Aksi Kedua Mahasiswa di Kalteng, Memburuknya Nasib Buruh Disoal
RUU Cipta Kerja ditolak di berbagai daerah. Dengan ragam draf yang keluar, mahasiswa di Kalteng menilai anggota DPR RI tidak konsisten dan tertutup.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ratusan mahasiswa dari berbagai universitas dan organisasi kembali menggelar aksi menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka menilai tiga versi draf RUU Cipta Kerja merupakan bentuk ketidakkonsistenan anggota Dewan dan awal dari kehancuran nasib buruh.
Ratusan mahasiswa berkumpul di Bundaran Besar Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (15/10/2020). Mereka berjalan dari lokasi tersebut menuju lokasi utama demonstrasi di depan Gedung DPRD Provinsi Kalteng.
Mereka dijaga ketat aparat kepolisian dari Polda Kalteng dan Polresta Palangkaraya. Para peserta aksi membawa spanduk, bendera, dan beberapa peralatan aksi lainnya.
Mereka mulai berorasi, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel berisi satire. Mereka mendesak anggota DPRD Provinsi Kalteng keluar dari gedung dan menyatakan sikapnya tentang omnibus law.
Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangkaraya Egi Praginanta mengungkapkan, draf RUU Cipta Kerja dibuat tiga versi yang semuanya dilakukan secara tertutup. Banyak anggota DPR RI yang menolak ikut serta dalam proses pembahasan hingga draf terakhir yang berisi 812 halaman.
”Banyak substansi yang berubah, mulai dari persoalan lingkungan hingga nasib buruh. Sayang sekali nasib buruh ditentukan oleh mereka yang tidak pernah merasakan menjadi buruh kasar di pasar, di kebun sawit, dan ladang tambang,” kata Egi.
Egi menilai, hingga draf terakhir, RUU Cipta Kerja masih hanya menguntungkan para investor. Hal ini akan berdampak pada hilangnya sumber daya alam di Indonesia yang saat ini sudah dalam keadaan buruk.
”Kalimantan Tengah akan menjadi salah satu wilayah yang akan terdampak, mulai dari bencana hingga konflik antara masyarakat adat,” kata Egi.
UU Cipta Kerja mendorong penyederhanaan atas perizinan, persyaratan investasi, dan mempermudah pengelolaan kawasan hutan bagi pemodal besar.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono. Dia menilai UU Cipta Kerja mendorong penyederhanaan atas perizinan, persyaratan investasi, dan mempermudah pengelolaan kawasan hutan bagi pemodal besar. Hal itu akan berdampak pada maraknya konflik agraria atau perebutan lahan antara pengusaha dan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
”Kebijakan ini akan memperburuk nasib masyarakat adat yang selama ini sudah mengalami kesulitan hanya untuk diakui juga mengelola lahannya,” kata Dimas.
Menurut Dimas, ketika konflik muncul, masyarakat adat pun selalu menjadi korban, mulai dari dikriminalisasi hingga diintimidasi. ”Negara masih sangat sulit mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya, tetapi dengan mudah mengobral tanah untuk investasi yang masif merusak lingkungan. Ini tidak adil,” tuturnya.
Ketua Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies atau Lembaga Penelitian dan Pelatihan terkait Lingkungan dan HAM (Progress) Kartika Sari mengungkapkan, pihaknya masih menemukan buruh harian lepas (BHL) yang diupah Rp 84.000 per hari, seperti di Kabupaten Seruyan. Padahal, mereka sudah bekerja bertahun-tahun.
”Ada yang di-PHK sepihak, buruh tanpa jaminan kesehatan. Belum lagi persoalan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Kondisi yang sudah buruk ini akan jauh lebih buruk lagi karena kebijakan tersebut,” kata Kartika.
Kartika mengungkapkan, Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law akan semakin menguatkan perusahaan dalam perlakuan buruk terhadap buruh. ”Dengan disahkannya UU ini, kondisi buruh kebun akan semakin membenarkan sikap perusahaan yang memperlakukan buruh harian dengan buruk,” katanya.