Apatisme di antara Hidup dan Mati Bersama Covid-19
Enam bulan hidup bersama pandemi Covid-19, kegawatan belum juga reda. Sebaliknya, dampak ketidakdisiplinan pada protokol kesehatan muncul dalam kenaikan jumlah kasus dan kefatalan.
Sejak kemunculan Covid-19, Maret lalu, entah berapa istilah dan singkatan muncul di tengah masyarakat. Sebut saja Covid-19, rapid test, tes cepat, tes swab, lockdown, isolasi mandiri, PSBB, PCR, ODP, PDP, OTG, AKB, komorbid, dan positivity rate, suspek, dan probable. Panjang deretnya, sepanjang kasus penularan di Tanah Air yang entah kapan akan terhenti.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 29 Agustus pukul 12.00, dari total 514 kabupaten dan kota, hanya 71 kab/kota yang tidak terdampak atau tidak ada kasus baru. Adapun 31 kab/kota masuk kategori risiko tinggi, enam di antaranya di Kalimantan Selatan dan lima di DKI Jakarta, kecuali Kabupaten Kepulauan Seribu.
Mayoritas kabupaten/kota dalam kategori risiko sedang (222), sedangkan kategori rendah (189). Dari sisi kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi, data hingga 29 Agustus siang ada 169.195 kasus, naik 3.308 kasus dari sehari sebelumnya.
Soal data ini, tak mudah memastikan kesesuaiannya dengan kondisi sebenarnya. Tim Satgas Penanganan Covid-19 mengolah data dari Kementerian Kesehatan yang tak boleh diakses lembaga lain. Dari data olahan, mayoritas kasus korona dijumpai di perkotaan, meski secara administratif jumlah kabupaten lebih banyak.
Data insiden kumulatif kasus positif per 100.000 penduduk berdasarkan kabupaten/kota (diperbarui 23 Agustus), lima besar kasus tertinggi adalah Jakarta Pusat (747,18 per 100.000 penduduk), Kota Jayapura (441,5), Kota Makassar (415,47), Kota Semarang (412,81), dan Kota Surabaya (391,83).
Data yang sama, lima besar kasus terendah adalah Lampung Timur (1,18), Mandailing Natal (0,21), Tulang Bawang (0,23), Nias Selatan (0,27), dan Timor Tengah Utara (0,37). ”Ini karena kota sebagai pusat mobilitas tinggi dengan risiko kerumunan dan tanpa jaga jarak,” kata Kepala Bidang Data dan Teknologi Informasi Gugus Tugas Covid-19 Dewi Nur Aisyah saat diskusi dengan Redaksi Kompas, Rabu (26/8/2020).
Memang, seperti disampaikan para epidemiolog, tinggi kasus positif tidaklah menggambarkan situasi riil daerah itu. Bisa jadi, karena masifnya tes usap tenggorokan (swab). Itu yang terjadi di DKI Jakarta yang cakupan tesnya empat kali lebih tinggi dibandingkan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga Kota Surabaya yang gencar menggelar tes swab.
Pada daerah minim tes, data yang ada akan menghadirkan keamanan palsu yang berisiko. Bisa jadi, demi mengejar status zona hijau atau nol temuan. Kota Tegal, Jawa Tengah, adalah salah satu daerah yang sempat menyedot perhatian karena bebas korona, hingga dua kali hendak membubarkan Satgas Covid-19. Belakangan, lebih dari 20 kasus positif ditemukan sekaligus dalam tes massal yang diinisiasi Dinas Kesehatan Provinsi Jateng.
Baca juga: Satu Bulan Klaim Nol Kasus, Dinkes Jateng Dapati 26 Pasien Positif di Kota Tegal
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo termasuk salah satu kepala daerah yang aktif mengingatkan pentingnya disiplin pada protokol kesehatan sejak awal pandemi hingga kini. Namun, Jateng masuk tiga terbanyak kasus kematian karena Covid-19, yakni 846 kasus per 23 Agustus lalu. Posisi itu ada di bawah Jawa Timur (2.172) dan DKI Jakarta (1,094), yang diikuti Sulawesi Selatan (349) dan Kalimantan Selatan (333).
