Mengembalikan Muruah ”Paris van Sumatera” Medan
Sejak abad 19, Kota Medan di Sumatera Utara demikian tersohor dan maju hingga memperoleh julukan ”Paris van Sumatera”. Namun, muruah Medan tercoreng dengan adanya kasus korupsi yang mendera tiga wali kotanya.
Sejak abad 19, Kota Medan di Sumatera Utara demikian tersohor dan maju hingga memperoleh julukan ”Paris van Sumatera”. Namun, muruah Medan tercoreng dengan adanya kasus korupsi yang mendera tiga wali kotanya.
Tiga kali berturut-turut, Wali Kota Medan tersandung korupsi. Kondisi itu menyebabkan pembangunan di Medan tersendat dalam 15 tahun terakhir. Medan pun tertinggal dibandingkan dengan kota-kota besar di Tanah Air.
”Kadang saya malu dengan kondisi Medan ini,” tutur Isnen Fitri, dosen Jurusan Arsitektur, Universitas Sumatera Utara, Minggu (11/10/2020).
Medan, pusat perekonomian Indonesia bagian barat yang multikultur itu, masih didera banyak masalah klasik kota. Mulai dari banjir, kemacetan lalu lintas, pengelolaan sampah, serta minimnya ruang publik.
Medan juga didera kemiskinan dan pengangguran. Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada 2019, angka kemiskinan di Medan mencapai 8,25 persen, tertinggi di Sumut. Sementara penganggur terbuka 8,53 persen atau 94.165 orang. Angka itu menduduki posisi kedua setelah Pematang Siantar.
Baca juga: Korupsi dan Ancaman Apatisme Warga Medan
Angka itu berkorelasi dengan kondisi di lapangan. Pengemis kian mudah ditemukan di persimpangan jalan. Anak-anak muda remaja mengetuk pintu jendela kendaraan minta uang.
Pusat ekonomi
Bertransformasi dari rawa-rawa menjadi layaknya kota di Eropa setelah masuknya investasi perkebunan tembakau pada abad-19, Medan mendapat julukan ”Paris van Sumatera” selain juga sebutan Dollarland.
Sudut-sudut Kota Medan asri penuh pohon besar, teduh dan rindang. Gedung-gedung megah berarsitektur Eropa dengan cat putih berdiri di tengah kota. Alun-alun kota, yang disebut esplanade, kini menjadi Lapangan Merdeka, lapang, ditumbuhi rumput dikelilingi pohon trembesi. Alun-alun itu menjadi ajang interaksi warga.
Warung kopi tempat warga bersua ada di sudut-sudut kota. Jejak itu kini masih terlihat meski banyak bangunan tua perlahan sirna dan Lapangan Merdeka tertutup bangunan.
Investasi besar sejak abad 19 itu telah membuat Medan menjadi metropolitan. Sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan di Sumut, Medan memiliki anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) hampir separuh APBD Sumut. APBD Medan pada 2019 mencapai Rp 5,2 triliun, meningkat menjadi Rp 6,18 triliun pada 2020. Adapun APBD Sumut 2020 mencapai Rp 14,08 triliun.
Meski APBD Medan relatif besar, tetapi alokasi belanja pegawai masih dominan, mencapai Rp 2,3 triliun. Sementara serapan anggaran pada 2012-2019 berkisar 74 persen hingga 82 persen.
Sebagai kota jasa, wisata, dan industri, pendapatan asli daerah (PAD) Medan pada 2018 sebesar Rp 1,69 triliun, meningkat menjadi Rp 1,82 triliun pada 2019. Adapun target PAD 2020 mencapai Rp 2,1 triliun.
Dengan luas wilayah 265,10 kilometer persegi, Medan memiliki 229 hotel (BPS 2018). Sebanyak 62 di antaranya hotel berbintang. Jumlah restorannya mencapai 1.141. Jumlah itu masih terus bertambah.
Adapun dana masyarakat yang tersimpan dalam bentuk giro, simpanan berjangka, dan tabungan, pada Desember 2018 mencapai Rp 149 triliun. Perputaran uang yang besar itu tak lepas dari banyaknya warga yang kreatif berusaha. Sekitar 10 persen dari 2,2 juta penduduk Medan merupakan wirausahawan. Kaum berada dari Sumut, Aceh, dan Riau belum merasa puas jika belum memiliki kediaman dan bahkan bisnis di Medan.
Baca juga: Gandrung Hunian Vertikal di Kota Medan
Dari gambaran itu, tidak keliru jika Medan menjadi salah satu pusat perekonomian di Tanah Air. Anggaran pemerintah dan dana masyarakat yang berputar itu berpotensi menyejahterakan warga.
