Setelah Banjir Bandang, Tiga Kecamatan di Sukabumi Tanggap Darurat
Pemerintah menetapkan status tanggap darurat untuk daerah terdampak banjir di Kabupaten Sukabumi hingga 27 September 2020. Kesadaran masyarakat dalam mitigasi bencana dibutuhkan untuk mengurangi jatuh korban.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Status tanggap darurat bencana ditetapkan di tiga kecamatan terdampak banjir bandang di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (21/9/2020). Kesadaran tanggap bencana di kalangan warga dan pemerintah daerah mesti ditingkatkan karena provinsi ini rentan dilanda bencana hidrometeorologi, terutama di masa pancaroba.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan tanggap bencana selama tujuh hari 21-27 September 2020 di Kecamatan Cicurug, Cidahu, dan Parung Panjang, Kabupaten Sukabumi. Dalam keterangan tertulis yang diterima di Bandung, Rabu (23/9/2020), Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati menyatakan, semua pihak terkait terus melakukan kaji cepat setelah bencana.
Dalam bencana banjir bandang ini, dua orang meninggal dan satu orang dinyatakan hilang. Petugas gabungan, Rabu ini, membentuk tim pencarian untuk menemukan satu korban hilang, yaitu Anang (25). Sebelumnya, Selasa (22/9/2020) pagi, petugas menemukan dua korban hanyut dalam keadaan meninggal, yakni Jeje (58) Hasyim (70).
”Tim gabungan telah menyusun rencana lanjutan untuk mencari korban hilang dengan membentuk 12 tim dan perluasan titik pencarian. Sebanyak 10 warga yang luka juga telah dirujuk ke rumah sakit setempat,” kata Raditya.
Selain itu, petugas gabungan juga mulai membersihkan material lumpur di permukiman penduduk. Mereka mengerahkan dua truk pengangkut pasir milik Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sukabumi dan satu unit dari Kodim 0622/Kabupaten Sukabumi.
Koordinator Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi Daeng Sutisna mengatakan, tanggap bencana masih dalam proses pendataan dan evakuasi di titik-titik terdampak bencana. Dia memaparkan, banjir bandang ini melanda 11 desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cicurug, Kecamatan Cidahu, dan Kecamatan Parung Panjang.
Hingga Rabu (23/9/2020) pukul 12.00, BPBD Kabupaten Sukabumi mencatat lebih dari 500 jiwa terdampak banjir dan 78 warga mengungsi. Banjir bandang ini merusak 127 rumah dan 34 unit di antaranya rusak berat. Selain itu, 4 jembatan rusak berat, 1 rusak ringan, dan 1 terancam rusak akibat banjir.
”Untuk sementara, sebagian warga mengungsi ke rumah saudara dan penduduk lainnya yang tidak terdampak. Untuk tanggap bencana masih dalam proses,” ujarnya.
Pengetahuan masyarakat
Selain Sukabumi, potensi bencana hidrometeorologi ditemui di banyak tempat di Jabar. Ahli mitigasi bencana dari Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, memaparkan, kejadian longsor di Jabar adalah yang tertinggi di Indonesia dengan rata-rata 3.000 kasus per tahun. Hampir seluruh aliran sungai berpotensi banjir karena aktivitas manusia sudah menjangkau bantaran kali.
”Semua terjadi akibat aktivitas manusia yang mengubah susunan permukaan bumi sehingga berpotensi bencana. Oleh karena itu, pengetahuan masyarakat di Jabar sudah seharusnya dibekali, apakah itu akan membuat mereka lebih waspada atau memiliki kesadaran sendiri untuk pindah ke tempat yang lebih aman,” ujarnya.
Pengetahuan masyarakat di Jabar sudah seharusnya dibekali, apakah itu akan membuat mereka lebih waspada atau memiliki kesadaran sendiri untuk pindah ke tempat yang lebih aman. (Dicky Muslim)
Pembekalan terhadap pengetahuan masyarakat ini, kata Dicky, menjadi hal yang ditekankan dalam cetak biru Jabar Resilience Culture Province (JRCP). JRCP merupakan program dari Pemerintah Jabar terkait mitigasi bencana di provinsi tersebut.
Cetak biru JRCP telah dibahas dalam seminar internasional yang diadakan Universitas Padjadjaran, Rabu (23/9/2020). Para panelis, baik dalam negeri maupun luar negeri, memberikan apresiasi terhadap rancangan mitigasi bencana tersebut. Namun, menurut Dicky, sebagian besar sepakat, cetak biru ini sulit diterapkan sebelum adanya kesadaran bersama dari berbagai pihak, mulai dari pemangku kebijakan hingga masyarakat.
Tejas Tamobhid Patnaik dari Lembaga PBB untuk Pengurangan Resiko Bencana (UNDRR) memaparkan, kesadaran bencana alam dari warga juga dibutuhkan agar program yang diterapkan mampu dijalankan bersama-sama. Integrasi berbagai level komunitas masyarakat penting sehingga seluruh pihak mengerti tindakan mitigasi yang dilakukan.
”Komunikasi menjadi sangat penting, terutama terkait pengetahuan saintifik. Jika semua mengerti, nanti tidak akan ada gap (jarak) lagi,” ujar Patnaik.