Ibu Menjaga Pangan dan Gambut di Kalimantan Tengah
Ibu-ibu di Kalimantang Tengah mencoba menyiasati lahan gambut menjadi kebun mini. Siasat itu tak hanya berhasil mengubah gambut jadi lahan produktif tapi juga menambah pundi-pundi keuangan saat Pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 disinyalir menurunkan produksi pertanian global. Di saat yang sama, situasi itu memunculkan inovasi, seperti kelompok ibu-ibu yang memanfaatkan pekarangan rumah mereka untuk menjaga ketahanan pangan keluarga bahkan daerahnya.
Pada Minggu (2/8/2020) pagi, Yohana (44), warga Desa Saka Kajang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, sedang sibuk melihat terong yang mulai keunguan dan panjang di belakang rumahnya. Luas kebun Yohana tak besar, hanya 15x10 meter.
Kebun itu penuh. Seperti hutan kecil di belakang rumah. Yohana menanami pekarangannya dengan beragam sayur hingga pohon-pohon keras. Ada karet, jelutung, hingga belangiran.
Suasana di belakang ataupun depan rumah Yohana pun begitu rimbun. Teduh. Pohon-pohon besar mengelilingi rumahnya yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan trans-Kalimantan yang menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dengan cekatan ia memotong pangkal terung yang hijau dengan pisau kecil. Ia tak sendiri. Yohana ditemani Rusmidawati (42) yang tinggal tidak jauh dari kebun Yohana.
Selama dua bulan lebih mereka menanam dan merawat terung tersebut. Mulai dari proses penyulaman atau memisahkan daun-daun layu, pemupukan, membersihkan rumput liar, memasang ajir, hingga penyiraman. Semua prosesnya tanpa menggunakan kandungan kimia alias organik.
Menurut Yohana, dalam satu kali musim tanam ia bisa memanen 15 kali di rentang waktu 3-7 hari sekali. ”Habis panen harus langsung dijual, tidak bisa disimpan lama,” ungkap Yohana.
Biasanya, baik Yohana maupun Rusmidawati menjual terung ke kota kecamatan di Jabiren Raya. Bahkan, terungnya kadang habis begitu saja karena banyak permintaan dari tetangganya.
Tak hanya terung, Yohana juga menanam komoditas lainnya, seperti cabai, bayam, tomat, dan sayuran lokal seperti teken parei. Teken parei daunnya mirip seperti daun melinjo, tetapi lebih pendek. Daunnya biasanya digunakan untuk sayur.
Tak hanya itu, tanaman khas gambut itu juga digunakan masyarakat suku Dayak untuk obat tradisional dengan mengambil bagian akarnya. Akarnya bisa direbus untuk obat demam dan lainnya. ”Teken parei itu tumbuh liar biasanya di hutan-hutan gitu, di kebun kami rawat supaya bisa digunakan terus,” kata Rusmidawati.
Menurut Rusmidawati, tak hanya tanaman obat, di kebun miliknya juga terdapat beberapa jenis tanaman yang biasa ia pakai sebagai penyedap rasa alami, seperti daun yang oleh suku Dayak sebut daun sungkai. Daun yang masuk dalam famili Albertica papuana becc ini memang memiliki kandungan monosodium glutamate (MSG) yang biasa disebut vetsin.
”Semua prosesnya organik. Jadi orang di sini gak pernah dapat sayuran organik, makanya banyak yang cari,” ungkap Rusmidawati.
Baca juga; Kesetiaan Bruder Kristoforus Pudiharjo OFM untuk Pertanian Organik
Baik Yohana maupun Rusmidawati tergabung dalam Kelompok Tani Perempuan Peduli Gambut bentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) RI bersama mitra kerja Lembaga Kemitraan. Kelompok itu dibentuk sebagai bagian dari Desa Peduli Gambut (DPG).
Kelompok itu dibentuk tahun 2019 dengan jumlah anggota awal 30 orang. Namun, hanya sembilan orang yang aktif yang juga memiliki kebun serupa di pekarangannya masing-masing.
”Sebelumnya warga di sini, termasuk saya, kalau beli sayur ya ke pasar. Sekarang tidak perlu lagi karena sebagian besar juga sudah mulai menanam sayur di pekarangan dekat rumah atau di kebunnya,” ungkap Yohana.
Menurut Yohana, semua proses pembersihan lahan juga dilakukan tanpa membakar. Ia tahu konsekuensi ketika membakar lahan. Bukan hanya bencana asap yang mengancam, tetapi juga ancaman pidana.
Pendampingan dilakukan Lembaga Kemitraan melalui fasilitator desa yang tinggal bersama masyarakat desa. Selain memfasilitasi cara berkebun, mereka juga membantu memasarkan produk-produk unggulan dari desa tersebut.