Anggaran pemerintah dan dana masyarakat yang berputar itu berpotensi menyejahterakan warga.
Ironisnya, potensi besar itu belum terkelola secara optimal karena tiga wali kota Medan justru terjerat korupsi. Mulai dari Abdillah (Wali Kota Medan periode 2000-2008), Rahudman Harahap (Wali Kota Medan 2010-2013), hingga Tengku Dzulmi Eldin (Wali Kota Medan 2013-2015, 2016-2019). Wajar jika Medan masuk dalam pengawasan Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK.
Dua kandidat
Kekuatan besar perekonomian Medan, berikut problem kota yang melingkupinya, bakal menjadi tantangan bagi dua kandidat wali kota yang bersaing dalam Pilkada 2020.
Dari 10 partai yang memiliki kursi di DPRD Medan, delapan di antaranya yakni PDI-P, Golkar, Hanura, PPP, Gerinda, Nasdem, PSI, dan PAN (total 39 kursi) mengusung milenial menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Afif Nasution. Ia berpasangan dengan politisi Gerindra, anggota DPRD Medan, Aulia Rachman.
Dua partai lagi, yakni Demokrat dan PKS (total 11 kursi), mengusung Akhyar Nasution, Wakil Wali Kota Medan yang pada saat-saat terakhir masa jabatan menjadi wali kota menggantikan pendahulunya yang tersandung korupsi. Ia berpasangan dengan politisi PKS, anggota DPRD Sumut, Salman Alfarisi.
Pengusungan kedua kandidat oleh partai-partai di Medan sempat membuat suasana menghangat, khususnya di tubuh PDI-P. Akhyar yang merupakan kader PDI-P dan petahana wali kota, terdepak dan menyeberang ke Demokrat agar bisa mencalonkan diri. Hal itu terjadi karena rekomendasi PDI-P jatuh ke Bobby yang sejak awal menggalang dukungan ke semua partai.
Terlepas dari dinamika itu, ahli hukum tata negara Universitas Sumatera Utara Mirza Nasution berpendapat, aneka irisan yang terjadi pada masyarakat membuat pilkada Medan selalu dinamis. Ada irisan profesi, keluarga, ketokohan, kultural, religi, dan utamanya ekonomi berikut harapan akan masa depan yang lebih baik. Semua irisan itu memengaruhi pilihan dalam pilkada.
Munculnya dua kandidat bermarga Nasution, misalnya, diakuinya membuat suara Nasution terbelah pada kandidat senior dan anak muda. Kandidat dalam satu marga dimungkinkan terjadi karena kultur terbuka dan demokratis pada masyarakat Tapanuli Selatan. Meskipun demikian, orang akan mencari irisan-irisan terdekat dengan kandidat untuk menentukan pilihannya.
Berkaca dari kasus korupsi tiga wali kota sebelumnya, menurut Mirza, Medan membutuhkan pemimpin yang kuat sekaligus mengayomi. Kuat karena secara tak terlihat ada banyak ”ketua-ketua”, sebutan untuk pemimpin informal di Medan yang memengaruhi dinamika kota. Di antaranya pemimpin wilayah parkir, ekonomi, hingga urusan politik.
Pada pemungutan suara Pilkada 9 Desember nanti, perebutan 1,6 juta suara pemilih diperkirakan akan berlangsung ketat di tengah pandemi Covid-19 yang membuat Medan menjadi episentrum penularan di Sumut. Tantangan lain, sejarah korupsi di Medan memunculkan apatisme warga pada pilkada.
Baca juga: Bakal Calon di Pilkada Medan Nyatakan Siap Ikuti Pilkada dengan Protokol Covid-19
KPU mencatat angka partisipasi pemilihan wali kota sebelum ada kasus korupsi mencapai 57,7 persen pemilih. Setelah itu merosot menjadi 38,2 persen, lalu merosot lagi menjadi 25,58 persen. Namun, KPU Kota Medan optimistis, partisipasi pemilih tetap tinggi karena angka partisipasi pemilu di Medan tergolong tinggi. Pada Pemilu 2004, partisipasi pemilih 78,21 persen dan pada pemilu 2019 mencapai 73,67 persen.
Harapan besar disandarkan publik pada wali kota yang akan memimpin Medan dalam lima tahun ke depan. Kandidat yang terpilih tidak boleh jatuh lagi dalam korupsi, tetapi harus kembali menegakkan nama baik ”Paris van Sumatera”.