Dicari, Penakluk ”Gunung Sampah” Manado
Pengelolaan sampah menjadi salah satu isu besar yang dihadapi para calon wali kota Manado.
Tempat pembuangan akhir Sumompo seluas 13,7 hektar di Manado hanyalah seperdelapan dari Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat. Namun, Sumompo yang kecil itu cukup untuk menjadikan Manado salah satu kota paling kotor di Indonesia.
Gunungan sampah di TPA Sumompo setiap hari terus meninggi. Beragam jenis sampah, mulai dari plastik hingga sisa makanan, ditumpuk jadi satu hingga busuk. Aroma tak sedap menyebar, bahkan semakin kuat sehabis hujan turun.
Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Limbah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Manado Franky Porawouw mengatakan, setiap hari TPA Sumompo menampung 450 ton sampah yang dibuang warga Manado. Dua tahun lalu, timbunan sampah sekitar 409,7 ton per hari pada 2018. ”Kalau Natal dan Tahun Baru bisa sampai 800 ton sehari,” ujarnya, Jumat (18/9/2020).
Manado yang luasnya 15.726 hektar dihuni 433.635 warga. Namun, jumlah orang yang yang beraktivitas di Manado dalam sehari berkisar 500.000- 600.000 jiwa. Produksi sampah hampir dipastikan bertambah karena kecil kemungkinan warga dari luar daerah, yang beraktivitas di Manado, membawa pulang sampah mereka.
Baca juga: Pembangunan Manado Marina Bay Tak Ada Kemajuan Setelah Resmi Dimulai Enam Bulan Lalu
Beban sampah Manado berat karena kehidupan kota yang konsumtif. Perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor adalah sektor terbesar kedua dengan sumbangan Rp 6,89 triliun (18,43 persen) pada produk domestik regional bruto (PDRB), sedikit di bawah transportasi dan pergudangan yang bernilai Rp 7,37 triliun.
Pada saat yang sama, pariwisata Manado juga terus berkembang. Sektor akomodasi dan makan minum tumbuh 40,14 persen selama 2015-2019, yaitu dari Rp 1,41 triliun menjadi Rp 1,97 triliun. Ada sedikitnya 5.000 kamar hotel di Manado yang sepanjang 2019 menampung mayoritas dari 129.587 wisatawan mancanegara.
Beban sampah Manado berat karena kehidupan kota yang konsumtif.
Sampah pun terus tertimbun. Kepala Seksi TPA DLH Manado Carlos Mawuntu mengatakan, 62 truk sampah hilir mudik setiap hari dari 11 kecamatan menuju TPA Sumompo. ”Kecamatan Wenang dan Sario punya armada paling banyak karena di situlah pusat bisnis dan kuliner, jadi sampahnya juga paling banyak,” katanya.
Enam tahun terakhir, TPA Sumompo kehilangan kapasitasnya untuk menampung sampah. Metode sanitary landfill tak lagi diterapkan. Alhasil, Manado masuk jajaran 10 kota terkotor di Indonesia versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan penilaian Adipura 2019.
Kini, sampah di Sumompo dibiarkan menggunung di ruang terbuka (open dumping). Pola ini tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Dampak pandemi
Pandemi Covid-19 paling tidak memberi waktu bernapas bagi lingkungan hidup Manado. Menurut Carlos, beban sampah di TPA Sumompo berkurang menjadi 350-400 ton per hari karena banyak kegiatan bisnis yang terhenti.
Namun, pandemi juga membawa petaka bagi tata kelola persampahan Manado. Pemangkasan anggaran menyebabkan empat insinerator sampah umum di empat kecamatan dan satu insinerator khusus sampah medis tidak dapat dioperasikan.
Franky mengatakan, satu insinerator membutuhkan 500 liter bahan bakar minyak untuk beroperasi setiap hari. Kelimanya dapat mengurangi beban TPA Sumompo hingga 175 ton. Celakanya, tidak ada alokasi dana untuk membeli bahan bakar berdasarkan APBD Perubahan karena difokuskan untuk penanganan pandemi.
Berbagai pihak menilai insinerator tidak efektif. Satu insinerator di Kecamatan Singkil masih rusak sampai sekarang. Lima insinerator bernilai Rp 11,5 miliar itu bahkan diduga menjadi ladang korupsi dan tengah diselidiki Kejaksaan Negeri Manado. Padahal, insinerator diharapkan menyelesaikan sampah di kecamatan sehingga tidak semua berakhir di TPA Sumompo.
Sejak 2018, pengelolaan sampah diserahkan ke kecamatan sesuai Peraturan Wali Kota Nomor 33 Tahun 2018. Kecamatan menerima iuran dari warga serta membayar upah buruh pengangkut dan pengolah sampah.
