Konflik Hutan Adat Kinipan Picu Mahasiswa di Kalteng Bergerak
Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Peduli Kinipan menggelar aksi keprihatinan di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya, Kalteng, Minggu (30/8/2020). Mereka prihatin terhadap nasib masyarakat adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Peduli Kinipan menggelar aksi damai di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (30/8/2020). Aksi itu dibuat atas keprihatinan mereka terhadap nasib masyarakat adat dan hutannya yang selalu terpinggirkan.
Dimulai pukul 15.00 hingga petang hari, aksi itu meliputi orasi mahasiswa, aksi teatrikal, tarian, hingga bakar lilin. Dari pantauan Kompas, aksi teatrikal itu merupakan reka adegan penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing oleh aparat kepolisian. Seorang peserta aksi mengenakan topeng bergambar wajah Effendi Buhing yang kemudian ditangkap dan diseret peserta lainnya.
Aksi tersebut merupakan buntut dari konflik lahan di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng, yakni penangkapan enam warga Desa Kinipan karena berbagai kasus, Rabu (26/8/2020). Keenam orang itu merupakan anggota komunitas adat, termasuk Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing. Mereka semua merupakan warga yang menolak hutan adatnya dialihkan menjadi perkebunan sawit.
Juru bicara Aliansi Pemuda Peduli Kinipan, Novia Adventy Juran, mengungkapkan, salah satu tuntutan aksi aliansi adalah mendesak Polda Kalteng mencabut status tersangka Effendi Buhing dan empat anggota Komunitas Adat Laman Kinipan lainnya.
”Kejadian itu sarat kriminalisasi. Kami minta tidak hanya ditangguhkan, tetapi bebas bersyarat. Mereka itu pejuang lingkungan, bukan kriminal,” kata Novia.
Novia mengatakan, pihaknya juga meminta Komnas HAM dan Polri mengusut tuntas tindakan aparat yang dinilai represif dan sarat kriminalisasi. Mereka juga meminta pemerintah segera mengakui komunitas adat beserta hutan adatnya, terutama di Kinipan.
”Semakin lama RUU Masyarakat Adat ditinggalkan, selama itu juga konflik akan terus berlangsung. Oleh karena itu, kami minta pemerintah dan legislatif segera mengesahkan kebijakan itu,” kata Novia.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangka Raya Epafras Meihaga menjelaskan, salah satu pemicu konflik lahan di Kinipan adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Oleh karena itu, mereka juga meminta agar pemerintah daerah meninjau kembali perizinan konsesi perkebunan sawit di Kalteng.
”Khusus di Kinipan, kami meminta agar perusahaan perkebunan sawit di sana dievaluasi lagi. Jika ditemukan kesalahan, perlu ada tindakan seperti sanksi yang harus diberikan,” kata Meihaga.
Hal serupa diungkapkan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Palangkaraya Egi Praginanta. Menurut dia, intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Kinipan merupakan bukti lemahnya sistem peradilan.
”Aparat seharusnya melindungi dan mengayomi juga memberikan hak kepada masyarakat sesuai dengan undang-undang dan Pancasila,” kata Egi.
Aparat seharusnya melindungi dan mengayomi juga memberikan hak kepada masyarakat sesuai dengan undang-undang dan Pancasila.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rawing Rambang menyampaikan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah karena kewenangan menerbitkan izin ada di daerah. Pihaknya selama ini belum melakukan mediasi antara perusahaan dan masyarakat di Kinipan lantaran kasus itu sudah ditangani Kantor Staf Presiden (KSP).
”Kami tinggal tunggu perintah saja dari KSP. Itu sudah ditangani mereka. Kami juga berharap kasus ini bisa cepat selesai, kasihan masyarakat juga,” kata Rawing.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Hendra Rochmawan sebelumnya mengatakan pihaknya tetap profesional. ”Kami tetap profesional dan tidak ada prosedur yang dilanggar. Semuanya masih dalam keadaan baik-baik saja. Ini masih pemeriksaan awal,” kata Hendra.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing saat dihubungi melalui telepon oleh Kompas mengungkapkan permintaan masyarakat adat di sana sederhana. Bukan uang ataupun materi, tetapi berhentinya operasi perusahaan perkebunan sawit yang terus menggerus hutan yang kini sudah mencapai 2.300 hektar atau setengah luas Kota Yogyakarta.
”Hutan itu tempat kami berburu dan menggantungkan hidup. Masyarakat adat di sini tidak bisa hidup tanpa hutan. Kami sudah legawa dengan hutan yang sudah dibuka, tetapi tolong cukup sampai di situ saja,” kata Effendi.