Dalam kondisi inilah, media arus utama dan masyarakat skeptis, yang kini harus cerewet menunjuk mereka yang tak patuh terhadap protokol kesehatan. Apalagi jika mereka figur politik ataupun artis. (Fadjar Thufail)
Dampak mobilitas
Mobilitas menjadi kata kunci penyebaran virus SARS-CoV-2 sejak muncul di Wuhan, China. Interaksi antarindividu tanpa masker pelindung, tak menjaga jarak aman, dan tangan terkontaminasi virus memunculkan wilayah episentrum. Kasus demi kasus meledak di perkotaan dan pinggiran.
Periode akhir Maret hingga Mei menjadi era minimnya kasus temuan positif, seiring pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat di banyak daerah. Pengawasan ketat diberlakukan sampai di perbatasan hingga pedesaan dengan melibatkan masyarakat secara aktif.
Baca juga: Rumah Karantina Pemudik di Desa Lerep
Di DKI Jakarta, hingga 29 Mei, tingkat penularan virus korona hanya 1,1 yang bisa disimpulkan Jakarta mampu mengendalikan pandemi. Tingkat kepatuhan warga tercatat 60 persen.
Namun, sejak PSSB transisi pertama pada 5 Juni dan diperpanjang hingga kelima kalinya, kasus penularan terus meningkat. Kluster-kluster perkantoran dan industri bermunculan hingga hari ini.
Data Satgas Penanganan Covid-19, dari kumulatif jumlah kasus positif di Jakarta pada Maret-Agustus, 70 persen terjadi saat PSBB transisi. Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, tingkat penularan pada sampel yang dites (positivity rate) di akhir Agustus adalah 10 persen, di atas batas aman yang disarankan WHO, yaitu 5 persen.
Baca juga: Kasus Harian Tertinggi Positif Covid-19 Muncul di Jakarta Hari Minggu Ini
Kecenderungan lonjakan kasus juga muncul di pinggiran Cirebon, Jabar, setelah kebijakan pelonggaran yang disebut Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), yang dipahami sebagai kebebasan. Tidak ada lagi pendataan warga dari luar kota, pemantauan mandiri menerapkan protokol kesehatan.
Di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, yang sejak awal tanpa temuan, akhirnya terpapar pada 7 Agustus. Laki-laki asal Jateng yang bermukim di sana terkonfirmasi positif setibanya dari perjalanan di daerah asal.
Menekan risiko transmisi dari pelaku perjalanan, warga Kepulauan Tanimbar, Maluku, sangat ketat menerima pelaku perjalanan. Mereka ”tutup pintu”, memberlakukan karantina dan tes swab ketat. Hingga kini, tidak ada kasus di pulau di tengah laut Banda itu.
Di Sumatera Barat, lonjakan kasus positif korona sejak momen Idul Adha akhir, Juli lalu, mulai memicu kekhawatiran. Jumlah kasus positif sebulan terakhir melampaui jumlah kasus empat bulan sebelumnya.
Fase pertama 26 Maret-28 Juli 2020, jumlah kasus positif korona Sumbar 874 orang dengan 33 orang meninggal. Pada fase kedua 29 Juli-26 Agustus 2020, jumlah kasusnya 949 orang, 19 meninggal.
Empat kepala daerah di Sumbar positif Covid-19. Secara nasional, ada 25 kepala daerah terinfeksi, lima di antaranya meninggal. Sebagian mereka dilaporkan memiliki riwayat perjalanan dan kontak erat dengan orang dari wilayah episentrum. Senin (31/8), Wakil Wali Kota Padang Hendri Septa terkonfirmasi positif setibanya dari Jakarta, Minggu.
Baca juga: Positif Covid-19, Wakil Wali Kota dan Sekda Padang Sempat ke Jakarta
Meski positif melalui tes metode reaksi berantai polimerase (PCR), seperti banyak dialami orang lain, Hendri tanpa gejala/orang tanpa gejala (OTG).
