu lagi menyekolahkan anak-anaknya karena bantuan dari Millah itu terasa nyata. “Nanti adiknya Sukma, Raka, juga rencananya mau sekolah di tempat Bu Millah. Kalau boleh sampai tinggi, ya, bu?” ujar Wiwi yang dibalas senyum simpul Millah.
Senyuman itu menjadi jawaban dari perjuangan Millah mengajak orangtua dan anak-anak kurang mampu di sekitarnya terus menuntut ilmu di sekolah. Millah sadar, ilmu itu akan menjadi “kail” bagi mereka di masa depan, untuk mengangkat keluarga mereka dari jerat kemiskinan.
Saya memiliki impian untuk membangun sekolah terintegrasi, dari SD sampai perguruan tinggi, agar anak-anak asuh saya bisa sekolah sampai tinggi.
Millah Kamilah Muslimat
Lahir : Bandung, 4 Agustus 1981
Pendidikan terakhir : S2 Manajemen Universitas Bina Sarana Informatika (Lulus 2019)
Jabatan :
- Koordinator Pendamping UMKM Koordinator Pendamping UMKM Juara Jabar, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar (2019-sekarang)
- Asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini (BAN-PAUD) (2018-sekarang)