Yohana merupakan ketua dari kelompok tersebut. Ia dan kelompoknya mendapatkan bantuan lebih kurang Rp 38 juta untuk modal awal mengembangkan kebun di pekarangan rumahnya.
Berdasarkan data Lembaga Kemitraan, sedikitnya terdapat 48 produk yang dihasilkan dari lahan gambut yang ada di 46 Desa Peduli Gambut di Kalteng. Sebagian besar lahan gambut tersebut pernah terbakar.
Baca juga; Pertanian Ramah Gambut Tingkatkan Pembangunan Desa
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna Safitri mengungkapkan, program pendampingan bagi masyarakat merupakan bentuk revitalisasi ekonomi. Hasilnya diharapkan bisa dipakai untuk memelihara atau mengoperasikan infrastruktur pencegahan kebakaran lahan gambut, seperti sumur bor dan sekat kanal yang sudah dibangun.
Dampak lain, gambut terjaga karena mengurangi aktivitas mengolah lahan tanpa bakar. Pola ini membuat kegiatan restorasi lebih baik dan gambut terjaga. ”Jika dimanfaatkan dengan bijak, gambut menjadi lahan yang sangat produktif,” kata Myrna.
Beragam inovasi pengolahan lahan gambut tanpa membakar berujung pada pemenuhan biaya hidup sehari-hari masyarakat, seperti sekolah anak dan biaya kesehatan. Dengan inovasi, lingkungan gambut juga terjaga.
Desa gambut
Desa Saka Kajang memiliki luas 2.171 hektar yang 60 persennya merupakan gambut dengan kedalaman gambut 0,2-2 meter.
Gambut yang berada di Desa Saka Kajang ini terletak di sebelah barat desa, di belakang permukiman warga yang berada di pinggir Jalan Trans-Kalimantan. Menurut laporan Kajian Pemilihan Desa Prioritas untuk Pengelolaan Kebakaran Terpadu di Lanskap Katingan-Kahayan (USAID Lestari 2016), Desa Saka Kajang termasuk di wilayah eks-Mega Rice Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Blok C tahun 1995.
Baca juga: Pandemi Belum Usai, Kalteng Tetapkan Siaga Darurat Karhutla
Proyek itu kemudian gagal karena merusak kubah-kubah gambut dengan banyaknya saluran irigasi yang tak selesai dibuat. Luas lahan yang mencapai 1,4 juta hektar untuk proyek itu pun menjadi pusat kebakaran hutan dan lahan.
Tahun 2019, kebakaran melanda di lahan seluas 317.749 hektar di Kalteng yang sebagian besar berada di atas lahan bekas proyek PLG tersebut.
Saat ini pemerintah ingin mengulang proyek yang sama dengan istilah dan sistem pertanian yang berbeda. Program lumbung pangan nasional atau yang dikenal food estate akan hadir di sekitar tempat tinggal Yohana.
Tahun ini akan dimulai 30.160 hektar di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Rinciannya, 10.160 hektar di Pulang Pisau dan sisanya 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menyebut bahwa program food estate justru akan mengurangi kebakaran hutan dan lahan karena tak ada proses membakar lahan saat membuka lahan. Selain itu, ia juga mengklaim semua prosesnya akan dimulai dengan peralatan pertanian modern.
”Tahap awal, program ini menggunakan lahan yang sudah dimanfaatkan selama ini oleh petani. Tinggal dioptimalkan dan memperbaiki infrastruktur pertanian yang sudah ada,” kata Sugianto.
Melihat hal itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, melakukan perluasan sawah di atas gambut secara otomatis akan membuat kanal-kanal baru. Dengan demikian, ekosistem gambut pun akan kembali kering dan rawan terbakar.
Lindungi saja yang ada bukan ambisius mencetak sawah dengan biaya besar. (Dimas)
Menurut Dimas, besarnya anggaran untuk pembangunan proyek lumbung pangan itu lebih baik digunakan untuk memaksimalkan kegiatan pertanian dan perladangan yang tersebar di seluruh Kalteng.
Dimas mengatakan, pemerintah harusnya mengidentifikasi lahan di Kalteng yang terancam karena kawasan pertanian yang masuk dalam kawasan hutan atau terancam investasi. ”Lindungi saja yang ada bukan ambisius mencetak sawah dengan biaya besar,” katanya.
Program lumbung pangan nasional itu diinisiasi lantaran klaim krisis pangan yang melanda selama dan seusai pandemi Covid-19. Baik Yohana maupun anggota kelompok taninya menjaga pangan keluarga dengan memanfaatkan sepetak lahan di pekarangan rumahnya. Mereka menjaga mampu memenuhi kebutuhan pangan mandiri tanpa harus membuka lahan yang masif.