Ratusan tukik atau anak penyu jenis lekang dilepasliarkan ke laut di Pantai Sodong, Cilacap, Jawa Tengah, Senin (14/9/2020). Dengan menjaga penyu, keseimbangan alam serta kehidupan manusia pun ikut terjaga.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Sebanyak 142 tukik atau anak penyu lekang (Lepidochelys olivacea) kembali dilepasliarkan di Pantai Sodong, Cilacap, Jawa Tengah. Kehadiran penyu untuk bertelur di kawasan Sodong menjadi salah satu tanda habitatnya masih alami. Kesinambungan konservasi penyu menjadi tantangan juga peluang untuk mengembangkan wisata edukasi.
Puluhan warga, tua-muda, laki-laki dan perempuan, juga anak-anak dan dewasa, kegirangan mengambil anak penyu dari ember dan kemudian meletakkannya di bibir pantai. Satwa mungil itu pun segera menggerakkan keempat kakinya yang berbentuk sirip menuju laut lepas.
Terseok-seok langkahnya meninggalkan jejak-jejak di pasir yang basah. Deburan ombak bercampur buih menjemput mereka. Beberapa kali mereka terlontar ke daratan, tetapi akhirnya kemudian terseret arus menuju laut lepas.
”Penyu, di Cilacap khususnya, sudah sangat langka. Harapannya, dengan konservasi ini, penyu di pesisir Cilacap ini bisa terus lestari,” kata Ketua Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja Cilacap Jumawan, di Pantai Sodong, Senin (14/9/2020).
Bersama sekitar 15 pemuda di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jumawan menularkan kecintaan untuk menjaga penyu. Lewat susur pantai di malam hari, mereka mencari dan menanti penyu mendarat untuk bertelur. Telur itu kemudian dikumpulkan, diamankan dari predator, lalu ditetaskan untuk selanjutnya dilepasliarkan.
Ancaman
Ancaman perburuan telur penyu untuk konsumsi masih ada mengingat sebagian masyarakat menilai telur penyu berprotein tinggi dan bisa meningkatkan stamina juga kecerdasan. Bagi pemilik kuda, telur penyu bahkan dijadikan jamu supaya kuda sehat dan kuat. Kepada para nelayan atau warga yang memburu telur ini, Jumawan melakukan pendekatan personal supaya telur yang mereka dapatkan bisa diserahkan kepada kelompok untuk ditetaskan.
Setahun terakhir, kelompoknya menyelamatkan sekitar 450 telur penyu. Namun, karena sebagian besar adalah hasil penyerahan nelayan dan sudah dicuci menyebabkan banyak yang tidak menetas. ”Tingkat penetasannya masih rendah karena sudah kena air. Telur yang ditemukan kemudian dicuci. Ini menyebabkan penetasannya tidak sempurna,” ujarnya.
Kalau cuma dipelihara sendiri, bukan konservasi namanya karena kita tidak mendukung pelestarian alam.
Pada 2019, kelompok ini juga sudah melepasliarkan 32 tukik di lokasi yang sama. Dalam penangkaran penyu, biaya perawatan untuk memberi pakan serta mengganti air cukup tinggi. ”Per hari, biaya pakannya Rp 25.000 untuk beli ikan, kerang teritip, atau udang,” katanya. Adapun untuk air laut, per galon berisi sekitar 20 liter diupahi Rp 5.000. Butuh 150-200 liter galon setiap pekan.
Sejumlah pemuda yang ikut dalam kelompok konservasi penyu ini mengaku senang dan antusias bisa merawat lalu melepaskan penyu-penyu ini meski ada rasa sayang karena sudah ikut merawat penyu ini beberapa bulan.
”Yang namanya konservasi, ya, harus dilepas lagi. Kalau cuma di-save (pelihara sendiri), bukan konservasi namanya karena kita tidak mendukung pelestarian alam. Syukur-syukur ketika mereka dewasa bisa kembali ke sini untuk bertelur,” tutur Latif Aprianto (22), salah satu anggota kelompok konservasi.
Dua kali ia bersama teman-temannya ikut susur pantai pukul 23.00 hingga pukul 02.00 untuk ronda sekaligus mengamati dan mengamankan kalau-kalau ada penyu yang mendarat lalu bertelur. Angin laut yang kencang, rasa kantuk, dan suhu malam yang dingin dilakoni. Meski harus berjalan kaki sekitar 5 kilometer dari Muara Bedahan hingga Muara Glempang, mereka tidak selalu dapat menemukan telur penyu.
”Biar tidak dingin, kami saling ngobrol dan bakar singkong,” ujar Latif yang baru saja lulus kuliah di UNY Yogyakarta.
Hal senada disampaikan Rizki Rifai (19), anggota kelompok lainnya. Ia senang dan bersemangat ikut susur pantai bersama teman-teman. Pernah suatu saat dia kaget melihat ada ular laut di bibir pantai. ”Kami bawa senter kecil dan harus hati-hati. Waktu itu kaget ada ular di pantai sekitar 1 meter, warnanya coklat, dan dibiarkan saja,” katanya.
