Pesan Milenial di Palangkaraya untuk Pemimpin Negeri soal Lingkungan
Puluhan mahasiswa pencinta alam yang merupakan generasi milenial memberi pesan untuk masyarakat dan pemimpin negara ini soal lingkungan. Namun, mereka juga dititipi pesan oleh para petani.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Generasi milenial di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berharap agar momentum kemerdekaan juga berarti merdeka dari bencana lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan. Pesan kepada pemimpin negeri itu mereka sampaikan dengan memasang bendera Merah Putih di Jembatan Kahayan.
Pada Senin (17/8/2020) pagi, lima orang yang berasal dari Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) mengenakan baju keselamatan dan membawa beberapa ikat tali dengan jenis yang beragam seperti tali karmantel, tali paracord, dan jenis lainnya. Mereka mengenakan rompi pelampung dan pelindung kepala. Mereka adalah pengibar bendera.
Belasan orang sudah menunggu di atas jembatan ketika lima orang itu sampai di titik pengibaran bendera di Jembatan Kahayan. Kelimanya adalah Muhammad Nasir, Anita Yulianti, Ali, Tiof, dan Jhon. Kegiatan seperti ini bukan yang pertama dijalankan kelimanya.
Jembatan dengan panjang 640 meter dan lebar 9 meter itu tidak menjadi kendala bagi para mahasiswa melaksanakan Single Rope Technique (SRT) atau teknik yang hanya menggunakan satu tali untuk naik dan turun. Teknik itu biasa digunakan saat panjat tebing atau menyusuri goa-goa vertikal.
Dengan menggunakan satu tali untuk tiap-tiap pemanjat, mereka mengibarkan bendera dengan ukuran 9 meter x 6 meter di bawah jembatan. Tali itu menguntai hingga menyentuh permukaan sungai. Mereka pun turun melalui tali tersebut dan langsung menaiki kelotok atau perahu kayu bermesin yang sudah menunggu di bawah.
Seusai bendera dipasang, terlihat puluhan mahasiswa yang berasal dari organisasi Mapala di empat universitas di Palangkaraya menggelar upacara. Bukan hanya mahasiswa, beberapa petugas Dinas Perhubungan Kota Palangkaraya pun ikut memberikan hormat ketika bendera bisa dikibarkan.
Ketua pelaksana kegiatan tersebut, Gilang SW, mengatakan, kegiatan itu diikuti puluhan mahasiswa yang memiliki satu visi. Mereka tak hanya mengibarkan bendera, tetapi juga memasang spanduk sepanjang lebih kurang 11 meter dengan tulisan ”Merdekakan Indonesia dari Bencana Lingkungan” yang dipasang di atas bendera.
”Sudah 75 tahun kita merdeka, tetapi hutan atau alam kita masih terjajah oleh kerakusan investasi yang tidak ramah lingkungan,” kata Gilang.
Gilang menambahkan, aksi itu juga bentuk keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi lingkungan di Indonesia dan Kalteng khususnya soal kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun.
Sudah 75 tahun kita merdeka, tetapi hutan atau alam kita masih terjajah oleh kerakusan investasi yang tidak ramah lingkungan. (Gilang SW)
”Kami harap kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi tahun ini. Kebakaran hanya menimbulkan bencana lingkungan yang sebenarnya bisa dikurangi, bahkan dihilangkan seandainya kita bisa lebih bijak mengelola sumber daya alam,” ungkap Gilang.
Bukan hanya mahasiswa, Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia juga dirayakan dengan menggelar upacara di kebun sayuran milik beberapa kelompok tani. Upacara itu dipimpin Lurah Bukit Tunggal Heri Fauzi.
Parmin (56), salah satu peserta upacara, mengungkapkan, Indonesia bisa sejahtera kalau petaninya sejahtera. ”Kalau petani tidak sejahtera, semuanya bisa ikut rusak,” ujarnya.
Tahun ini, Parmin yang merupakan transmigran asal Semarang, Jawa Tengah, berharap Indonesia menjadi bangsa yang kuat karena petani. ”Saya memang enggak sekolah, tetapi bisa hidup sejahtera karena bertani, apalagi yang memang sekolah tani, pasti bisa jauh lebih dari itu,” katanya.