Namun, para buruh yang mengoperasikan sekitar 450 sepeda motor bak dan truk sampah sering mengeluh karena hak mereka, honor Rp 100.000 per hari, kerap telat dibayarkan. Pandemi yang memicu APBD-P seolah memperparah penyakit ”telat bayar” yang menjangkiti bertahun-tahun.
Kolaborasi
Sejumlah pegiat lingkungan berpandangan, masalah sampah dapat diatasi dengan kolaborasi antara pemerintah kota, aktivis, pengusaha, dan warga. Pendidikan bagi warga akan pentingnya mengelola sampah pun harus berkesinambungan.
Bagi Daniel Wurangian, pendiri Kamira, perusahaan rintisan pengolah sampah plastik, pemerintah kota belum melihat sampah sebagai sumber daya bernilai ekonomi. Kebijakan pengelolaan sampah dinilai masih bersifat kuratif, tidak preventif, dan edukatif.
”Bank sampah sudah ada, tetapi banyak yang sebentar saja mati. Ini karena program tidak disertai edukasi berkelanjutan untuk mendorong keterlibatan warga. Penjemputan sampah juga tidak tersistem dengan baik, tidak tersedia sistem pelaporan digital,” ujarnya.
Oleh karena itu, Manado membutuhkan wali kota yang membuat kebijakan pengelolaan sampah secara bottom-up, melibatkan masyarakat secara aktif, serta bekerja sama dengan produsen sampah dan komunitas pencipta inovasi.
Billy Najoan, aktivis muda lingkungan dari Seasoldier Sulut, mengatakan, pemerintah kota perlu melibatkan komunitas anak muda aktivis lingkungan. Untuk mengatasi masalah sampah, Manado butuh wali kota yang memahami semangat dan kreativitas anak muda.
Bank sampah sudah ada, tetapi banyak yang sebentar saja mati. Ini karena program tidak disertai edukasi berkelanjutan untuk mendorong keterlibatan warga. Penjemputan sampah juga tidak tersistem dengan baik, tidak tersedia sistem pelaporan digital. (Daniel Wurangin)
Denny Taroreh, aktivis lingkungan dari lembaga swadaya masyarakat Talun Kentur, mengatakan, pemimpin mendatang harus konsisten mengedukasi warga untuk memilah sampah dari rumah. Hal itu karena perubahan perilaku butuh waktu 20-25 tahun.
Kolaborasi pun jadi kunci keberhasilan. Menurut Denny, wali kota terpilih dapat memaksimalkan peran aktivis lingkungan dalam edukasi, sedangkan pihak swasta diikutsertakan dalam menciptakan inovasi sekaligus diawasi kepatuhannya terhadap peraturan.
Pilkada
Masalah sampah menjadi sorotan empat pasang calon wali kota dan wakil wali kota yang akan bertarung dalam Pilkada 2020. Mereka adalah Andrei Angouw-Richard Sualang, Sonya Kembuan-Syarifudin Saafa, Mor Bastiaan-Hanny Pajouw, dan Paulina Runtuwene-Harley Mangindaan.
Andrei-Richard menjanjikan pengelolaan sampah yang baik dan profesional. Masyarakat akan dilibatkan dalam metode 6R (redesign, remove, recycle, reuse, reduce, recover) yang fokus mengurangi volume sampah plastik. Penggunaan insinerator akan ditinjau kembali karena dikhawatirkan mencemari udara dan berbahaya bagi kesehatan warga.
Sonya-Syarifudin menjanjikan pengolahan sampah secara modern. Syarifudin menyatakan infrastruktur kota perlu diperbaiki. Masalah sampah pun akan jadi salah satu prioritas.
Adapun Mor-Hanny akan menyusun studi kelayakan rencana induk sistem pengolahan sampah terpadu dan perencanaan rinci teknis tempat pembuangan sampah sementara yang modern. Sistem ini juga akan diintegrasikan dengan TPA Regional Wori.
Paulina-Harley bertekad menjadikan Manado sehat melalui budaya bersih di tingkat rumah tangga dengan dekomoster, kelurahan dengan bank sampah, dan kecamatan dengan insinerator. Kebijakan ini sudah eksis pada kepemimpinan Wali Kota Manado Vicky Lumentut, suami dari Paulina.
Saat pemungutan suara pilkada pada 9 Desember 2020, 327.739 pemilik hak suara akan memilih pemimpin serta menentukan nasib Manado dan pergulatannya dengan problem sampah.
Baca juga: Harga Cengkeh Sulut Kian Anjlok Meski Pajak Telah Dipangkas