Komitmen Pemerintah Akui Hutan Adat di Kalteng Rendah
Pemprov Kalteng klaim tak ada hutan adat di Kinipan, Kabupaten Lamandau. Padahal, masih ada hutan adat di Lamandau dan sudah diusulkan AMAN Kalteng sejak 2018 dan dipetakan sejak 2016.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalteng sebutkan tak ada hutan adat di Lamandau, khususnya di Kinipan. Hal itu pun menuai kritikan. Masyarakat adat Kinipan sudah hidup bergenerasi dengan hutan adatnya, tetapi justru komitmen pemerintah untuk mengakui yang dinilai rendah.
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah memberikan 12 peta hutan adat dengan total luas lahan sebesar 119.777,76 hektar, termasuk hutan adat di Desa Kinipan yang luasnya lebih kurang 16.000 hektar.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ihtisan menyampaikan, tahun 2018, AMAN Kalteng memberikan 12 peta hutan adat, tetapi belum bisa ditindaklanjuti lantaran banyak kendala. Salah satunya adalah peraturan daerah soal masyarakat hukum adat yang belum dibentuk.
”Memang ada usulan dari Kinipan dan 11 peta lainnya, tetapi kan memang belum ada perda di Lamandau, jadi tidak bisa diurus,” kata Ihtisan kepada Kompas, Rabu (2/9/2020).
Ihtisan mengungkapkan, 12 peta adat itu merupakan peta partisipatif yang dilakukan lembaga-lembaga pendamping komunitas adat termasuk AMAN Kalteng. Namun, terdapat beberapa syarat yang tidak terpenuhi sehingga pihaknya tidak bisa melakukan identifikasi dan verifikasi.
”Kami sudah ada upaya, sampai mengeluarkan surat gubernur, isinya kami mengimbau para bupati untuk membuat perda pengakuan masyarakat hukum adat, baru obyeknya (hutan adat) bisa kami kasih,” ungkap Ihtisan.
Syarat itu, lanjut Ihtisan, tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah daerah, khususnya di Lamandau. Hingga kini, belum ada kebijakan pimpinan daerah setempat untuk membentuk panitia hukum adat lalu merumuskan peraturan daerah terkait hal itu.
”Saya juga miris dengan konflik di Kinipan, sayangnya sebelum hutan adat disahkan, hutan di Kinipan sudah diberikan izin ke perusahaan,” kata Ihtisan.
Sampai saat ini, dalam skema perhutanan sosial total terdapat 151 izin pengelolaan yang diberikan kepada masyarakat di Kalteng, dengan total luas lahan 205.381,95 ha. Rinciannya, 28 hutan desa seluas 79.531 ha, 69 hutan kemasyarakatan (68.107,99 ha), 51 hutan tanaman rakyat (57.640,96 ha), dan 1 hutan adat (102 ha) di Kabupaten Pulang Pisau.
Saya juga miris dengan konflik di Kinipan, sayangnya sebelum hutan adat disahkan, hutan di Kinipan sudah diberikan izin ke perusahaan.
Sebelumnya, menanggapi konflik lahan antara PT Sawit Mandiri Lestari (SML) dengan Komunitas Adat Kinipan di Lamandau, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri juga mengungkapkan, tidak ada hutan adat di Lamandau. Ia juga mengungkapkan, perusahaan perkebunan sawit tersebut memiliki izin usaha perkebunan sawit dengan luas mencapai lebih kurang 19.901,59 hektar atau empat kali luas Kota Yogyakarta.
”Perusahaan juga sudah memenuhi tanggung jawabnya dengan membuat kebun plasma juga sudah mengucurkan anggaran tanggung jawab sosial (CSR),” kata Fahrizal.
Hal serupa juga diungkapkan pegawai Hubungan Masyarakat PT SML Wendy Soewarno. Menurut dia, sebagian besar warga Kinipan menerima perusahaan. Pihaknya juga sudah menjalankan tanggung jawab sosial kepada masyarakat di sekitar lokasi usaha mereka.
”Yang menolak itu hanya kelompok Effendi Buhing saja kalau yang lain sudah menerima,” ungkapnya.
Konflik lahan di Kinipan bermula ketika warga di desa itu menolak adanya perkebunan sawit tahun 2005 hingga saat ini. Konflik itu kian memanas dengan penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing pada Rabu 26 Agustus 2020 (Kompas, 27/8/2020).
Menanggapi hal tersebut, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria mengungkapkan, pernyataan pemerintah daerah soal tidak ada hutan adat itu konyol. Pemerintah dinilai sangat subyektif karena hanya melihat masyarakat adat sebatas legalitas. Masyarakat adat di sana sudah hidup bergenerasi.
”Coba dilihat unsur-unsur kehidupan mereka (warga Kinipan) di sana, mulai dari berbahasa yang berbeda dengan yang lain, sistem ekonomi yang berbeda, lalu ada pemuka adat dengan istilahnya seperti mantir dan damang, artinya masyarakat adat itu ada,” kata Yando.
Yando mengungkapkan, pemerintah daerah seharusnya membentuk tim independen untuk memastikan ada atau tidak masyarakat adat dan wilayah adat di Kinipan atau di Kalimantan Tengah. ”Itu perintah konstitusi sudah banyak aturan juga Undang Undang yang memerintahkan mereka (pemerintah) untuk mengidentifikasi hutan dan masyarakat adat,” katanya.
Hal serupa juga diungkapkan Penjabat Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto. Ferdi mengungkapkan, tanggung jawab pemerintah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dalam produk hukum itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melindungi masyaraat adat termasuk mengidentifikasi wilayah adatnya.
”Artinya, jika pemerintah tidak mengakui hutan adat, ke mana aja mereka selama ini. Sejak permendagri itu keluar hingga saat ini apa yang mereka lakukan untuk masyarakat adat,” ungkap Ferdi.
Menurut Ferdi, selama pemerintah tutup mata terhadap keberadaan masyarakat adat, konflik lahan dan kasus seperti di Kinipan akan terus terjadi. Masyarakat seperti di Kinipan, selama ini justru mengikuti keinginan pemerintah dengan aturannya tetapi tidak pernah direspons baik sehingga mereka juga bingung harus berbuat apa.
”Sampai sekarang usulan kami soal peta hutan adat di Kalteng itu tidak pernah direspons, harusnya itu ditindaklanjuti. Sementara panitia masyarakat hukum adat di Lamandau saja tidak pernah dibuat,” kata Ferdi.