Presiden memerintahkan setiap daerah membuat perda tentang protokol kesehatan yang disertai sanksi. Terkait hal ini, Mendagri akan berkomunikasi dengan kepala daerah.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akan membicarakan perihal pembuatan peraturan daerah tentang protokol kesehatan penanganan Covid-19 yang disertai sanksi agar standar. Pembicaraan itu akan dilakukan melalui konferensi video dengan kepala daerah, Senin pekan depan.
Hal itu dikatakan Tito saat menjawab pertanyaan awak media seusai dirinya meluncurkan Gerakan 26 Juta Masker Se-Provinsi Jawa Timur di Pendopo Agung Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (7/8/2020) sore. ”Senin saya akan video conference dengan seluruh kepala daerah supaya mereka membuat satu standar yang sama,” ujarnya.
Hadir pada kesempatan ini, antara lain, Ketua Umum Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Pusat Tri Tito Karnavian, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Malang M Sanusi, Wali Kota Malang Sutiaji, dan Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko.
Menurut Tito, akan ada peraturan menteri dalam negeri (permendagri) yang menjadi pedoman peraturan daerah (perda) tersebut. ”Guideline-nya akan diatur oleh permendagri. Kami meng-guide isinya kira-kira apa. Yang jelas, kepatuhan terhadap empat hal yang paling utama, yakni (masyarakat) memakai masker, menjaga jarak, cuci tangan, dan kerumunan sosial,” ujarnya.
Menurut Tito, sudah ada instruksi dari presiden soal peningkatan disiplin dan kepatuhan protokol Covid-19. Salah satu instruksi agar daerah membuat perda. Sejauh ini, sudah ada beberapa daerah yang telah membuat, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Saat disinggung bagaimana jika ada kepala daerah yang tidak serius menangani Covid-19 dan apa sanksinya, Tito mengatakan agar kepala daerah yang tidak serius untuk tidak dipilih lagi—jika yang bersangkutan mengikuti pemilihan kepala daerah serentak Desember mendatang.
Sementara itu, saat memberikan sambutan, Tito menekankan agar kepala daerah mengeluarkan seluruh kekuatan (all out) untuk menangani Covid-19. Pemerintah pusat telah mengeluarkan seluruh kekuatan sehingga pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga harus ikut mengeluarkan seluruh tenaga dan sumber daya yang ada.
”Yang dibutuhkan pemerintah pusat all out. Di daerah, baik tingkat I maupun II, juga harus all out. Pusat saja all out itu baru 50 persen gas yang diinjak, ibarat mesin mobil. Sisanya 20 persen di tingkat gubernur yang all out dan 30 persen di tingkat kepala daerah tingkat dua,” tuturnya.
Yang dibutuhkan pemerintah pusat all out. Di daerah, baik tingkat I maupun II, juga harus all out.
Menurut Tito, memang menjadi tantangan tersendiri membuat seseorang disiplin menggunakan masker. Selama ini, masih banyak masyarakat yang belum disiplin mengenakan masker dengan berbagai alasan.
Memang tidak mudah mengubah perilaku masyarakat, apalagi dengan jumlah penduduk besar. Tito mencontohkan, untuk wilayah Jawa Timur—yang jumlah penduduknya delapan kali lebih besar dari Singapura—pasti punya tantangan tersendiri dibanding wilayah yang jumlah penduduknya kecil. Apalagi terjadi pembagian kekuasaan. Selain pusat, ada daerah yang masing-masing otonom.
Mengenai data angka kasus positif di Jawa Timur yang telah melampaui Jakarta, Tito menegaskan, hal itu menjadi cambuk bagi semua untuk bekerja lebih keras. Memang, diakui bahwa tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Jawa Timur menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa.
”Apresiasi saya sampaikan kepada pemda di Jawa Timur, baik tingkat I maupun II, yang sudah mulai agresif melakukan testing sehingga bisa memisahkan yang positif dan negatif. Treatment juga sudah baik membuat angka kesembuhan tertinggi di Jawa. Tetapi, sekali lagi, kita perlu terus waspada karena tingkat urutan kasus positif Jawa Timur tertinggi di Indonesia,” tuturnya.
Khofifah Indar Parawansa mengatakan, kasus positif di Jawa Timur memang lebih tinggi dari provinsi lain di Jawa, yakni mencapai 24.115. Namun, angka kesembuhan di Jawa Timur per 6 Agustus mencapai 16.732 orang (69,38 persen). Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional 63,7 persen.
Ini semua merupakan hasil kerja keras dokter, tenaga medis, dan sukarelawan dalam koordinasi dengan 127 rumah sakit rujukan di Jawa Timur. Pihaknya, lanjut Khofifah, akan terus berusaha menurunkan angka kematian. Berdasarkan hasil audit, penyebab tertinggi kematian di Jawa Timur karena penyakit penyerta (komorbid) diabetes.
”Karena itu, kami berpesan, kalau ada keluarga yang diabetes, tolong dijaga betul, jangan sampai terpapar karena kondisi di Jawa Timur komorbid ini yang menjadi penyebab kematian tertinggi. Bagaimana masyarakat kembali diingatkan bahwa kita belum aman dan masker menjadi cara kita melindungi diri sendiri dan orang lain,” katanya.
Di tengah masa pandemi, menurut Khofifah, ada hal positif yang menjadi penyemangat, yakni angka investasi di Jawa Timur justru meningkat. Begitu pula tingkat pemutusan hubungan kerja di Jawa Timur hingga akhir Juni hanya 4 persen, lebih rendah dibanding provinsi lain di Jawa yang berada di atas 12 persen.
”Investasi year over year 59,2 persen. Penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri, menurut kami, jadi titik penyematan bahwa di tengah pandemi tingkat kepercayaan investor kepada Jawa Timur cukup tinggi. Begitu juga atas kerja keras pemda dan perusahaan, posisi Jawa Timur sampai akhir Juni PHK terendah di Jawa,” katanya.