Sejumlah organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara mendesak penundaan pilkada untuk mengedepankan keselamatan warga. Dalam situasi pandemi, pelibatan partisipasi masyarakat dalam pilkada akan sulit dilaksanakan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sejumlah organisasi kemasyarakatan di Sumatera Utara mendesak penundaan pemilihan kepala daerah. Pemerintah diminta mengedepankan keselamatan dan kesehatan warga. Jika pilkada dipaksakan, substansi pilkada untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang sebesar-besarnya juga tidak bisa dilaksanakan.
Penolakan itu, antara lain, disuarakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sumut, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Sumut, dan mantan komisioner penyelenggara pemilu di Sumut.
”Pelaksanaan pilkada serentak jelas-jelas membahayakan keselamatan dan kesehatan warga karena bisa memperluas penularan pandemi Covid-19. Kami minta pilkada ditunda paling tidak sampai pertengahan tahun depan,” kata Koordinator Wilayah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Sumatera Utara Gito Pardede, Senin (21/9/2020).
Belajar dari tahapan pendaftaran bakal calon di 23 kabupaten/kota di Sumut, pelaksanaan protokol kesehatan sangat sulit dilakukan. Penyelenggara pemilu sudah melakukan persiapan agar bisa melaksanakan tahapan dengan protokol kesehatan. Namun, bakal calon, partai politik, dan pendukung justru memobilisasi massa. ”Bahkan, ada bakal calon yang sudah tahu dirinya positif, tetapi ikut mendaftar ke KPU dan membawa pendukung,” kata Gito.
Menurut Gito, hal serupa sangat mungkin terjadi dalam tahapan pilkada lainnya, khususnya pada penetapan pasangan calon, kampanye, pemungutan suara, hingga rekapitulasi hasil.
Pada masa pendaftaran bakal calon di Sumut, enam bakal calon positif Covid-19. Tiga di antaranya bahkan tetap hadir mendaftar ke KPU dengan membawa massa pendukung.
Permintaan untuk menunda pilkada juga disuarakan Sekretaris Eksekutif Bakumsu Manambus Pasaribu. ”Penundaan pilkada sebenarnya sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya dalam keadaan bencana alam ataupun non-alam. Penundaan bisa dilakukan dengan kemauan politik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR,” kata Manambus.
Jika pilkada tetap dipaksakan dengan protokol Covid-19 yang ketat, kata Manambus, substansi pilkada untuk melibatkan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya juga tidak akan bisa dilaksanakan. Partisipasi masyarakat di daerah dengan penularan tinggi seperti Kota Medan pasti menurun.
Partisipasi masyarakat di daerah dengan penularan tinggi seperti Kota Medan pasti menurun.
”Warga pasti akan mengutamakan keselamatan dan kesehatannya. Apalagi di daerahnya tidak ada calon yang menjanjikan,” katanya.
Penundaan pilkada juga disuarakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Sumut. ”Kami meminta agar keselamatan dan kesehatan warga diutamakan,” kata Sekretaris GNPF Sumut Al Fatih.
Al Fatih mengatakan, pihaknya terutama mendorong penundaan pilkada di daerah dengan penularan Covid-19 yang cukup tinggi seperti Kota Medan. Semua kecamatan di Kota Medan kini merupakan zona merah penularan Covid-19. Pihaknya pun telah membuat petisi dan meminta dukungan masyarakat untuk menunda pilkada.
Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumut, kasus positif di Sumut kini mencapai 9.468 kasus. Sebanyak 5.707 kasus di antaranya telah sembuh dan 402 meninggal. Dalam sepekan terakhir, terdapat tambahan 903 kasus positif baru dan 44 pasien meninggal.
Lima daerah yang berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19 di Sumut adalah Medan, Binjai, Sibolga, Gunungsitoli, dan Mandailing Natal.