Surabaya Akan Beralih dari Sanksi Sosial Menjadi Denda
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini akan mengubah sanksi pelanggar protokol kesehatan dari sanksi sosial menjadi denda. Sanksi denda diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi pelanggar. Aturan disiapkan dalam Perwali.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menilai sanksi sosial yang sudah diberlakukan di Surabaya, Jawa Timur, sejak tiga bulan lalu belum efektif dalam mendisiplinkan warga untuk menerapkan protokol kesehatan. Sanksi berupa denda disiapkan untuk menciptakan efek jera pelanggar.
”Dalam revisi Peraturan Wali Kota Surabaya, kami sudah sepakat menerapkan sanksi berupa denda bagi pelanggar protokol kesehatan,” kata Risma di Surabaya, Kamis (17/9/2020).
Dari evaluasi yang dilakukan, lanjut Risma, penerapan sanksi sosial belum efektif untuk membentuk perilaku warga agar disiplin protokol kesehatan. Dalam operasi kepatuhan yang digelar selama tiga bulan terakhir, tim gabungan selalu menemukan warga yang melanggar protokol kesehatan. Bahkan, dari operasi yustisi yang dilaksanakan bersama Kepolisian dan TNI pada 16-17/9/2020, masih ditemukan 495 pelanggar.
Dalam revisi Peraturan Wali Kota Surabaya, kami sudah sepakat menerapkan sanksi berupa denda bagi pelanggar protokol kesehatan. (Tri Rismaharini)
Mayoritas pelanggaran berupa tidak menggunakan masker. Mereka yang kedapatan melanggar protokol kesehatan disanksi penyitaan KTP serta sanksi sosial berupa push-up, menyapu jalan, dan menjadi petugas di Liponsos.
Oleh karena itu, sanksi pelanggar protokol kesehatan akan diubah dalam Perwali Surabaya yang terbaru. Saat ini, tim masih merumuskan besaran denda yang dikenakan kepada pelanggar. Nominal denda diperkirakan sekitar Rp 200.000.
Di sisi lain, Risma meminta semua aparat untuk melakukan pengawasan agar peraturan bisa efektif di masyarakat. Pengawasan menjadi sangat penting untuk memastikan pelanggar dikenai sanksi denda dan menciptakan efek jera. ”Penerapan protokol kesehatan bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga orang lain termasuk keluarga,” katanya.
Hotel ditutup
Dari evaluasi lainnya, menurut Risma, saat ini banyak pasien yang telah sembuh. Pasien yang menjalani karantina di hotel sudah tidak ada dan menyisakan pasien yang dirawat di tempat isolasi Asrama Haji Surabaya dan rumah sakit rujukan.
Maka dari itu, pihaknya kini tidak melakukan karantina pasien di empat hotel yang menjalin kerja sama dengan Pemkot Surabaya. Semua pasien akan diarahkan untuk dirawat di Asrama Haji Surabaya bagi yang tidak bergejala, sedangkan pasien dengan gejala dan memiliki penyakit penyerta difokuskan di rumah sakit.
”Kemungkinan jika seluruh pasien di Asrama Haji sudah sembuh akan kami tutup tempat isolasi di sana,” ujar Risma.
Data hingga Kamis, kasus kumulatif di Surabaya 13.410 orang. Pasien sembuh 11.150 orang, meninggal 1.006, dan masih dirawat 1.254 orang. Sebagian pasien yang masih dirawat menjalani isolasi mandiri di rumah. ”Kami terus meminta pasien agar mau diisolasi karena kapasitas rumah sakit di Surabaya masih banyak yang kosong,” katanya.
Menurut Risma, kemampuan tes di Surabaya kini sudah sangat membaik. Dalam sehari rata-rata pengambilan sampel tes usap mencapai 2.000 orang. Pengujian pun bisa dilakukan lebih cepat karena Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Surabaya mampu menguji hingga 3.000 sampel per hari.
Kepala Dinas Kesehatan Febria Rachamanita mengatakan, tes usap di Labkesda digratiskan untuk warga Surabaya yang baru tiba dari luar kota. Sementara warga luar kota yang menginap lebih dari tiga hari wajib ikut tes dengan biaya Rp 125.000 per orang.
”Pengambilan sampel tes usap bisa juga dilakukan di puskesmas terdekat agar tidak menimbulkan kerumunan di Labkesda,” katanya.