Para epidemiolog mengingatkan, barisan OTG membawa risiko besar. Virus yang sama bisa berdampak fatal bagi orang lain, khususnya yang memiliki penyakit penyerta (komorbid).
Kepatuhan menerapkan protokol kesehatan menjadi mutlak adanya. ”Saya yang mematuhi saja bisa terpapar Covid-19. Karena itu, saya minta seluruh masyarakat lebih disiplin melaksanakannya,” kata Pelaksana Tugas Wali Kota Medan Akhyar Nasution, yang sudah sembuh.
Dalam perkembangannya, sejumlah daerah mengeluarkan peraturan gubernur, wali kota, dan bupati. Sejumlah peraturan daerah juga dalam proses. Namun, pelanggaran menjadi wajah sehari-hari yang sangat mudah dijumpai.
Kabupaten Banyumas, Jateng, merupakan daerah paling antisipatif. Perda disahkan 21 April, yang mengatur sanksi termasuk denda, yang meskipun tidak besar, cukup berdampak pada ketertiban.
Secara umum, kepatuhan dan ketertiban inilah yang masih jadi keprihatinan. Tertib pada semua hal, baik menerapkan protokol kesehatan maupun menjalankan pengawasan, dan memberi keteladanan.
Bersamaan dengan hal itu, kasus positif terus bertambah. Di sisi lain, dokter dan tenaga kesehatan sudah kelelahan. Akhir Agustus ini, setidaknya 101 dokter dilaporkan positif, perawat jauh lebih banyak lagi. Kamar-kamar perawatan di sejumlah fasilitas ditutup karena penularan maupun dipenuhi pasien.
Baca juga: Sudah 14 Dokter Meninggal di Sumut akibat Covid-19
Baca juga: Tenaga Kesehatan Terus Tertular Covid-19, Papua Butuh Penanganan Khusus
Butuh panutan
Di tengah semua situasi yang ada saat ini, sangatlah mudah menjumpai ketidakpedulian di seluruh wilayah, termasuk zona merah sekalipun. Bahkan, ada yang terang-terangan melawan petugas yang mengingatkan.
Salah satu keprihatinan adalah penjemputan paksa jenazah positif Covid-19. Di Kota Batam, Kepulauan Riau, misalnya, pada Agustus saja terjadi tiga kejadian. Ini jelas mengejutkan karena kegawatan korona nyata hingga enam bulan berjalan.
Baca juga: Jemput Paksa Jenazah, 12 Warga Batam Terinfeksi Covid-19
Mengutip antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjar Thufail, karakter masyarakat Indonesia patronistik dan melihat citra dari pemimpin formal maupun nonformal. Formal menunjuk pada pejabat pemerintah, mulai presiden, menteri, gubernur, hingga RT/RW. Nonformal ialah tokoh masyarakat, tokoh agama, artis, hingga individu berpengikut banyak di media sosial (influencer).
”Perilaku mereka jauh lebih kuat untuk menentukan sikap masyarakat dibandingkan imbauan dan iklan,” ujarnya. Selama figur yang oleh masyarakat diletakkan di bawah lampu sorot sosial tidak memiliki literasi cukup mengenai pandemi, dan malah mempromosikan teori konspirasi serta hoaks, masyarakat tidak akan satu suara menghadapi pandemi. Apatisme akan terus mendapat ruang, sekalipun pada situasi menentukan hidup dan mati seperti sekarang.
Dalam kondisi inilah, media arus utama dan masyarakat skeptis yang kini harus cerewet menunjuk mereka yang tak patuh terhadap protokol kesehatan. Apalagi jika mereka figur politik ataupun artis. Tak ada ruang bagi yang melanggar, kecuali kita mau hidup dikungkung ketakutan, kini dan seterusnya. (DNE/JOL/CIP/NSA/IKI/SYA/FRN/DKA)