Tidak Bisa ke Luar Negeri, Tertatih di Negeri Sendiri
Pekerja migran Indonesia terancam kehilangan statusnya. Pahlawan devisa ini tidak bisa mencari nafkah di luar negeri akibat pandemi Covid-19. Di dalam negeri, virus korona baru dan jeratan kemiskinan mengintai.
Pekerja migran Indonesia terancam kehilangan statusnya. Pahlawan devisa ini tidak bisa mencari nafkah di luar negeri akibat pandemi Covid-19. Di dalam negeri, virus korona baru dan jeratan kemiskinan mengintai.
Nurhayati (37) dan Marina (35) rela duduk berjam-jam mengikuti orientasi pra-penempatan (OPP) di Layanan Terpadu Satu Atap Pekerja Migran Indonesia di Cirebon, Jawa Barat, Kamis (3/9/2020). Calon PMI itu dibekali materi, pengelolaan keuangan, modus perdagangan orang, hingga penyelundupan narkoba.
”Ini apa, ibu-ibu?” tanya seorang pemateri sambil menunjuk foto narkotika jenis sabu. ”Gula, eh, terigu,” jawab Marina. Keduanya mengaku belum pernah menyentuh barang tersebut.
”Pernah ramai ada yang fly (melayang) karena rebusan pembalut,” lanjut pemateri. ”Pantesan, harga pembalut naik dari Rp 1.000 sampai Rp 2.000,” celetuk Nurhayati, ibu dua anak asal Kota Cirebon. Tawa pun terdengar meski masker menutupi mulut ketiganya.
Baca juga: Orientasi Pra-penempatan Calon Pekerja Migran Indonesia
Kegiatan itu merupakan tahapan lanjutan setelah calon PMI memiliki kartu elektronik tenaga kerja luar negeri, visa, paspor, dan dokumen lainnya. OPP digelar oleh Unit Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Wilayah Bandung.
Bagi Nurhayati dan Marina, materi OPP sangat dibutuhkan untuk bekerja di negeri orang. Apalagi, selama tiga bulan di balai latihan kerja, mereka fokus belajar bahasa, bumbu, cara memasak, dan budaya di negara tujuan. Namun, berbagai tahap itu belum menjawab pertanyaan mereka.
”Saya sudah menunggu tujuh bulan untuk berangkat, tetapi belum ada kejelasan,” ucap Marina yang, menurut rencana, menjadi asisten rumah tangga di Hong Kong. Ia urung ke luar negeri karena negara tujuan sempat memberlakukan penguncian wilayah akibat pandemi Covid-19.
Apalagi, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan PMI sejak akhir Maret. Mulai 29 Juli, regulasi itu dicabut dengan Kepmenaker No 294/2020 tentang Pelaksanaan Penempatan PMI pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.
Akan tetapi, belum semua negara tujuan membuka wilayahnya untuk PMI. Untung saja, Hong Kong, negara calon majikan Nurhayati dan Marina, bersedia menerima mereka. Komunikasi via panggilan video dengan majikan pun sudah mereka lakukan.
”Di rumah majikan saya, ada empat pembantu. Kalau begini, saya bisa dikerjain dengan pembantu senior. Makanya, saya lebih suka kerja sendiri saja meski capek,” kata Marina yang pada 2005 sampai 2008 sempat ke Arab Saudi menjadi pekerja migran.
Akan tetapi, belum semua negara tujuan membuka wilayahnya untuk PMI. Untung saja, Hong Kong, negara calon majikan Nurhayati dan Marina, bersedia menerima mereka. Komunikasi via panggilan video dengan majikan pun sudah mereka lakukan.
”Saya, sih, sendiri saja ngurus jompo. Majikan saya juga orang Indonesia,” balas Nurhayati yang baru kali ini mendaftar sebagai PMI. Sebelum bertemu majikan, lanjutnya, mereka wajib karantina mandiri di hotel selama dua pekan. Biayanya ditanggung majikan.
Karantina diperlukan demi memastikan mereka tidak membawa virus korona baru. Tes usap tenggorokan juga diberlakukan sebelum naik pesawat. Perusahaan penyalur PMI menyediakan masker dan pelindung wajah masing-masing satu buah.
”Ada juga heni te tezer (hand sanitizer). Kalau di bandara, enggak boleh lepas masker. Takut kena korona,” kata Marina yang sudah membeli sabun untuk mencuci pakaian saat di Hong Kong. Pokoknya, mereka sudah siap berangkat meski tidak tahu kapan waktunya.
Berbulan-bulan menanti kepastian, duit tabungannya sudah mulai menyusut. Suaminya tidak punya pekerjaan tetap, kadang jual menir atau beras patah. Meskipun desanya di Gegesik merupakan lumbung padi, tak satu pun jengkal sawah adalah miliknya.
Sementara Marina mengandalkan jualan martabak dan minuman dingin es aneka rasa di rumahnya. Jika ramai, ia meraup Rp 70.000. ”Sekarang lebih banyak sepinya, Rp 50.000 per hari,” kata ibu dua anak ini, termasuk yang berumur 4 tahun.
