Mahasiswa di Manado Gelar Aksi Tolak UU Cipta Kerja, Buruh Tahan Diri
Mahasiswa beberapa perguran tinggi di Manado menggelar aksi penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di tengah ketiadaan aksi serikat buruh, Aksi akan berlanjut sampai UU itu dicabut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara, menggelar aksi penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020), di tengah ketiadaan aksi serikat buruh. Massa yang mengatasnamakan Aliansi Sulawesi Utara Bergerak itu menyatakan akan melanjutkan aksi dengan massa yang lebih besar sampai UU Cipta Kerja dicabut.
Unjuk rasa digelar di taman patung Wolter Mongisidi, Jalan Wolter Mongisidi, sejak sekitar pukul 10.00 Wita. Sekitar 70 mahasiswa yang berkumpul berasal dari berbagai organisasi, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Cakrawala Mahasiswa Manado, dan Lembaga Bantuan Hukum Manado.
Kepolisian Resor Kota Manado mengerahkan lebih dari 50 personel. Mahasiswa mengklaim polisi menutupi spanduk dan aksi mereka dengan menjajarkan personel serta mobil pengurai massa di depan mereka, juga melarang pengendara melihat aksi. Suara mahasiswa yang diperdengarkan dengan megafon juga kalah dari pengeras suara mobil pengurai massa.
Bentrokan pun terjadi ketika para mahasiswa memaksakan diri maju menggencet polisi yang berjaga di antara area taman dan jalan raya. Kendati demikian, tidak ada yang terluka dalam aksi ini. Unjuk rasa berakhir sekitar pukul 13.00 Wita setelah upaya mahasiswa bernegosiasi untuk melanjutkan aksi ke tempat lain ditolak polisi dengan alasan mencegah Covid-19.
Alpianus Tempongbuka (22), perwakilan LMND yang mengomandoi aksi yang mengatasnamakan Aliansi Sulawesi Utara Bergerak itu, mengatakan, aksi ini adalah respons dari ketergesaan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Mereka juga merasa dibohongi karena pengesahan dilakukan lebih cepat, yaitu Senin (5/10) malam.
”Omnibus law ini hanya menguntungkan para pengusaha dan malah merugikan rakyat. Karena itu, kami menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintah,” kata Alpianus.
Beberapa penolakan diserukan dalam aksi tersebut, seperti kemungkinan perusahaan menetapkan sistem kontrak terhadap buruh lebih dari tiga tahun, pengurangan kewajiban pemberian pesangon, serta penetapan besaran upah dalam satuan waktu. Kemungkinan kerusakan lingkungan sebagai konsekuensi dari UU ini juga diserukan.
Kami rasa, ada diskriminasi yang sedang terjadi karena proses pilkada dibiarkan berlangsung sekalipun risiko Covid-19 sama besar.
Tidak ada asosiasi perburuhan yang ikut dalam aksi itu meskipun 32 organisasi buruh menyatakan akan mogok kerja selama Selasa-Kamis (6-8/10). Alpianus mengatakan, hal ini disebabkan oleh diterbitkannya telegram Kapolri untuk melarang para buruh menggelar aksi.
Pada saat yang sama, Alpianus juga menuduh kepolisian menggunakan dalih jaga jarak sosial untuk mempersempit ruang-ruang demokrasi. Pada saat yang sama, acara seperti Pilkada 2020 dibiarkan berlanjut.
”Padahal, kami sudah berupaya mengikuti protokol kesehatan, seperti mengenakan masker. Tapi di lapangan kami malah direpresi oleh aparat keamanan. Kami rasa, ada diskriminasi yang sedang terjadi karena proses pilkada dibiarkan berlangsung sekalipun risiko Covid-19 sama besar,” kata Alpianus.
Satriano Pangkey (22) dari divisi hubungan masyarakat aliansi itu mengatakan pihaknya akan berkonsolidasi lagi dengan perwakilan buruh dan petani. Aksi pada Selasa siang itu hanyalah aksi awalan untuk menggalang kesadaran masyarakat tentang dampak buruk dari UU Cipta Kerja bagi masyarakat luas. ”Kami akan datang lagi dengan massa yang lebih besar. Kami akan terus menggelar aksi sampai UU Cipta Kerja ini dicabut,” ujarnya.
Kepala Bagian Operasi Polres Manado Komisaris Alkat Karouw mengatakan, bentrokan dalam unjuk rasa adalah hal biasa dalam dinamika penanganan massa. Itu terjadi karena para mahasiswa berusaha mendorong polisi ke tengah jalan. ”Ini massa pertama yang kami tangani sejak UU Cipta Kerja disahkan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Sulut Lucky Sanger mengatakan, para buruh di dalam organisasinya tidak menggelar aksi massa karena dua alasan. Pertama, risiko penularan Covid-19 masih sangat besar di Sulut. Kedua, Sulut akan menyambut Pilkada 2020. Aksi massa dikhawatirkan dapat berujung dimanfaatkan para calon kepala daerah.
Karena itu, para koordinator wilayah KSBSI Sulut akan menyampaikan sendiri aspirasi kepada DPRD Sulut pada Rabu (7/10). Hal ini sesuai arahan pengurus pusat KSBSI, yaitu menyampaikan aspirasi sendiri kepada DPRD setiap daerah. ”Instruksi ikut demonstrasi massal sudah dicabut,” kata Lucky.
Menurut Lucky, cara yang dapat ditempuh saat ini adalah mengajukan peninjauan kembali terhadap UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Beberapa poin di kluster ketenagakerjaan harus diganti, seperti terkait buruh alih daya, masa berlaku perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan sebagainya.
”UU ini akan merugikan para buruh dan serikatnya. DPR mengambil langkah keliru dan sepihak. Seharusnya mereka mendengarkan dan melibatkan serikat buruh,” kata Lucky.
Adapun Sekretaris Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Sulut Hardy Sembung menyatakan tetap menolak omnibus law serta mendukung aksi nasional mogok kerja selama tiga hari. Namun, pihaknya tetap tidak melaksanakan mogok massal karena alasan yang sama dengan KSBSI Sulut.
”Kami sudah berbincang dengan pejabat sementara gubernur, Kapolda Sulut, dan kapolres. Kami sepakat untuk tidak menggelar aksi. Tapi, kami tetap menolak omnibus law yang sekarang. Kami sudah mengajukan sembilan tuntutan, kabarnya sebagian telah dipenuhi. Tapi kami akan mengambil langkah hukum dan mendukung aksi di daerah jika tuntutan itu ternyata tidak dikabulkan,” kata Hardy.