Kasus Doni Timur Ungkap Kebobrokan Kaderisasi dalam Partai Politik
Terungkapnya anggota DPRD yang merangkap menjadi bandar narkoba menguak bobroknya proses kaderisasi partai politik. Ke depan, partai politik diharapkan lebih selektif dalam memilih kader sebelum diusung.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Tertangkapnya Doni Timur, anggota DPRD Kota Palembang yang merangkap menjadi bandar narkoba, menguak bobroknya proses kaderisasi partai politik. Ke depan, partai politik diharapkan lebih selektif dalam memilih kader sebelum diusung menjadi pejabat publik.
Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya, Ardiyan Saptawan, Rabu (23/9/2020), menilai, terbongkarnya kasus itu telah menguak bobroknya perekrutan kader di partai politik. ”Bagaimana bisa seorang residivis kasus narkoba, bahkan seorang bandar narkoba, bisa masuk dalam partai politik,” kata Ardiyan.
Doni Timur ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menjadi pengedar narkoba di kawasan Sumatera Selatan, Selasa (22/9). Petugas menyita barang bukti berupa 5 kilogram sabu dan 30.000 butir ekstasi.
Wakil rakyat yang merupakan anggota Komisi I DPRD Kota Palembang 2019-2024 dari Fraksi Golkar itu tercatat pernah mendekam di penjara dalam waktu satu tahun dalam kasus yang sama pada 2012. DN telah ditetapkan sebagai tersangka bersama anggota sindikat lainnya, yakni YA, WA, AL, dan JO.
Ardiyan mengatakan, status Doni Timur sebagai seorang residivis kasus narkoba tentu tidak laik untuk menjadi wakil rakyat. ”Apa yang mereka wakili jika mereka berstatus residivis, apalagi terkait kasus narkoba,” ucap Ardiyan.
Memang, dari sisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diperbolehkan seorang residivis menjadi bakal calon legislatif. Namun, dari sisi etika, tentu hal tersebut dinilai tidak pantas. Apalagi DN merupakan kader muda yang baru masuk ke dunia politik tanpa proses kaderisasi yang matang.
Jika dilihat dari perolehan surat suara pada Pilkada 2019 lalu, lanjut Ardiyan, posisi Doni berada di urutan ketujuh di Daerah Pemilihan (Dapil) I Palembang. Itu menandakan di kalangan partai sendiri DN kurang populer. ”Hanya saja, ada ’kekuatan lain’ yang membuatnya lebih populer dan bisa terpilih menjadi anggota legilatif,” ucapnya.
Menurut Ardiyan, pengaderan di parpol saat ini cenderung stagnan dan tidak berkembang dengan baik. Sebagian besar kader yang direkrut bukanlah kader yang didik dari awal, melainkan yang memiliki kekuatan finansial yang baik. Belajar dari kasus ini, Ardiyan berharap parpol lebih selektif dalam memilih kadernya sebelum diusung untuk dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagian besar kader yang direkrut bukanlah kader yang didik dari awal, melainkan yang memiliki kekuatan finansial yang baik.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Selatan Dodi Reza Alex Noerdin menegaskan telah memecat Doni Timur sebagai kader Partai Golkar. ”Karena dia sudah dipecat, posisinya sebagai anggota DPRD Kota Palembang pun akan digantikan oleh kader lain,” ucapnya.
Bahkan, ujar Dodi, tidak ada bantuan hukum bagi tersangka karena dianggap telah mencoreng nama baik partai. ”Doni Timur diberhentikan secara tidak hormat tanpa harus menunggu proses hukum,” ucap Dodi.
Hal itu diharapkan menjadi pembelajaran bagi kader Golkar untuk tidak bermain-main dengan narkoba. ”Kalau ada kader yang masih bermain dengan narkoba, tidak ada ampun lagi,” kata Dodi, yang juga menjabat Bupati Musi Banyuasin itu.
Komisioner KPU Kota Palembang Divisi Teknis Penyelenggaraan, Muhammad Joni, mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih menunggu keputusan dari partai politik yang bersangkutan. Nantinya keputusan tersebut akan disampaikan kepada DPRD Kota Palembang dan akan dikirim ke KPU dalam bentuk surat permintaan untuk penggantian anggota DPRD.
Jika surat tersebut sudah diterima, ungkap Joni, selanjutnya dilakukan klarifikasi dan verifikasi surat permintaan dan dituntaskan dengan rapat pleno. Kemudian ditentukanlah kader baru, yakni anggota partai dengan pemilih terbanyak setelah tersangka. ”Proses klarifikasi dan verifikasi dibutuhkan waktu lima hari dan kemudian dilanjutkan dengan rapat pleno,” ucap Joni.
Terkait dengan kasus ini, Joni menjelaskan, dalam proses pengangkatan dan pemilihan bakal calon anggota DPRD, KPU menjalankan aturan sesuai dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada Pasal 7 Ayat (1) huruf (h) tertulis, bakal calon anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, harus sehat jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkoba.
Hal ini dibuktikan dengan adanya surat keterangan bebas narkoba dari rumah sakit (RS) milik pemerintah ataupun BNN. ”Pada saat pencalonan, dipastikan semua bakal calon sudah bebas dari narkoba. Kami hanya mengacu pada surat keterangan dari RS tersebut,” ucapnya.
Terkait dengan status residivis, Joni menjelaskan, dalam PKPU Pasal 7 Ayat (1) huruf (g) juga disebutkan, kandidat tidak boleh berstatus terpidana dengan hukuman lebih dari 5 tahun. Namun, Doni Timur merupakan residivis dengan masa hukuman 1 tahun, tentu masih diperbolehkan menjadi anggota Dewan.
Joni mengatakan, jika dilihat dari PKPU, tidak ada yang salah dari pengajuan Doni Timur saat menjadi bakal calon anggota DPRD. Terkait dengan kasus yang menimpanya saat ini, Joni mengatakan, itu adalah tanggung jawab partai politik yang mengadernya. Ia berharap agar parpol lebih selektif dalam memilih kader agar kasus ini tidak terulang lagi.