Surati Presiden, Tiga Nenek di Kendari Perjuangkan Hak Perburuhan
Belasan tahun bekerja tanpa kontrak dan tanpa jaminan kesehatan, tiga nenek di Kendari di-PHK sepihak tanpa pesangon.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Tiga nenek di Kendari, Sulawesi Tenggara, berjuang menuntut keadilan setelah tidak dipekerjakan lagi oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka tidak mendapat pesangon dan jaminan kesehatan meski bekerja sampai sakit dan harus terus berobat sampai saat ini. Ketiganya menulis surat ke hakim, juga Presiden Joko Widodo, agar keadilan hadir bagi mereka.
Ketiga nenek ini, yaitu Norma (66), Sumiati (65), dan Yodiati (48), diduga mendapatkan perlakuan tidak bertanggung jawab dari sebuah perusahaan pengolahan ikan tempat mereka bekerja di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera, Kendari.
Mereka mengaku digaji jauh di bawah upah minimum selama bertahun-tahun, tanpa kontrak, dan tanpa jaminan kesehatan. Saat diberhentikan pun mereka tidak diberi pesangon sama sekali. Mereka bertiga bekerja di PT Kelola Mina Laut (KML) di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera.
Yodiati menceritakan, ia digaji Rp 13.000 per jam kerja. Ia bekerja sekitar tujuh jam per hari. Dalam dua minggu, ia mendapat upah Rp 300.000 hingga Rp 500.000. Upah tersebut termasuk ketika ia bekerja lembur hingga larut malam.
”Saya masuk tahun 2007 bekerja di bagian kebersihan. Itu tempat pengolahan ikan dengan ruangan yang dingin. Tahun 2017, saya sakit sampai pingsan di perusahaan. Saya lalu istirahat sekitar satu bulan untuk berobat. Namun, ketika mau masuk kerja, sudah tidak bisa lagi. Katanya nanti dipanggil, tetapi tidak pernah dipanggil sampai sekarang,” ucapnya di Kendari, Rabu (21/10/2020).
Selama bekerja, tutur nenek dua cucu ini, ia tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan. Keanggotaan BPJS yang ia miliki berasal dari pemerintah kota. Bahkan, saat keluar dari perusahaan pun ia tidak mendapatkan pesangon sama sekali.
Norma (66) menambahkan, ia yang bekerja di bagian pembersihan ikan dan gurita juga tidak mendapatkan pesangon dan jaminan kesehatan sama sekali. Saat ini, ia rutin berobat ke rumah sakit setelah sakit sejak 2019 lalu. Sejak saat itu, ia tidak lagi bekerja.
”Satu bulan itu tiga kali ke rumah sakit untuk terapi dan ambil obat. Kaki saya keram sebelah. Mungkin karena bekerja di ruangan dingin dan kena es terus,” ujar nenek 11 cucu ini.
Saat bekerja pertengahan 2019, tambah Norma, ia merasa sakit di ulu hati dan meminta pulang. Setiba di rumah, ia pingsan dan harus dirawat di rumah sakit. Sejak saat itu kesehatannya terus menurun.
Sementara itu, Sumiati (65) menceritakan, ia bekerja sejak 2007. Pada pertengahan 2016, ia juga jatuh pingsan di tempat kerja dan harus beristirahat selama dua bulan lebih. Selama pengobatan, tidak ada bantuan kesehatan yang ia peroleh dari perusahaan.
Saat merasa sembuh dan kembali ke perusahaan, ia ditolak dengan alasan telah berusia lanjut. Sebelum jatuh pingsan itu, ia berusia 61 tahun, tetapi perusahaan tetap mempekerjakannya.
Kami hanya tuntut pesangon dan jaminan kesehatan selama kami bekerja.
”Makanya, kami saat ini bersurat ke hakim agar kami diberikan keadilan. Kami juga bikin surat untuk Presiden Jokowi biar ada perhatian bagi kami. Kami hanya tuntut pesangon dan jaminan kesehatan selama kami bekerja,” ucap nenek enam cicit ini.
Ketiga nenek ini memang telah melayangkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial Kendari sejak Juli lalu. Mereka menunggu putusan pengadilan yang menurut rencana dilangsungkan pada Kamis (22/10/2020).
Surat yang mereka buat ditujukan kepada hakim di pengadilan dan Presiden. Presiden dijadwalkan hadir di Kendari besok dalam rangka peresmian jembatan dan sejumlah proyek lainnya di Sultra. Surat tersebut berisi permohonan agar hakim memberi putusan seadil-adilnya dan Presiden memberi perhatian pada kasus yang mereka hadapi.
Kompas mencoba menghubungi nomor telepon perusahaan, tetapi tidak lagi aktif. Seorang perwakilan perusahaan yang dihubungi juga tidak bersedia memberikan komentar.
Mutmainnah, Koordinator Organisasi Perempuan Pesisir, lembaga yang mengadvokasi kasus ketiga nenek itu, menceritakan, kasus ini telah berjalan sejak akhir 2019. Mereka sempat melaporkan hal ini ke Disnakertrans Sultra dan sempat dilakukan mediasi dengan pihak PT KML.
Saat itu, tutur Mutmainnah, perusahaan dianggap melanggar karena tidak membuat kontrak kerja, menggaji ketiganya di bawah UMR, tidak memberikan pesangon, serta tidak memberikan jaminan kesehatan. Akan tetapi, perusahaan menolak membayarkan tuntutan, yaitu pesangon dan jaminan kesehatan.
”Mereka itu juga dibayar hanya dengan catatan di atas selembar kertas. Akhirnya, karena tidak sepakat, kasus ini diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial Kendari sejak Juli lalu, dan besok putusan sidang. Perusahaan sangat kejam. Seorang pekerja yang menjadi saksi tiba-tiba diberhentikan juga secara sepihak dengan alasan tidak masuk kerja,” ujar Mutmainnah.
Kasus ini, Mutmainnah menambahkan, menunjukkan masih adanya eksploitasi pekerja. Perusahaan mempekerjakan seseorang tanpa kontrak, tidak terdaftar di pemerintah, tidak memberikan jaminan kesehatan, tanpa jaminan kerja, hingga memutus kerja sepihak tanpa pesangon. Hal tersebut berarti melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diatur sebelumnya.
Pola seperti ini, ia melanjutkan, ditemukan di beberapa perusahaan yang berbeda di kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera. ”Namun, pekerja masih takut untuk melaporkan karena tekanan dari perusahaan. Pemerintah seharusnya melihat hal ini dan memberikan sanksi bagi perusahaan tersebut,” ujarnya.
Kepala Bidang Pembinaan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Disnakertrans Sultra Muhammad Amir Taslim menjelaskan, semua perusahaan wajib memberikan kepastian kontrak kepada pekerja, baik itu pekerja harian lepas, pekerja kontrak, maupun karyawan. Bagi perusahaan yang tidak melakukan hal ini, melanggar aturan yang berlaku, khususnya UU Ketenagakerjaan No 13/2003. Perusahaan juga hanya boleh mempekerjakan orang hingga umur 57 tahun.
”Kalau perusahaan tidak memberi kepastian, apalagi selama bertahun-tahun, itu artinya memang perusahaan melakukan pelanggaran. Namun, karena sekarang sudah berproses di pengadilan, kami serahkan semua ke majelis hakim,” ucapnya.