Aspirasi Penolakan Disampaikan ke Pemerintah Pusat, Unjuk Rasa Diharapkan Dilakukan dengan Damai
DPRD Sumatera Utara menyatakan telah menyampaikan aspirasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja kepada DPR dan pemerintah pusat. Unjuk rasa di Sumut diharapkan tidak dilakukan dengan perusakan fasilitas publik.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara menyatakan telah menyampaikan aspirasi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kepada DPR dan pemerintah pusat. Unjuk rasa di Sumatera Utara diharapkan tidak sampai merusak fasilitas publik. Sampai hari ini, 243 pengunjuk rasa ditangkap polisi dan tiga di antaranya ditetapkan menjadi tersangka.
”Kami telah menyampaikan aspirasi penolakan (pengesahan) RUU Cipta Kerja ke pemerintah pusat dan DPR. Kami meminta unjuk rasa ke depan dilakukan dengan damai karena perusakan fasilitas publik hanya akan merugikan masyarakat juga,” kata Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting, Sabtu (10/10/2020).
Baskami mengatakan, mereka mengapresiasi unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan secara damai pada Jumat. Namun, sehari sebelumnya, unjuk rasa yang dilakukan ribuan mahasiswa, pelajar, dan buruh berakhir ricuh. Pendemo melempari Gedung DPRD Sumut, Gedung DPRD Medan, dan sejumlah toko hingga rusak. Beberapa mobil dinas kepolisian juga dirusak pengunjuk rasa.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, mereka menangkap 243 pengunjuk rasa. Sebanyak tiga orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka perusakan mobil dinas kepolisian. Mereka juga kedapatan membawa kelewang saat berunjuk rasa. ”Selain ketiga tersangka, pengunjuk rasa lainnya akan diberikan pembinaan,” kata Tatan.
Tatan mengatakan, pengunjuk rasa yang ditangkap terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan anak di bawah umur. ”Kami akan memanggil orangtua mereka untuk membuat perjanjian agar tidak mengulangi lagi aksi perusakan gedung,” katanya.
Koordinator Wilayah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sumut Gito Pardede mengatakan, mereka meminta agar pemerintah dan DPR tidak hanya membahas tentang aksi yang berujung ricuh, tetapi melupakan substansi unjuk rasa, yakni penolakan pengusahan RUU Cipta Kerja. ”Harus diingat, unjuk rasa ini dilakukan karena RUU Cipta Kerja bermasalah secara prosedur dan substansi,” katanya.
Gito mengatakan, pemerintah dan DPR juga harus melihat dengan jernih bahwa penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja tidak hanya dilakukan dengan aksi yang berakhir ricuh. Banyak kelompok mahasiswa yang berunjuk rasa dengan damai. ”Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan unjuk rasa damai di Medan,” kata Gito.
Gito mengatakan, pengesahan RUU Cipta Kerja mencederai rasa keadilan rakyat kecil, petani, dan pekerja. Aturan itu memangkas hak para pekerja, seperti hak pesangon, sistem kontrak kerja, hari kerja, dan cuti. UU ini juga dinilai bertentangan dengan semangat reformasi karena mengembalikan sejumlah kekuasaan ke tangan pemerintah pusat.
Gito mengatakan, secara prosedur, RUU Cipta Kerja sangat minim konsultasi publik. Padahal, RUU itu merevisi dan menggabungkan lebih dari 70 UU ke dalam satu UU dengan metode omnibus law. ”UU ini mengubah sistem hukum Indonesia dengan sangat mendasar, tetapi dilakukan dengan terburu-buru tanpa menyerap aspirasi masyarakat,” kata Gito.
UU ini mengubah sistem hukum Indonesia dengan sangat mendasar, tetapi dilakukan dengan terburu-buru tanpa menyerap aspirasi masyarakat.
Menurut Gito, gelombang unjuk rasa yang terjadi di banyak daerah menunjukkan ada aspirasi publik yang mandek. Ia juga menyesalkan pernyataan pemerintah yang selalu meminta agar UU Cipta Kerja diuji materi di Mahkamah Konstitusi. ”Penyerapan aspirasi seharusnya dikedepankan dibandingkan menantang rakyat bersengketa di MK,” katanya.