Nurhayati juga mencoba peruntungan dengan jualan daring. Misalnya, membeli sepeda lipat, lalu dijual dengan untung sekitar Rp 100.000. Namun, usahanya tidak berjalan mulus. Ia kini mengandalkan gaji suaminya yang bekerja di pabrik ikan dan bantuan pemerintah sekitar Rp 300.000 per bulan.
Mereka berharap dapat segera ke Hong Kong untuk menyambung hidup. Gaji Rp 8,8 juta dapat ditabung untuk membeli rumah sehingga keduanya tidak lagi menumpang di tempat mertua. Mereka juga ingin mengirim uang sedikitnya Rp 1 juta per bulan selama dua tahun bekerja di sana. Tentu saja setelah membayar potongan gaji selama enam bulan.
Ketidakpastian berangkat ke negara tujuan membuat Ratna, PMI asal Kabupaten Indramayu, nekat ke Jakarta, zona merah penyebaran Covid-19. Sejak Agustus, orangtua tunggal ini bekerja di pabrik garmen di Ibu Kota.
Sebelumnya, Ratna yang baru enam bulan di Hong Kong mengajukan cuti karena anaknya yang berusia 5 tahun sakit di kampung. Pada 24 Maret, ia kembali ke Indramayu dan berencana terbang lagi ke negara tujuan, Juli. Namun, Covid-19 membatalkan rencananya.
”Majikan nanya terus, kapan balik? Saya nunggu tiket pesawat saja dari PT (perusahaan penyalur PMI),” kata Ratna yang sempat bekerja tiga tahun di Taiwan.
Baca juga: Perwakilan RI di AS Pulangkan Lebih dari 13.000 WNI Awak Kapal Pesiar
Ratna, Nurhayati, dan Marina hanya contoh kecil dari ribuan PMI yang keberangkatannya tertunda. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon mencatat, pada Januari-Maret 2020, sebanyak 1.985 orang mendaftar sebagai calon PMI. Sementara di Indramayu tercatat 1.974 orang yang belum berangkat.
”Sejak Maret sampai sekarang belum ada calon PMI yang mendaftar. Padahal, pemerintah sudah membuka penempatan PMI, tetapi hanya Taiwan dan Hong Kong,” kata Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Disnaketrans Kabupaten Cirebon Suharto.
Akibatnya, Suharto menilai, jumlah pengangguran di Cirebon diyakini naik akibat calon PMI yang belum bisa berangkat. Sebagai gambaran, tahun lalu, 9.931 warga Cirebon tercatat sebagai PMI. Artinya, dalam sebulan, rata-rata 827 orang punya kepastian bekerja sebagai PMI.
Kini, sebagian besar PMI yang belum bisa berangkat menjelma sebagai penganggur. Jumlah pengangguran pun bisa lebih besar dari tahun lalu, yakni 99.033 orang. Terlebih lagi, sejumlah negara tujuan, seperti Malaysia, malah menutup pintu untuk warga Indonesia. Penyebaran Covid-19 yang belum terkendali di Tanah Air menjadi pemicunya.
Kini, sebagian besar PMI yang belum bisa berangkat menjelma menjadi penganggur. Jumlah pengangguran pun bisa lebih besar dari tahun lalu, yakni 99.033 orang. Terlebih lagi, sejumlah negara tujuan, seperti Malaysia, malah menutup pintu untuk warga Indonesia. Penyebaran Covid-19 yang belum terkendali di Tanah Air menjadi pemicunya.
Menurut data Worldometer, per Selasa (8/9/2020), Indonesia menduduki peringkat ke-23 kasus Covid-19 tertinggi dari 215 negara. Dari 200.035 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia, 8.230 orang di antaranya meninggal. Bahkan, kasus terus meningkat.
Kondisi ini jelas menyesakkan. PMI turut memutar roda perekonomian di daerah. Dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia oleh Bank Indonesia, besaran transfer remitansi PMI pada 2019 mencapai 11,4 miliar dollar AS. Pada kuartal II-2020, remitansi PMI diperkirakan 2,26 miliar dollar AS. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu tercatat 2,89 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai, pemerintah harus mengutamakan kesehatan PMI. Pemberangkatan PMI ke luar negeri dengan dalih pertumbuhan ekonomi tidaklah realistis. ”Serapan anggaran pemerintah, misalnya, belum optimal. Negara tujuan PMI juga masih menutup pintunya,” katanya.
Seharusnya, katanya, pemerintah membuat skema jaring pengaman sosial khusus PMI yang terdampak Covid-19. Dengan begitu, PMI dapat menyambung hidup tanpa harus ke negeri orang di tengah pandemi.
Kondisi saat ini seakan memutar ulang kisah penempatan pekerja migran sebagai solusi krisis ekonomi saat akhir Orde Baru. Namun, kala itu belum ada pandemi. Kini, keadaannya berbeda. Pahlawan devisa itu hanya bisa pasrah, entah mau seperti apa.
Baca juga: Diintai Pandemi, Disakiti Tetangga Sendiri