Kepala Desa Karangbenda Sakino mengapresiai lahirnya kelompok konservasi 2 tahun terakhir ini. Melalui kelompok ini, sejumlah pemuda dan remaja kian mendapatkan wadah berdiskusi dan berkegiatan secara positif. Kecenderungan nongkrong sambil mengonsumsi minuman keras pun berkurang.
”Kegiatan ini bermanfaat bagi wisata dan untuk nongkrong-nongkrong jagongan serta mabok-mabokan dari pengamatan kami sudah turun,” kata Sakino.
Desa ini, dihuni sekitar 1.100 keluarga dengan jumlah 3.800 jiwa. Sekitar 60 persen warga bekerja sebagai petani sawah dan ladang, 15 persen nelayan, dan sisanya beragam pekerjaan, seperti pegawai dan pedagang. Sakino berharap desa ini alamnya tetap terjaga, bisa berkembang wisatanya, dan sejahtera masyarakatnya.
Konservasi penyu di kawasan ini juga mendapatkan dukungan dari CSR PT Pertamina (Persero). Sebuah tempat penangkaran penyu sedang dibangun untuk keberlanjutan upaya konservasi ini.
Penyu adalah kelompok spesies yang terancam di Indonesia, terutama di selatan Pulau Jawa. Kalau ada pelepasan tukik, saya kira itu berita yang sangat positif.
”Penyu merupakan salah satu hewan yang dilindungi pemerintah sejak 1990 dan saat ini sudah terancam punah. Melalui program CSR yang merupakan kolaborasi tiga fuel terminal Pertamina ini, kami berkomitmen untuk dapat menyelamatkan penyu ini dan mengajak masyarakat melestarikan alam,” kata General Manager Pertamina Marketing Operation Region IV PT Pertamina Sylvia Grace Yuvenna.
Dihubungi secara terpisah, Dosen Biologi Laut Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Romanus Edy Prabowo, mengatakan, pelepasliaran penyu adalah berita baik bagi upaya menjaga keanekaragaman hayati lingkungan.
”Penyu adalah kelompok spesies yang terancam di Indonesia, terutama di selatan Pulau Jawa. Kalau ada pelepasan tukik, saya kira itu berita yang sangat positif,” kata Romanus.
Romanus menyampaikan, di sepanjang pantai selatan Jawa merupakan area pendaratan penyu untuk bertelur, mulai dari sekitar Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Cilacap, Kebumen, hingga Purworejo. Dalam rantai makanan dan ekosistem, keberadaan penyu ini penting di alam.
”Kalau penyu hilang, ubur-ubur bisa terlalu banyak dan plankton akan habis dimakan ubur-ubur,” katanya.
Pantai Teluk Penyu di Cilacap, lanjut Romanus, dahulu menjadi salah satu area pendaratan penyu. Namun, kini itu hanya tinggal cerita karena perkembangan kota yang massif, pencahayaan yang terang benderang, serta kondisi lingkungan yang tidak mendukung untuk bertelur.
”Kawasan yang bising itu tidak bisa dijadikan tempat bertelur. Penyu bertelur di pantai terbuka yang bersih, tenang, tidak terlalu berisik, dan gelap,” ucapnya. Oleh karena itu, kawasan pinggiran kota seperti di Sodong menjadi kawasan potensial yang perlu dijaga kelestariannya.
Di tengah upaya konservasi penyu, sepanjang 2020 ini, di pesisir Cilacap telah ditemukan setidaknya ada 13 bangkai penyu. Bangkai penyu yang ditemukan, antara lain, terdiri dari penyu lekang, penyu hijau, dan penyu belimbing. Lokasi penemuan berbeda-beda, seperti di Pantai Jetis, Pantai Kemiren, Pantai Bunton, dan Pantai Teluk Penyu. Ukurannya bervariasi mulai dari 60 sentimeter, 70 sentimeter, hingga 2,5 meter.
Menanggapi penemuan tersebut, Kepala Resor Konservasi Wilayah Cilacap BKSDA Jateng Dedi Rusyanto menyampaikan, pihaknya bersama tim dokter sudah memeriksa dua bangkai penyu dan tidak ditemukan benda asing atau sampah dalam tubuh penyu.
”Selain itu, karena kondisinya sudah membusuk, zat racun atau yang bersifat meracuni tidak ditemukan,” katanya. Pihaknya juga akan memberikan perhatian khusus atas temuan itu.
Menurut Romanus, sejumlah faktor dapat menjadi penyebab kematian penyu, seperti usia tua, navigasi penyu yang terganggu akibat cahaya yang terlalu terang, aktivitas manusia di laut, seperti kemungkinan terjerat jaring nelayan, dan kemungkinan adanya pencemaran air laut dari bahan-bahan kimia yang dibuang ke sungai lalu bermuara ke laut.
”Pencemaran bisa menjadi salah satu faktor, tetapi memang bukti untuk dilihat secara langsung memang tidak kelihatan. Harus dilihat secara kuratoris,” katanya.
Ratusan tukik telah kembali ke lautan lepas seiring dengan jejak langkah sirip tukik yang luruh disapu ombak. Perjuangan satwa kecil itu baru saja dimulai. Demikian juga dengan upaya konservasi lingkungan sekitar perlu berlanjut supaya kelak, setelah dewasa, ratusan tukik itu bisa kembali, bertelur, dan membawa berkah kehidupan.